Kamis, 28 Februari 2013

Buddha Dordenma Thimphu

 on  with No comments 
In ,  
Proyek Buddha Dordenma adalah pembangunan rupang Buddha Sakyamuni setinggi 42 meter (termasuk teratai) duduk di atas takhta setinggi 20 meter di Kerajaan Bhutan. Sebagai kesempatan yang luar biasa untuk memenuhi misi Buddha, Buddha Dordenma (Vajra-throned Buddha) melambangkan kejantanan taranya untuk melimpahkan berkat, kedamaian, dan kebahagiaan di seluruh dunia.

Rupang ini akan ditutupi lebih dari satu lakh (seratus ribu) rupang Buddha yang lebih kecil, yang masing-masing, seperti Buddha Dordenma itu sendiri, terbuat dari perunggu dan disepuh emas. Dordenma Buddha yang berlokasi di tengah-tengah reruntuhan Kuensel Phodrang , istana Sherab Wangchuck, Druk Desi ketiga belas, menghadap sisi selatan Thimphu, ibukota Bhutan.

Selain untuk memperingati seratus tahun dari monarki Bhutan, rupang itu untuk memenuhi dua ramalan. Pada abad kedua puluh, yogi terkenal Sonam Zangpo meramalkan bahwa patung besar Padmasambhava, Buddha atau dari Phurba akan dibangun di wilayah ini untuk memberikan berkat, kedamaian dan kebahagiaan di seluruh dunia. Selain patung disebutkan dalam terma kuno Guru Padmasambhava sendiri, dikatakan tanggal dari sekitar abad kedelapan, dan kembali sekitar 800 tahun yang lalu oleh Terton Pema Lingpa.

Di bawah mata patung Buddha, taman alam Kuenselphodrang secara resmi dibuka sebagai taman rekreasi pada tahun 2011. Taman melestarikan 943,4 hektar kawasan hutan yang mengelilingi patung Buddha Dordenma.

Struktural Desain
Untuk manfaat semua makhluk hidup, rupang Dordenma Buddha secara sesuai dengan desain struktur sebagai berikut:
  1. Sebanyak 100.000 unit dari rupang Buddha Dordenma setinggi 8 inci akan mengisi tubuh raksasa Buddha dan teratai setinggi 42 meter, sedangkan sebanyak 25.000 unit rupang Buddha Dordenma dengan tinggi 12-inch akan berada di sepanjang dinding ruang meditasi sepanjang 20 meter setinggi tahtaNya.
  2. Tahta dengan tinggi 20 meter akan berfungsi sebagai ruangan tiga lantai meditasi, ruang setiap Buddha dan Bodhisattva tertentu di arah yang baik, dengan mudah mengenali sifat para Buddha seolah-olah mereka memasuki alam murni Buddha.
  3. Rupang dari semua ukuran dan lokasi, termasuk singgasana mereka, yang terbuat dari logam, baja, dan masing-masing disepuh.
  4. Untuk menghindari gangguan oleh roh-roh yang berkuasa, semua rupang diisi dengan lima jenis relik, mantra, dan bahan berharga.
  5. Karena setiap unit rupang mewujudkan niat mulia Dordenma Buddha, semua unit mengadopsi desain cermat yang rumit, yang secara alami diproduksi melalui sinkronisasi murni dari pikiran, ucapan, dan badan pembuat rupang Buddha.
Lantai Dasar
  1. Setinggi 9-kaki rupang Buddha Shakyamuni dengan tahta, Sariputra, Mangalyana
  2. 18 buah arahat duduk dan raja empat arah setinggi 5-kaki
  3. Sepanjang dinding setinggi 12-inci rupang Buddha Dordenma
  4. Pada langit-langit terdapat 34 Mandalas utama dan 33 Mandalas kecil
  5. Ada 72 pilar kecil naga emas.
Lantai Pertama
  1. Setinggi 16-kaki rupang Vairochana Buddha berwajah empat dalam posisi duduk di pusat dikelilingi oleh:
  2. 8 Buah rupang Bodhisattva berdiri setinggi 16-kaki yaitu:
    • Avalokiteshvara
    • Mansjushri
    • Vajrapani
    • Maitreya
    • Ksitigarbha
    • Akashagarbha
    • Sarvanivaranavishkambim
    • Samantabhadra
  3. Sepanjang dinding terdapat rupang Buddha Dordenma setinggi 12 inci
  4. Diatas langit-langit terdapat 28 mandalas utama
  5. Terdapat 8 pilar utama naga emas dan 22 pilar kecil naga emas.
Lantai Kedua
  1. 8 buah rupang Medicine Buddha setinggi 5-kaki dalam posisi duduk mengelilingi pilar tengah, yaitu:
    • Tshenleng Kedokteran
    • Serzang
    • Drimed Nangwatai
    • Nyangenmed
    • Choedrag Gyatso
    • Ngoenkhen Gyalpo
    • Drayang Gyalpo
    • Shakyamuni Buddha
  2. Sepanjang dinding terdapat rupang Buddha Dordenma setinggi 12-inci
  3. Pada langit-langit terdapat 34 Mandalas utama.
  4. Terdapat 22 pilar kecil naga emas.
Lantai Ketiga
Dalam teratai, tepat di bawah daerah antara sebelah kanan Buddha ke lutut kiri terdapat 5 ruang, yang dikelilingi sepenuhnya oleh rupang Buddha Dordenma setinggi 8 inci. Rupang Buddha kecil mengisi interior sampai Buddha raksasa ke atas.
  1. Ruangan Pertama: Tampilan sutra & miniatur Buddha Dornema setinggi 8 inci.
  2. Ruangan Kedua & Keempat: Dua belas unit Buddha Shakyamuni yang menggambarkan dua belas perbuatan mencerahkan dari Buddha
    • Turun dari Tushita ke alam manusia
    • Memasuki rahim ibu
    • Mengalami kelahiran
    • Pelatihan dalam seni, kerajinan, dan ilmu pengetahuan
    • Menikah dengan Putri Yashodhara & menikmati kebahagiaan dalam suasana kerajaan
    • Memungkiri kehidupan keluarga kerajaan untuk menjadi seorang pertapa
    • Menjalani praktik asketis yang sulit
    • Bersumpah untuk tetap duduk di bawah pohon Bodhi untuk mencapai Pencerahan
    • Menundukkan kekuatan jahat
    • Mencapai Pencerahan di bawah pohon Bodhi
    • Memutar roda Dharma
    • Memasuki Parinirvana
  3. Ruangan Ketiga: Tujuh buah rupang Buddha yang sangat baik setinggi 5-kaki-dalam posisi duduk bersama , yang terdiri dari:
    • Buddha Namparzig (Vipasyin / Vipassin)
    • Buddha Tsugtorchen (Sikhin)
    • Thamched Kyob (Visvabhu / Vessabhu)
    • Buddha Khorwadesel (Krakucchanda)
    • Buddha Serbub (Kanakamuni / Konagamana)
    • Buddha Oedsung (Kasyapa / Kassapa)
    • Buddha Shakyamuni
    • Ruangan Kelima: Media ruangan dengan proyektor 3D.
Pada langit-langit terdapat 5 Mandalas utama.

Keluarga Buddha yang murka:
    • Guru Padmasambhava
    • Perang menundukkan Dewa
    • Cakrasambhava
    • Vajrayogini
    • Guru Dakmar
    • Vajrakileya
    • Pelchen Heruka
    • Guru Dakpo
Lantai Keempat
Dikelilingi oleh lukisan dari 12 peristiwa kehidupan utama Sang Buddha Shakyamuni dan keluarga Sang Buddha sebagai berikut:
    • Samanthabadra
    • Vairochana & Ingchuma
    • Vajrasattva & Nyema Karmo
    • Ratnasambhava & Mamaki
    • Amitabha & Gyekarmo
    • Amogasiddhi & Tara
    • Red Lokeshvara Family Galwa Jamtsho
    • Vajradhara & Ingchuma
sumber : http://www.buddhadordenma.org
Share:

Rabu, 27 Februari 2013

Paro Taktsang (The Tiger's Nest Monastery)

 on  with No comments 
In ,  
Paro Taktsang (spa phro stag tshang / spa Gro tshang rusa), adalah nama populer dari Biara Palphug Taktsang (juga dikenal sebagai Nest The Tiger), merupakan situs suci yang menonjol dari Buddhis Himalaya dan kompleks candi, terletak di tebing dari atas lembah Paro, Bhutan. Sebuah kompleks candi pertama kali dibangun pada tahun 1692, di sekitar Taktsang Senge Samdup (stag tshang seng ge bsam grub) gua tempat Guru Padmasambhava. Padmasambhava adalah sosok yang dipuji karena memperkenalkan Buddhisme ke Bhutan dan adalah dewa yg mengawasi negara. Sekarang ini, Paro Taktsang adalah yang paling terkenal dari tiga belas Taktsang atau gua "sarang harimau" di mana ia bermeditasi.

Taktsang merupakan salah satu tempat paling suci di Bhutan, biara bertengger di tebing granit tinggi menghadap ke utara lembah Paro. Tempat ini sangat dihormati karena hubungannya dengan Guru Rinpoche, yang dikatakan telah diterbangkan ke Paro Taktsang dalam bentuk Dorji Drolo, terpasang pada harimau betina-dakini menyala.

Guru mengunjungi Bhutan selama 3 kali. Kunjungan pertamanya ke Bhutan 746 AD dari India ketika beliau diundang oleh Bumthang untuk mengobati Raja Sindhu, penguasa Bumthang, yang sakit parah. Raja telah sembuh dan menjadi pengikut Buddhisme. Beliau berjanji untuk kembali ke Bhutan lagi untuk menyebarkan ajaran Buddha.

Setahun kemudian, Guru diundang ke Tibet oleh Raja Thrisong Deutsen untuk membantu dia dalam pembangunan Biara Samye. Beliau melakukan perjalanan ke Tibet, dengan kekuatan tantra, beliau membersihkan kekuatan jahat yang mengganggu pembangunan biara, sehingga biara berhasil diselesaikan.

Selama kunjungannya pada tahun 747 AD ke Tibet, Guru Rinpoche memutuskan untuk mengunjungi Bhutan lagi dengan permaisuri Tibetnya, Khandro Yeshi Tshogyel dan Mulia Denma Tseman. Ia berkelana di seluruh negeri dan memberkati rakyat.

Sementara di Singye Dzong inKurtoe, Guru diyakini telah terbang ke Paro Taktsang dalam bentuk Guru Dorji Drolo ke-8, dalam aspek terakhir yang diasumsikan, menumpang harimau betina dakini. Sebelum kedatangannya, seluruh negeri itu diyakini telah dihuni oleh roh-roh jahat yang bermusuhan. Pada kedatangannya, beliau menaklukkan delapan kategori roh-roh jahat dan membatasi mereka dengan sumpah untuk menjadi pelindung dari pengajaran untuk semua waktu yang akan datang.

Beliau juga menyembunyikan berbagai bentuk harta Dharma termasuk 3 ajaran Yoga untuk ditemukan kemudian oleh murid-muridnya yang disebut terton (Harta penemu). Menurut biografinya Yidkyi Munsel, beliau bermeditasi di sana selama 4 bulan dan memberkati tempat ini sebagai yang terbaik di antara tempat-tempat suci (Ney).

Beliau mengungkapkan bentuk nyata dari Phurpai Kyilkhor (Vajrakiliya) dan diinstruksikan pada Langchen Pelgyi Singye, salah satu murid disiplinya (Gyalbang Nyernga) dan spiritual condortnya, Khando Yeshi Tshogyel. Gua di mana Guru Rinpoche dan banyak orang suci ternama lainnya bermeditasi disebut â € œDrubkhang "(ruang meditasi) atau â € œpelphug" (gua suci)

Di Tibet di Chimphu, Guru memberikan inisiasi dari teks Kagyed kepada murid-Nya yang setia. Hati-muridnya Langchen Pelgyi Singye yang menjadi terkenal terutama dalam kemampuan menundukkan roh-roh jahat diperintahkan untuk kembali ke Paro Taktsang. Langchen Pelgyi Singye datang ke Taktsang pada tahun 853 AD, dan bermeditasi di Drubkhang untuk waktu yang lama. Tempat itu kemudian dikenal sebagai Taktsang Pelphug. Lalu beliau pergi ke Nepal dan sebelum meninggal, tubuhnya dipercayakan kepada pelindung Damchen Dorji Legpa sebagai asisten spiritualnya. Jenazahnya dibawa kembali ke Taktsang oleh Damchen Dorji Legpa dan disembunyikan sepertii harta (Terma) untuk ditemukan kemudian. Tubuhnya kini diabadikan dalam batu jauh di bawah tempat Kudung Chorten, yang telah dibangun bertahun-tahun yang lalu dan dipulihkan pada 1982-1983.

Menurut Neyig dari Taktsang, disusun oleh Lopen Pemala, terdapat 9 gua suci (Phug) sekitar Taktsang, yaitu
1. Machiphug
2. Singyephug
3. Pelphug
4. Drolophug
5. Yoeselphug
6. Gadigphug
7. Choegyelphug
8. Kapaliphug
9. Phagmoiphug

Machigphug adalah gua di mana Machig Lhabdron, inkarnasi Khandro Yeshi Tshogyel, telah bermeditasi dan terletak di atas jurang, sebelum mendekati Taktsang Goenpa utama. Singyephug dapat dilihat di dekat sungai kecil jatuh dari tebing. Aliran ini disebut Shelkarchu karena diyakini bahwa dawai manik-manik kaca yang tersebar di seluruh daerah itu oleh Khandro Yeshi Tshogyel. Gua di mana Langchen Pelgyi Singye telah bermeditasi disebut Pelphug dilihat di biara utama Taktsang. Sisa gua-gua suci dikatakan terletak di suatu tempat di belakang kuil Singye Samdrup, dewa pelindung Taktsang.

Taktsang berada di bawah muatan lama Kathogpa sejak abad ke-14. Kathogpa lam Yeshi Bum (1245-1311), hidup di abad ke-15 berkunjung ke Taktsang di mana ia bermaksud untuk membangun biara. Keinginannya tetap tak terpenuhi sampai tahun 1508 ketika keponakannya dan muridnya, Sonam Gyaltshen membangun kuil Ugyen Tsemo di atas Taktsang.

Pada 1646, Zhabdrung mengundang Lopon Rigzin Nyingpo, turunan dari Terton Sangye Lingpa (1340-1396) dari Kongpo di Tibet. Zhabdrung mengunjungi Taktsang bersama Lopon Rigzin Nyingpo dan mengambil alih Taktsang termasuk Ugyen Tsemo dari Kathogpa Lama. Beliau menunjuk Jinpa Gyalthsen, saudara Desi Tenzin Rabgye, sebagaimana Lama dari Taktsang. Zhabdrung dan Lopon Rigzin Nyingpo melakukan doa Phurpai Kyikhor, yang telah dilakukan sejak saat itu.

Dikatakan bahwa meskipun Zhabdrung memiliki keinginan untuk membangun sebuah kuil di tempat di mana Taktsang sekarang berdiri, ia tidak brhasil selama pembangunan Paro Dzong Rinpung sedang berlangsung. Jadi ia memerintahkan Tenzin Rabgye, yang masih di bawah umur pada saat itu untuk membangun Biara. Pada 1692, atas perintah Desi Tenzin Rabgye, Paro Penlop Dragpa Gyaltshen membangun dua kuil-disimpan utama di sekitar Drubkhang di Taktsang dan dengan demikian memenuhi keinginana Zhabdrunga. Pada saat ini, Taktsang melakukan sistem doa tahunan yang didedikasikan untuk Guru Rinpoche, yang bahkan sampai hari ini dilakukan oleh Divisi Tshenyid Badan monastik Tengah.

Melalui renovasi banyak kali dan ekspansi selama berabad-abad berikut, Taktsang tumbuh menjadi sebuah kompleks yang rumit, beberapa bangunan individu yang terhubung hanya dengan tangga curam. Antara 1961 dan 1965, 34 Je Khenpo Sherdrup Yoezer direnovasi. Penambahan terbaru yang dibuat antara tahun 1981 dan 1982.

Pada bagian kiri dari tangga pintu masuk gedung yang berisi "stupa" Kudung dari Langchen Pelgyi Singye yang tubuhnya telah ditempatkan jauh di dalam bebatuan di bawah situs dari Kudung Chorten.

Di pojok kiri bagian dalam adalah Lhakhang Dorlo, kuil didedikasikan untuk Guru Dorji Dorlo, yang telah dipasang oleh Lama Sonam Zangpo terakhir. Di bangunan utama, ada tiga candi.

Candi bawah berisi gua di mana Guru Rinpoche dan Pelgyi Singye bermeditasi dan berisi patung Guru Dorji Drolo dan patung Phurpai Kyilkhor, yang dikatakan didirikan oleh Niwari Pentsa, ahli seni masa pemerintahan Desi Tenzin Rabgye dan istana surgawi Guru Rinpoche (Zangtopelri).

Candi tengah Guru Sungjoen Temple, kuil Guru yang berbicara karena diyakini bahwa ketika itu sedang diangkut ke Taktsang, patung Guru bernyanyi dengan sendirinya. Para pengrajin paling terampil dari Nepal, Pentsa Dewa, Dharma dan Dharmashri mendirikan patung Guru Sungjoen. Candi ini berisi antara lukisan yang indah dari manifestasi delapan Guru, siklus Lama Gongdue dan Tshepamed, dewa panjang umur.
Share:

Pagoda Shwedagon

 on  with No comments 
In ,  
Shwedagon (ရွှေတိဂုံစေတီတော်) nama resmi: Shwedagon Zedi Daw, juga dikenal dengan julukan Pagoda Emas, adalah sebuah stupa atau pagoda setinggi 98 meter (321,5 kaki) yang berlapis emas dan terletak di Yangon, Myanmar. Pagoda ini terletak di bagian barat Danau Kandawgyi, di bukit Singuttara, dan mendominasi pemandangan kota Yangon. Stupa buddhis ini adalah yang paling suci bagi bangsa Burma karena menyimpan relik Buddha terdahulu, yaitu tongkat Kakusandha, saringan air Konagamana, sepotong jubah Kassapa, dan delapan helai rambut Siddharta Gautama, dan sejarah Sang Buddha. Uppatasanti Pagoda merupakan replika yang tepat dari Shwedagon Pagoda di Naypyidaw, ibukota baru Burma.

Legenda dari Pagoda Schwedagon dimulai dengan dua pedagang bersaudara Burma yang bertemu Sang Buddha sendiri. Sang Buddha memberi mereka delapan helai dari rambut nya akan diabadikan di Burma. Dengan bantuan beberapa nat (roh) dan raja dari daerah ini, saudara-saudara tersebut menemukan bukit di mana peninggalan Buddha sebelumnya telah diabadikan.

Sebuah ruang untuk rumah peninggalan dibangun di tempat suci dan ketika rambut diambil dari peti emas mereka, hal-hal menakjubkan terjadi:
“ada keributan di antara manusia dan roh ... sinar yang dipancarkan oleh Rambut menembus sampai ke langit di atas dan turun ke neraka ... yang buta dapat melihat objek ...yang tului mendengar suara ... orang bisu berbicara jelas ... terjadi gempa bumi ... Gunung Meru mengguncang ... kilat menyambar ... permata jatuh menghujani sampai selutut mereka ... semua pohon dari Himalaya, meskipun tidak di musimnya, bunga dan buah.”

Setelah relik yang aman ditempatkan di kuil baru, lempengan emas diletakkan pada ruang dan sebuah stupa emas dibangun di atasnya. Selama ini berlapis sebuah stupa perak, kemudian stupa timah, sebuah stupa tembaga, sebuah stupa utama, sebuah stupa marmer dan stupa besi-bata.

Kemudian, legenda berlanjut, stupa Schwedagon jatuh dalam kehancuran sampai Kekaisaran Asoka India, seorang penganut Buddha baru, datang ke Myanmar dan mencarinya. Dan menemukan dengan susah payah, ia kemudian membersihkan hutan dan memperbaiki stupanya.

Sangat mudah untuk melihat mengapa Pagoda Schwedagon adalah tempat suci bagi orang yang percaya. Dibangun di situs peninggalan Buddha sebelumnya, yang berisi relik Sang Buddha terbaru, tempat keajaiban dan didukung oleh kerajaan, ini memang merupakan stupa penting.

Sejarah
Legenda mengatakan bahwa Pagoda Shwedagon berumur 2.500 tahun, tetapi arkeolog memperkirakan pertama kali dibangun oleh Mon sekitar antara abad ke-6 dan ke-10 (yaitu selama periode Bagan). Pagoda muncul dari legenda dalam sejarah di tahun 1485, ditemukan pada prasasti dekat puncak tangga timur yang bercerita tentang Shwedagon dalam tiga bahasa (Pali, Mon, dan Burma)

Saat itu tradisi penyepuhan stupa dimulai. Ratu Shinsawbu menyediakan emas seberat badannya (sekitar 40kg), yang dibuat menjadi daun emas dan digunakan untuk menutupi permukaan stupa.

Menantu Ratu tertua, Dhammazedi, menawarkan emas sebesar empat kali berat badan sendiri ditambah berat istrinya dan menyediakan prasasti tersebut diatas tahun 1485. Telah dibangun kembali berkali-kali sejak saat itu karena gempa bumi (termasuk delapan kali di abad ke-17 saja), struktur tanggal terbaru dari pembangunan kembali di bawah Raja Hsinbyushin pada tahun 1769.

Setelah Perang Anglo I-Burma pada tahun 1824 , tentara Inggris menduduki kompleks Pagoda Schwedagon, yang berdiri tinggi di atas kota seperti sebuah kastil. Pada tahun 1852, selama perang kedua, Inggris menduduki pagoda selama 77 tahun dan menjarah harta mereka. Pada tahun 1871, Raja Mindon Min dari Mandalay memberikan hti baru (dekorasi bagian atas)

Sebagai lambang identitas nasional, Pagoda Schwedagon adalah tempat aktivitas politik selama gerakan kemerdekaan Myanmar pada abad ke-20. Hebatnya, gempa bumi besar dari tahun 1930 (yang menghancurkan Schwemawdaw di Bagan) menyebabkan kerusakan hanya kecil pada stupa Yangon. Namun tahun berikutnya, stupa mengalami bencana api . Setelah gempa kecil pada tahun 1970, stupa utama sepenuhnya diperbaharui.

Apa yang harus Lihat?
Pagoda Besar Schwedagon berdiri pada platform yang mencakup lebih dari 5 hektar pada ketinggian 58m bukit di atas permukaan laut. Pagoda ini dapat dilihat dari hampir di mana saja bagian kota, dan warga Yangon menjalani kehidupan sehari-hari mereka dalam bayangannya.

Ada empat jalan setapak tertutup yang mengarah ke platform pagoda. Kedua pintu masuk selatan dan utara memiliki pilihan lift atau tangga, pintu masuk Barat memiliki eskalator bukan tangga dan pintu masuk hanya tanpa pedagang. Tangga Timur memiliki suasana yang paling otentik, karena melewati biara dan pedagang yang menjual kebutuhan biara.

Pintu masuk selatan, dari Schwedagon Paya Road, adalah yang paling dekat pintu masuk utama dan dijaga oleh dua ekor Chinthe setinggi 18 kaki (hewan mitos singa-naga). Anda harus melepas sepatu Anda dan kaus kaki sebelum Anda naik tangga.

Langkah-langkah dipenuhi dengan toko-toko yang menjual bunga (baik yang nyata dan kertas) untuk persembahan, serta gambar Buddha, dupa, barang antik dan barang-barang lainnya. Meskipun ada pedagang, jalan yang sejuk dan tenang, hanya meningkatkan dampak matahari cerah dan warna yang luar biasa saat Anda melangkah ke platform di atas.

Stupa Utama
Platform ini penuh gemerlap, stupa berwarna-warni, tetapi stupa besar utama adalah pusat perhatian bagi peziarah kebanyakan. Jalur tikar telah diletakkan di sekitarnya untuk melindungi kaki telanjang pengunjung dari pembakaran pada platform marmer panas. Stupa ini benar-benar padat, setiap inci ditutupi dengan emas, dan bagian atas yang bertatahkan berlian dengan total lebih dari 2.000 karat.

Stupa utama didukung "plinth"(alas) persegi yang berdiri 6.4 meter (20 kaki) di atas platform, posisinya membedakannya dari stupa lainnya. Pada platform yang ditinggikan terdapat stupa kecil: yang lebih besar pada empat arah mata angin, yang menengah di empat penjuru, dan 60 stupa yang kecil di sekelilingnya. Dengan izin dari wali pagoda, pria dapat memanjat ke teras plinth, yaitu sekitar lebar 6 meter, untuk bermeditasi.

Lonceng besar stupa ini ditutupi daun emas yang sepuh ulang setiap tahun. Bahu lonceng dihiasi dengan 16 bentuk "bunga". Lonceng ini diatapi oleh sebuah "mangkuk terbalik" dan di atas ini adalah cetakan dan "kelopak lotus" - sebuah bagian dari kelopak bawah-berubah diikuti oleh bagian di atasnya-sampai berpaling pada kelopaknya. Unsur terakhir dari stupa itu sendiri adalah "tunas pisang," yang ditutupi dengan 13.153 piring emas (yang berlawanan arah dengan daun emas dari bagian bawah), masing-masing berukuran 30 cm persegi.

Atas stupa adalah hti spektakuler (dekorasi puncak menara), yang memiliki tujuh tingkatan. Terbuat dari besi dan tertutup piring emas, hti beratnya lebih dari satu ton. Untuk ini ditambahkan lonceng emas, lonceng perak dan aneka perhiasan. Daerah tingkat pertama terdapat bendera yang ditiup angin. Ini berlapis emas dan perak berlapis dan bertabur 1.100 berlian dengan total 278 karat, ditambah 1.383 batu berharga lainnya.

Di bagian paling atas dari puncak menara adalah bola berlian - bola emas berongga bertatahkan berlian 4.351 sebesar 1.800 karat. Pada ujung yang sangat bersandar tunggal, 76-karat berlian.

Struktur lainnya di Platform
Platform besar yang mendukung stupa besar berisi berbagai stupa lain, ruang doa, patung dan kuil-kuil. Jumlahnya berhubungan dengan delapan "hari" (Rabu dibagi menjadi pagi dan sore), berdasarkan pada hari seseorang lahir. Masing-masing memiliki tanda planet, arah dan hewan terkait.

Satu selalu harus berjalan di sekitar (mengitari) stupa searah jarum jam, sehingga pengunjung mengambil kiri dari pintu masuk ke platform yang telah mereka pilih. Mulai dari pintu masuk selatan, lurus ke depan adalah sebuah kuil besar untuk Konagamana, Buddha kedua, di sisi selatan dari plinth stupa utama itu. Mengapit kuil adalah tulisan planet Merkurius.

Selanjutnya ke arah barat di sekitar plinth tumpuan kolom, , peziarah melewati patung singa kembar yang berwajah manusia, seorang ahli nujum tertawa dengan tangan di atas kepalanya, dan dewi bumi. Di sudut barat daya “plinth” adalah tulisan planet Saturnus. Jauh dari plinth menuju sudut barat daya adalah sebuah paviliun dengan 28 gambar yang mewakili 28 Buddha sebelumnya, dan dekat pojok barat daya adalah monumen dengan tulisan dalam empat bahasa yang menceritakan pemberontakan mahasiswa 1920 melawan pemerintahan Inggris.

Bergerak naik ke sisi platform barat, sebuah kaca memiliki dua angka dari nat (roh), salah satunya adalah nat penjaga Shwedagon. Selanjutnya adalah ruang doa yang dikenal sebagai Tazaung Rakhaing, yang telanjang di dalam tetapi memiliki ukiran kayu baik di atapnya yang bertingkat. Ruang doa berikutnya memiliki rupang Buddha setinggi 8m (24-kaki) dalam posisi berbaring, dan di utara ini adalah Tazaung, Pedagang China, yang menampilkan berbagai tokoh Buddha. Di sisi barat dari plinth adalah tokoh Mai Lamu dan Raja Nat, orang tua Raja Ukkalapa yang dikatakan telah mengabadikan rambut Buddha di Schwedagon. Bangunan besar secara langsung berhadapan dengan stupa utama di Barat, dibangun pada tahun 1841, tetapi hancur dalam kebakaran yang melanda platform pada tahun 1931. Mengapit aula adalah tulisan planet Jupiter.
Perdana Mentri Thailand menghormat Rupang Buddha Di Pagoda Shwedagon
Kembali ke sisi barat dari platform, di seberang aula adorasi dan di bagian atas tangga Barat adalah Dua Tazaung Pice. Bagian Utara ini adalah paviliun rendah dibangun oleh produsen pasokan biara. Selanjutnya adalah merupakan paviliun dengan kolom tinggi dan multi-paviliun beratap (pyatthat) naik dari atap bagian atas. Dari berlawanan ini, di sudut barat laut plinth, adalah tulisan planet untuk Yahu, planet Hindu, mitos yang menyebabkan gerhana. Bagian terdekat adalah Stupa Hari Delapan, sebuah stupa kecil dengan puncak menara emas dan delapan relung sekitar basisnya, masing-masing dengan gambar Buddha. Antara relung adalah sosok hewan dan burung, yang mewakili delapan arah, tanda-tanda, planet dan hari dalam seminggu. Barat Laut dari stupa adalah lonceng paviliun dengan berat 23-ton, Maha Ganda Bell. Antara tahun 1775 dan 1779, lonceng emas besar ini dijarah oleh Inggris pada tahun 1825, tetapi jatuh ke Sungai Yangon ketika mencoba untuk dikirim ke pelabuhan. Setelah berulang kali mencoba untuk menjarah lonceng itu, Inggris menyerah dan mengatakan orang Burma yang akan memilikinya jika mereka bisa mengeluarkan dari sungai. Orang Burma menempatkan kayu dan bambu di bawah lonceng sampai akhirnya mengapung ke permukaan.
Menlu AS Hillary Clinton melakukan ritual penyiraman Rupang Buddha kecil di Shwedagon
Utara dari paviliun lonceng adalah rumah paviliun besar untuk rupang Buddha setinggi 9 meter dan sering digunakan untuk pertemuan-pertemuan publik. Di balik ini ada sebuah kuil kecil dengan gambar Buddha yang indah yang sangat dihormati tercakup dalam daun emas. Di daerah terbuka dari platform ke timur adalah bentuk bintang, sebagai tempat pengharapan, di mana ada peziarah sering berlutut dan berdoa terhadap stupa besar bahwa keinginan mereka akan terwujud. Di sudut barat laut terdapat dua pohon Bodhi, salah satu yang tumbuh dari pemotongan dari pohon Bodhi di India di mana Sang Buddha mencapai pencerahan.
Presiden AS Barack Obama menuangkan air di atas bahu kiri Rupang Buddha
Di sisi utara dari platform adalah tempat berdoa orang Cina, dengan ukiran kayu dan tokoh naga Cina pada sisi stupa di depannya. Paviliun yang berdekatan dijaga oleh seukuran tokoh India yang berikutnya oleh singa Inggris. Arti penting dari angka-angka ini tidak jelas. Pegangan tangga seperti buaya di tangga utara bertahun sekitar 1460. Antara tangga dan stupa utama terdapat sebuah paviliun di situs mana hti besar dari stupa utama ditempatkan sebelum diangkat ke atas, dan kemudian Peninggalan rambut, yang konon dicuci di Sungai Ayeyarwady. Rambut Buddha dicuci dengan baik sebelum ditempatkan di stupa utama.

Di sisi utara tumpuan kolom berdiri adorasi aula utara, menampilkan gambar dari sejarah Buddha . Mengapit aula adalah tulisan planet Venus. Tulisan untuk Matahari berada pada sudut timur laut , dengan tanda hewan dari garuda, makhluk mirip burung Hindu dan mitologi Buddha. Hanya sebelah timur laut dari utara adorasi terdapat salah satu struktur yang paling khas pada platform, sebuah kuil dengan gaya Kuil Mahabodhi di India. Di samping ini adalah sebuah stupa kecil berlapis emas dan dau tazaung pice, yang mengabadikan gambar 200-tahun Buddha.

Sudut timur laut dari platform ditempati oleh Stupa Penatua emas (Naungdawgyi Stupa), yang dibangun di tempat di mana relik rambut ditempatkan sebelum diabadikan dalam stupa pusat. Wanita tidak diijinkan untuk naik ke platform Stupa diatasnya.

Selatan dari stupa adalah sebuah paviliun didedikasikan untuk Izza-Gawna, seorang biarawan legendaris yang mampu menggantikan matanya yang hilang dengan salah satu mata kambing dan satu dari seekor lembu jantan. Tokoh di sebelah kiri gambar Buddha utama memiliki mata ukuran yang tidak sama. Di sudut timur laut yang jauh dari platform adalah prasasti Dhammazedi dari 1485, yang semula di tangga timur. Menuju selatan ke arah tangga itu, memenuhi rumah paviliun elegan Titthadaganda Maha Bell, yang dilemparkan pada tahun 1841 dan berat 42 ton. Langit-langit paviliun lonceng terbuat dari pernis berhiaskan kaca.

Menghadapi tangga timur adalah ruang suci Timur, secara luas dianggap paling indah di platform. Dibangun kembali setelah kebakaran tahun 1931, merupakan rumah gambar Kakusandha, Buddha pertama. Di kedua sisi adalah tulisan planet untuk bulan; berdekatan dengan arahke utara adalah payung emas Shan. Di belakang aula kuil, sampai pada alas stupa utama, adalah gambar Buddha dikenal sebagai Tawa-gu. Sebelah pintu masuk Timur adalah U Nyo paviliun, dengan serangkaian panel dari kayu yang menggambarkan adegan dari kehidupan Buddha Gautama.

Sebuah struktur dari selatan dari sini adalah tulisan doa atasnya oleh burung mitologi Hintha dan lonceng yang tergantung. Berlawanan dari sudut tenggara adalah tulisan planet Mars. Sudut tenggara platform memiliki pohon lain pohon bodhi suci dan menawarkan pandangan yang baik atas Yangon dan di seberang Sungai Yangon. Daerah platform ini adalah rumah ke kantor para wali pagoda, sebuah museum kecil, sebuah paviliun dengan ukiran kayu halus, hti bergulir, dan teleskop untuk melihat tinggi hti nyata atas stupa.
Share:

Selasa, 26 Februari 2013

Jadikan Nibbana Sebagai Tujuanmu

 on  with No comments 
In ,  
Jadikan Nibbana Sebagai Tujuanmu[1]
Judul Asli: Let Your Aim be Nibbana
Oleh: Y.M. Ajahn Chah
Penerjemah: Bhagavant.com

Pada saat ini arahkan pikiran Anda untuk mendengarkan Dhamma. Secara tradisi hari ini adalah hari dhammasavana (mendengarkan dhamma). Ini adalah waktu yang tepat bagi kita, para umat Buddha untuk mempelajari dhamma guna meningkatkan kesadaran dan kebijaksanaan kita. Memberi dan menerima ajaran adalah sesuatu yang telah kita lakukan untuk waktu yang lama. Kegiatan yang biasanya kita lakukan pada hari ini, seperti melantunkan pujian kepada Sang Buddha, mengambil sila, bermeditasi, dan mendengarkan ajaran, seharusnya dipahami sebagai cara dan prinsip bagi pengembangan spiritual. Hal itu tidak lebih dari ini.

Sebagai contoh, ketika tiba saatnya untuk mengambil sila, seorang bhikkhu akan membacakan sila-sila dan para umat awam akan berjanji untuk menerimanya. Janganlah salah paham terhadap apa yang terjadi. Sebenarnya adalah, kemoralan merupakan sesuatu yang tidak bisa diberikan. Kemoralan sebenarnya tidak dapat diminta atau diterima dari seseorang. Kita tidak bisa memberikannya pada orang lain. Dalam keseharian kita, kita mendengar orang-orang berkata, “Bhante telah memberikan sila dan kami telah menerima sila”. Kita berbicara seperti ini, disini, dipinggir kota dan menjadi kebiasaan kita dalam cara memahami.

Jika kita berpikir seperti itu, maka kita datang untuk menerima sila dari para bhikkhu pada hari penanggalan bulan (uposatha) dan jika para bhikkhu tidak ingin memberikan sila maka kita tidak memiliki kemoralan, hal itu hanyalah rekaan tradisi yang kita warisi dari nenek moyang kita. Berpikir dengan cara ini berarti kita menyerahkan tanggung jawab kita, kita tidak memiliki kepercayaan yang kuat dan keyakinan pada diri sendiri. Kemudian hal ini dibiarkan diturunkan kepada generasi berikutnya, dan mereka akhirnya juga datang untuk 'menerima' sila dari para bhikkhu. Dan para bhikkhu mulai mempercayai bahwa mereka adalah satu-satunya orang yang 'memberikan' sila kepada umat awam. Kenyataannya, kemoralan dan sila tidak seperti itu. Kemoralan dan sila bukanlah sesuatu yang 'diberikan' atau 'diterima', tetapi saat seremonial pelimpahan jasa dan sejenisnya, kita menggunakan hal ini sebagai ritual berdasarkan tradisi dan menggunakan terminologi (istilah).

Sebenarnya, moralitas terletak pada niat seseorang. Jika Anda memiliki kesadaran yang kuat untuk menahan diri dari tindakan yang membahayakan dan dari perbuatan yang salah yang dilakukan oleh jasmani dan ucapan, maka moralitas akan datang pada diri Anda. Anda perlu mengetahuinya dalam diri Anda sendiri. Tidak apa-apa untuk berjanji pada orang lain. Anda bisa mengingat sila oleh diri Anda sendiri. Jika Anda tidak tahu sperti apa sila itu, maka Anda bisa meminta penjelasan dari orang lain. Hal ini bukanlah sesuatu yang sangat rumit dan jauh. Jadi sebenarnya, kapanpun kita mengharapkan untuk 'menerima' moralitas dan Dhamma, kita segera mendapatkannya.

Hal ini seperti udara yang mengelilingi kita dimana saja. Kapanpun kita menarik nafas, kita akan memperolehnya. Begitu juga dalam hal kebaikan dan kejahatan. Jika kita berharap untuk melakukan kebaikan, kita dapat melakukannya dimana saja, kapan saja. Kita dapat melakukannya sendiri, atau bersama-sama dengan orang lain. Begitu juga dengan kejahatan. Kita dapat melakukannya dengan kelompok besar maupun kecil, ditempat tersembunyi ataupun di tempat terbuka. Sama seperti itu.
Share:

Senin, 25 Februari 2013

The Two Faces of Reality

 on  with No comments 
In ,  
The Two Faces Of Reality [1]
Oleh Ajahn Chah
Diterjemahkan dari ajahnchah.org

Dalam hidup kita, kita memiliki dua kemungkinan: menuruti duniawi atau melampaui duniawi. Sang Buddha adalah seseorang yang mampu membebaskan diri dari dunia dan dengan demikian menyadari pembebasan spiritual.

Dengan cara yang sama, ada dua jenis pengetahuan yaitu pengetahuan tentang alam duniawi dan pengetahuan tentang kebijaksanaan spiritual, atau kebijaksanaan mutlak. Jika kita belum berlatih dan melatih diri kita sendiri, tidak peduli berapa banyak pengetahuan duniawi yang kita miliki, dan dengan demikian tidak dapat membebaskan kita.

Berpikirlah dan benar-benar melihat dengan dekat! Sang Buddha mengatakan bahwa hal-hal dari duniawi berputar di sekitar dunia. Mengikuti duniawi, pikiran terjerat di dunia, mencemari dirinya sendiri apakah datang atau pergi, tidak pernah tersisa. Orang duniawi adalah mereka yang selalu mencari sesuatu – dan tidak pernah dapat menemukan dengan cukup. Pengetahuan duniawi benar-benar kebodohan, itu bukan pengetahuan dengan pemahaman yang jelas, sehingga tidak pernah ada akhirnya. Hal ini berkisar pada tujuan duniawi mengumpulkan benda-benda, mendapatkan status, mencari pujian dan kesenangan, sekumpulan khayalan yang telah menempel dengan cepat.

Setelah kita mendapatkan sesuatu, ada iri hati, khawatir dan egoisme. Dan ketika kita merasa terancam dan tidak dapat mencegahnya, kita menggunakan pikiran kita untuk menciptakan segala macam perangkat, sampai ke senjata dan bahkan bom nuklir, hanya untuk saling meledakkan. Mengapa semua ini menjadi masalah dan menyulitkan?

Ini adalah cara duniawi. Sang Buddha mengatakan bahwa jika seseorang mengikutinya di sekitar sana adalah tidak ada akhir.

Ayo berlatih untuk pembebasan! Tidaklah mudah untuk hidup sesuai dengan kebijaksanaan sejati, tapi siapa pun yang sungguh-sungguh mencari jalan dan buah dan bercita-cita untuk Nibbāna akan mampu bertahan dan bertahan. Bertahan menjadi puas dan puas dengan sedikit, makan sedikit, tidur sedikit, berbicara sedikit dan hidup secukupnya. Dengan melakukan ini kita bisa mengakhiri keduniawian.

Jika benih keduniawian belum tumbang, maka kita terus bermasalah dan bingung dalam siklus yang tidak pernah berakhir. Bahkan ketika Anda datang untuk ditahbiskan, terus menarik Anda untuk pergi. Hal ini menciptakan pandangan Anda, pendapat Anda, warna dan menghiasi semua pikiran Anda - itulah cara duniawi.

Orang-orang tidak menyadari! Mereka mengatakan bahwa mereka akan mendapatkan hal-hal yang dilakukan di dunia. Ini selalu menjadi harapan mereka untuk menyelesaikan segalanya. Sama seperti seorang menteri pemerintah baru yang ingin memulai dengan administrasi barunya. Dia berpikir bahwa ia memiliki semua jawaban, jadi dia merubah segala sesuatu dari pemerintahan lama dan mengatakan, ''Lihat! Saya akan melakukan semuanya sendiri''. Itu semua mereka lakukan, banyak hal keluar masuk, tidak pernah mendapatkan apa-apa yang dilakukan. Mereka mencoba, tetapi tidak pernah mencapai setiap penyelesaian yang nyata.

Anda tidak pernah bisa melakukan sesuatu yang akan menyenangkan semua orang - satu orang menyukai sedikit, yang lain suka banyak, seperti salah satu pendek dan satu suka panjang, beberapa suka pedas, asin dan beberapa suka renyah. Untuk membuat semua orang bersama-sama dalam satu pemikiran tidak dapat dilakukan.

Semua dari kita ingin mencapai sesuatu dalam hidup kita, tapi dunia, dengan semua kompleksitas, membuat hampir tidak mungkin untuk membawa segala penyelesaian yang nyata. Bahkan Sang Buddha, lahir dengan semua peluang dari seorang pangeran yang mulia, tidak menemukan penyelesaian ada di kehidupan duniawi.

Perangkap Dari Indera
Sang Buddha mengatakan tentang keinginan dan enam hal di mana hasrat memuaskan: pemandangan, suara, bau, rasa, sentuhan dan pikiran-benda. Keinginan dan nafsu untuk kebahagiaan, penderitaan, untuk kebaikan, untuk kejahatan dan sebagainya, meliputi semuanya.

Pemandangan ... tidak ada pemandangan yang sama seperti yang dilakukan oleh seorang wanita. Bukankah begitu? Bukankah seorang wanita benar-benar menarik membuat Anda ingin melihatnya? Seseorang dengan sosok yang benar-benar menarik datang menyusuri jalan, ''sak, sek, sak, sek, sak,'' Anda tidak bisa membantu tetapi menatapnya! Bagaimana dengan suara? Tidak ada suara yang lebih dari seorang wanita itu. Hal ini menembus jantung Anda! Bau adalah sama, aroma wanita adalah yang paling memikat dari semua. Tidak ada bau lain yang persis sama. Rasanya - bahkan rasa makanan paling lezat tidak dapat dibandingkan dengan seorang wanita. Sentuhan adalah sama, ketika Anda memeluk wanita, Anda tertegun dan mabuk.

Pernah ada seorang guru mantar magis terkenal dari Taxila di India kuno. Dia mengajarkan muridnya semua pengetahuan tentang pesona dan mantra. Ketika murid-muridnya telah berpengalaman dan siap untuk berjalan sendiri, ia meninggalkannya dengan instruksi terakhir dari gurunya, ''Saya telah mengajarimu semua mantera yang saya tahu, mantera dan ayat-ayat pelindung. Makhluk dengan tanduk dan gigi tajam, dan gading bahkan yang besar, Anda tidak perlu takut. Anda akan dijaga dari semua mantera ini, saya bisa menjaminnya. Namun, hanya ada satu hal yang saya tidak bisa menjamin perlindungan terhadap Anda, dan itu adalah daya tarik dari seorang wanita[2]. Saya tidak bisa membantu Anda. Tidak ada mantra untuk perlindungan terhadap yang satu ini, Anda harus menjaga diri sendiri''.

Objek mental muncul dalam pikiran. Mereka lahir dari keinginan: keinginan untuk harta berharga, keinginan untuk menjadi kaya, dan hanya sebuah kegelisahan yang diinginkan dengan hal-hal secara umum. Jenis keserakahan tidak semua mendalam atau kuat, itu tidak cukup untuk membuat Anda pingsan atau kehilangan kendali. Namun, ketika hasrat seksual muncul, Anda kehilangan keseimbangan dan kehilangan kendali Anda. Anda bahkan akan melupakan mereka yang membesarkan Anda yaitu orang tua Anda sendiri!

Sang Buddha mengajarkan bahwa obyek indera kita adalah perangkap - perangkap dari Māra[3]. Mara harus dipahami sebagai sesuatu yang merugikan kita. Perangkap adalah sesuatu yang mengikat kita, sama seperti suatu jerat. Ini adalah perangkap sang Mara, jerat pemburu, dan pemburu adalah Mara.

Jika hewan yang terjebak dalam perangkap pemburu, itu adalah keadaan sedih. Mereka tertangkap dengan cepat menunggu pemilik perangkap. Pernahkah Anda menjerat burung? Mata jerat dan ’’Boop’’ - tertangkap di leher! Sebuah senar yang kuat dan baik menjerat dengan baik. Kemana pun burung terbang, tidak dapat melarikan diri. Ia terbang kesana dan terbang kemari, tetapi jerat bekerja dengan erat menunggu pemilik jerat datang. Ketika pemburu datang, itu saja - burung tersebut dihinggapi dengan rasa takut, tidak ada jalan keluar!

Perangkap dari penglihatan, suara, bau, rasa, sentuhan dan pikiran-benda adalah sama. Mereka menangkap kita dan mengikat kita dengan cepat. Jika Anda memasang indra, anda sama seperti ikan tertangkap kail. Ketika nelayan datang, anda berjuang dengan semua yang diinginkan, tetapi tidak bisa lepas. Sebenarnya, Anda tidak tertangkap seperti ikan, itu lebih seperti katak - katak menelan bulat-bulat mata kail ke dalam ususnya, ikan hanya tertangkap dalam mulutnya.

Siapapun yang melekat pada indera adalah sama. Seperti orang mabuk yang hatinya belum hancur - ia tidak tahu kapan dia akan cukup. Dia terus memanjakan dan minum sembarangan. Dia tertangkap dan kemudian menderita sakit dan nyeri.

Seorang pria datang berjalan di sepanjang jalan. Dia sangat haus dari perjalanannya dan memiliki keinginan untuk minum air. Pemilik air mengatakan, ''Anda bisa minum air ini jika Anda suka, warnanya bagus, bau yang baik, rasa baik, tetapi jika Anda minum itu, Anda akan menjadi sakit. Saya harus mengatakan ini sebelumnya, itu akan membuat Anda sakit cukup untuk mematikan atau hampir mati''. Orang haus tidak mendengarkan. Dia haus seperti seorang yang setelah operasi dilarang minum air selama tujuh hari - dia menangis untuk air!

Ini sama dengan orang yang haus dengan indera. Sang Buddha mengajarkan bahwa mereka beracun - pemandangan, suara, bau, rasa, sentuhan dan pikiran-benda adalah racun, mereka adalah perangkap berbahaya. Tapi orang ini haus dan tidak mendengarkan, karena rasa haus dia menangis, menangis, ''Berikan aku air, tidak peduli betapa menyakitkan konsekuensi, biarkan aku minum'' Jadi dia mencelupkan keluar sedikit lalu menelannya dan menemukan itu rasa yang sangat lezat. Dia minum mengisi nafsunya dan lalu mendapat rasa sakit sehingga ia hampir mati. Dia tidak mendengarkan karena nafsu keinginannya tak tertahankan.

Ini adalah bagaimana orang tersebut terjebak dalam kesenangan indra. Dia minum dalam pemandangan, suara, bau, rasa, sentuhan dan pikiran benda, mereka semua sangat lezat! Jadi dia minuman tanpa berhenti dan di sana ia masih tetap terjebak dengan cepat sampai pada hari ia meninggal.

Share:

Sabtu, 23 Februari 2013

Upacara Dalam Agama Buddha

 on  with No comments 
In  
  1. Pengertian upacara
    • Suatu cetusan hati nurani manusia terhadap suatu keadaan.
    • Sebagai salah satu bentuk kebudayaan dapat kita selenggarakan sesuai dengan tradisi dan perkembangan jaman asalkan selalu didasarkan pada pandangan benar.
    • Buddha Dhamma sebagai ajaran universal, tidak mengalami perubahan (pengurangan maupun tambahan). Oleh sebab itu, manifestasi pemujaan kita pada Tiratana yang dijelmakan dalam bentuk upacara & cara kebaktian hendaknya tetap didasari dengan pandangan benar sehingga tidak menyimpang dari Buddha Dhamma itu sendiri.

  2. Sejarah terjadinya upacara dalam agama Buddha
    • Sang Buddha tidak pernah mengajar cara upacara. Sang Buddha hanya mengajarkan Dhamma agar semua makhluk terbebas dari penderitaan.
    • Upacara yang ada pada saat itu hanyalah upacara penahbisan bhikkhu & samanera.
    • Upacara yang sekarang ini kita lihat merupakan perkembangan dari kebiasaan yang ada, yang terjadi sewaktu Sang Buddha masih hidup, yaitu yang disebut `Vattha’, yang artinya kewajiban yang harus dipenuhi oleh para bhikkhu seperti merawat Sang Buddha, membersihkan ruangan, mengisi air, dsb; dan kemudian mereka semua bersama dengan umat lalu duduk mendengarkan khotbah Sang Buddha.
    • Setelah Sang Buddha parinibbana, para bhikkhu dan umat tetap berkumpul untuk mengenang Sang Buddha dan menghormat Sang Tiratana, yang sekaligus merupakan kelanjutan kebiasaan Vattha.

  3. Dua cara pemujaan
  4. Dalam agama Buddha juga terdapat ajaran tentang `pemujaan’. Namun, pemujaan dalam agama Buddha ditujukan pada obyek yang benar (patut) dan didasarkan pada pandangan benar. Menurut naskah Pali – Dukanipata, Anguttara Nikaya, Sutta Pitaka, ada dua cara pemujaan, yaitu:
    1. Amisa Puja
      1. Makna Amisa Puja
        • Secara harafiah berarti pemujaan dengan persembahan. Kitab Mangalattha-dipani menguraikan empat hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan Amisa Puja ini, yaitu:
          1. Sakkara: memberikan persembahan materi
          2. Garukara: menaruh kasih serta bakti terhadap nilai-nilai luhur
          3. Manana: memperlihatkan rasa percaya/yakin
          4. Vandana: menguncarkan ungkapan atau kata persanjungan.
        • Selain itu, ada tiga hal lagi yang juga harus diperhatikan agar Amisa Puja dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya. Ketiga hal tersebut yaitu :
          1. Vatthu sampada: kesempurnaan materi
          2. Cetana sampada: kesempurnaan dalam kehendak
          3. Dakkhineyya sampada : kesempurnaan dalam obyek pemujaan
      2. Sejarah Amisa Puja
      3. Asal mulanya dari kebiasaan Bhikkhu Ananda yg selalu merawat Sang Buddha.
    2. Patipatti Puja
      1. Makna Patipatti Puja
      2. Secara harafiah berarti pemujaan dengan pelaksanaan. Sering juga disebut sebagai Dhammapuja. Menurut Kitab Paramatthajotika, yang dimaksud “pelaksanaan” dalam hal ini adalah :
        1. Berlindung pada Tisarana (Tiga Perlindungan), yakni Buddha, Dhamma, dan Ariya Sangha
        2. Bertekad untuk melaksanakan Panca Sila Buddhis (Lima Kemoralan) yakni pantangan untuk membunuh, mencuri, berbuat asusila, berkata yang tidak benar, mengkonsumsi makanan/minuman yang melemahkan kewaspadaan
        3. Bertekad melaksanakan Atthanga Sila (Delapan Sila) pada hari-hari Uposatha.
        4. Berusaha menjalankan Parisuddhi Sila (Kemurnian Sila), yaitu:
          • Pengendalian diri dalam tata tertib (Patimokha-samvara)
          • Pengendalian enam indera (Indriya-samvara)
          • Mencari nafkah hidup secara benar (Ajiva-parisuddhi)
        5. Pahala Patipatti Puja
          • Dalam Sutta Pitaka bagian Anguttara Nikaya, Dukanipata, dengan sangat jelas Sang Buddha Gotama menandaskan demikian: “Duhai para bhikkhu, ada dua cara pemujaan, yaitu Amisa Puja dan Dhamma Puja. Di antara dua cara pemujaan ini, Dhamma Puja (Patipatti Puja) adalah yang paling unggul”.
          • Dengan demikian sudah selayaknya jika umat Buddha lebih menekankan pada pelaksanaan Patipatti Puja alih-alih Amisa Puja.

        6. Sejarah Patipatti Puja
          • Cerita tentang Bhikkhu Tissa yang bertekad berpraktek Dhamma hingga berhasil menjelang empat bulan lagi Sang Buddha parinibbana. Dalam hal tersebut Sang Buddha bersabda: “Duhai para bhikkhu, barang siapa mencintai-Ku, ia hendaknya bertindak seperti Tissa. Karena, mereka yang memuja-Ku dengan mempersembahkan berbagai bunga, wewangian, dan lain-lain, sesungguhnya belumlah bisa dikatakan memuja-Ku dengan cara yang tertinggi/terluhur. Sementara itu, seseorang yang melaksanakan Dhamma secara benar itulah yang patut dikatakan telah memuja-Ku dengan cara tertinggi / terluhur”.

          • Peristiwa yang mirip juga terjadi atas diri Bhikkhu Attadattha, sebagaimana yang dikisahkan dalam Kitab Dhammapada Atthakatha.

          • Menyadari betapa penting hal tersebut untuk dipahami dengan jelas, Sang Buddha Gotama secara resmi juga menandaskan kembali kepada Ananda Thera demikian: “Duhai Ananda, penghormatan, pengagungan, dan pemujaan dengan cara tertinggi/terluhur bukanlah dilakukan dengan memberikan persembahan bunga, wewangian, nyanyian, dan sebagainya. Akan tetapi Ananda, apabila seseorang bhikkhu, bhikkhuni, upasaka, atau upasika, berpegang teguh pada Dhamma, hidup sesuai dengan Dhamma, bertingkah laku selaras dengan Dhamma, maka orang seperti itulah yang sesungguhnya telah me-lakukan penghormatan, pengagungan, dan pemujaan dengan cara tertinggi/terluhur. Karena itu Ananda, berpegang teguhlah pada Dhamma, hiduplah sesuai dengan Dhamma, dan bertingkah lakulah selaras dengan Dhamma. Dengan cara demikianlah engkau seharusnya melatih diri”.

          • Penerapan Patipatti Puja secara telak dapat menepiskan anggapan salah masyarakat umum bahwa agama Buddha tidak lebih hanyalah suatu agama ritualistis (peribadatan/persembahyangan) belaka.
    3. Makna upacara
    4. Semua bentuk upacara agama Buddha, sebenarnya terkandung prinsip-prinsip sebagai berikut :
      1. Menghormati dan merenungkan sifat-sifat luhur Sang Tiratana
      2. Memperkuat keyakinan (Saddha) dengan tekad (Adhitthana)
      3. Membina empat kediaman luhur (Brahma Vihara)
      4. Mengulang dan merenungkan kembali khotbah-khotbah Sang Buddha
      5. Melakukan Anumodana, yaitu `melimpahkan’ jasa perbuatan baik kita kepada makhluk lain
    5. Manfaat upacara
    6. Secara terperinci manfaat yang langsung didapat dari upacara adalah sebagai berikut:
      1. Saddha : keyakinan dan bakti akan tumbuh berkembang
      2. Brahmavihara : empat kediaman / keadaan batin yang luhur akan berkembang
      3. Samvara : indera akan terkendali
      4. Santutthi : puas
      5. Santi : damai
      6. Sukha : bahagia
    7. Sikap dalam upacara
    8. Upacara merupakan suatu manifestasi dari keyakinan dan kebaktian, oleh sebab itu sikap yang patut diperhatikan oleh umat dalam melakukan upacara adalah sebagai berikut ini:
      1. Sikap menghormat, ada beberapa cara antara lain:
        1. Anjali
        2. Namakara
        3. Padakkhina
      2. Sikap membaca Paritta
        1. Dilakukan dengan khidmat dan penuh perhatian
        2. Dibaca secara benar sesuai dengan petunjuk-petunjuk tanda-tanda bacaannya dan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali Text), seperti pada Vinaya Pitaka, II.108, di mana Sang Buddha bersabda kepada para bhikkhu tentang masalah melagukan pembacaan Dhamma, yaitu sebagai berikut: “Para bhikkhu, ada lima bahaya (keburukan) jika Dhamma diucapkan dengan suara yang dinyanyikan :
          • Ia akan senang (bangga) pada dirinya sendiri sehubungan dengan suaranya yang telah didengarnya
          • Orang lain akan senang mendengar suaranya tersebut (mereka akan tertarik pada lagunya tersebut, bukan pada Dhammanya)
          • Umat awam akan mencemoohkan (karena musik hanya pantas untuk mereka yang masih menyukai kesenangan indera)
          • Karena sibuk mengatur suaranya tersebut, maka konsentrasinya menjadi pecah (ia melupakan makna dari apa yang sedang dibacanya)
          • Orang-orang yang mendengarnya bisa terjebak dalam pandangan-pandangan yang mengandung persaingan (dengan berkata: “Guru-guru dan pembimbing kami melagukannya seperti itu”, hal ini akan menyebabkan timbulnya pertentangan dan saling membanggakan diri pada umat Buddha generasi yang akan datang)
      3. Sikap bersamadhi
        1. Rileks, duduk bersila (bersilang kaki) dan tumpuan kedua tangan di atas pangkuan
        2. Memusatkan pikiran kita kepada obyek meditasi yang biasanya cocok untuk kita gunakan, misalnya pernafasan, sifat-sifat luhur Sang Tiratana, Empat Keadaan Batin yang Luhur (Brahma Vihara), dan sebagainya.
    9. Cara melakukan upacara yang benar
      1. Mengerti akan makna upacara seperti yang telah diuraikan di atas
      2. Setiap melakukan upacara harus benar-benar memahami apa yang dilakukan, bukan semata-mata tradisi yang mengikat yang tidak membawa kita pada pembebasan (Silabbataparamasa-samyojjana)
    Sumber : www.samaggi-phala.or.id
    Share:

    Māgha Puja

     on  with No comments 
    In  
    Māgha merupakan salah satu nama bulan dalam penanggalan di India kuno. Biasanya bulan Māgha ini jatuh antara bulan Februari dan Maret. Māgha Pūjā berarti puja/peringatan yang berhubungan dengan bulan Māgha. Māgha Pūjā yang kita peringati ini terjadi sembilan bulan setelah Pangeran Siddhartha mencapai penerangan sempurna di bulan Waisak. Hari suci Māgha Puja memperingati empat peristiwa penting, yaitu :
    1. Seribu dua ratus lima puluh orang bhikkhu datang berkumpul tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
    2. Mereka semuanya telah mencapai tingkat kesucian arahat.
    3. Mereka semuanya memiliki enam abhinna.
    4. Mereka semua ditabiskan oleh Sang Buddha dengan ucapan “Ehi Bhikkhu”.
    Peristiwa penting ini dinamakan Caturangga-sannipata, yang berarti pertemuan besar para arahat yang diberkahi dengan empat faktor, yaitu seperti tersebut di atas. Peristiwa penting ini terjadi hanya satu kali dalam kehidupan Sang Buddha Gotama, yaitu pada saat purnama penuh di bulan Magha (Februari), tahun 587 Sebelum Masehi ( sembilan bulan setelah Sang Buddha mencapai Bodhi). Pada waktu itu, seribu dua ratus lima puluh orang bhikkhu datang secara serempak pada waktu yang bersamaan, tanpa adanya undangan dan perjanjian sebelumnya ke tempat kediaman Sang Buddha di vihara Veluvana (Veluvanarama, yang berarti hutan pohon bambu) di kota Rajagaha. Mereka datang dengan tujuan untuk memberi hormat kepada Sang Buddha sekembalinya mereka dari tugas menyebarkan Dhamma dan melaporkan hasil penyebaran Dhamma yang telah mereka lakukan tersebut.

    Para bhikkhu yang berkumpul pada peristiwa Magha Puja itu telah mencapai tingkat kesucian yang tertinggi, yaitu arahat. Mereka telah berhasil membasmi semua kilesa atau kekotoran batinnya sampai keakar-akarnya, sehingga mereka dikatakan telah khinasava atau bersih dari kekotoran batin. Mereka tidak mungkin lagi berbuat salah. Mereka telah sempurna.

    Mereka memiliki abhinna atau kemampuan batin yang lengkap yang berjumlah enam jenis, yaitu :
    1. Pubbenivasanussatinana, yang berarti kemampuan untuk mengingat tumimbal lahir yang dahulu.
    2. Dibbacakkhunana, yang berarti kemampuan untuk melihat alam-alam halus dan kesanggupan melihat muncul lenyapnya makhluk-makhluk yang bertumimbal lahir sesuai dengan karmanya masing-masing (mata dewa).
    3. Asavakkhayanana, yang berarti kemampuan untuk memusnahkan asava atau kekotoran batin.
    4. Cetoporiyanana, yang berarti kemampuan untuk membaca pikiran makhluk-makhluk lain.
    5. Dibbasotanana, yang berarti kemampuan untuk mendengar suara-suara dari alam apaya, alam manusia, alam dewa, dan alam brahma yang dekat maupun yang jauh.
    6. Iddhividhanana, yang berarti kekuatan magis, yang terdiri dari :
    1. Adhittana-iddhi, yang berarti kemampuan mengubah tubuh sendiri dari satu menjadi banyak dan dari banyak menjadi satu.
    2. Vikubbana-iddhi, yang berarti kemampuan untuk “menyalin rupa “, umpamanya menyalin rupa menjadi anak kecil, raksasa membuat diri menjadi tidak tertampak.
    3. Manomaya-iddhi, yang berarti kemampuan mencipta dengan menggunakan pikiran, umpamanya menciptakan harimau, pohon, dewi.
    4. Nanavipphara-iddhi, yang berarti pengetahuan menembus ajaran.
    5. Samadhivipphara-iddhi, yang berati kemampuan konsentrasi, seperti:
    • Kemampuan menembus dinding, tanah, dan gunung.
    • Kemampuan menyelam ke dalam bumi bagaikan menyelam kedalam air.
    • Kemampuan berjalan diatas air.
    • Kemampuan melawan air.
    • Kemampuan terbang di angkasa.

    Para bhikkhu yang berkumpul pada peristiwa Magha Puja itu semuanya ditabiskan oleh Sang Buddha dengan cara “Ehi Bhikkhu Upasampada”. Pada saat pentahbiskan itu, Sang Buddha mengucapkan kata-kata sebagai berikut :
    “ Mari (Ehi) Bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakan penghidupan suci dan singkirkan penderitaan.”

    Pada kesempatan agung itu, Sang Buddha menerangkan prinsip-prinsip ajaran yang disebut Ovada Patimokkha. Isi dari Ovada Patimokkha itu sama dengan syair yang tercantum dalam kitab suci Dhammapada bab XIV ayat 183, 184, dan 185 yaitu sebagai berikut :

    Khantῑ paramaṁ tapo tῑtikkhā
    Nibbānaṁ paramaṁ vadanti buddhā
    Na hi pabbajito parūpaghātῑ
    Samaṇo hoti paraṁ viheṭhayanto

    Sabbapāpassa akaraṇaṁ
    Kusalassūpasampadā
    Sacittapariyodapanaṁ
    Etam buddhāna sāsanaṁ

    Anūpavādo anūpaghāto
    Pāṭimokkhe ca saṁvaro
    Mattaññutā ca bhattasmiṁ
    Pantañca sayanāsanaṁ
    Adhicitte ca āyogo
    Etaṁ buddhāna sāsananti

    Kesabaran adalah praktik bertapa yang paling tinggi.
    “ Nibbana adalah yang tertinggi,” begitulah sabda para Buddha.
    Dia yang masih menyakiti orang lain,
    Sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana).

    Janganlah berbuat kejahatan,
    Perbanyaklah perbuatan baik,
    Sucikan hati dan pikiran,
    Inilah ajaran para Buddha.

    Tidak menghina, tidak menyakiti,
    Mengendalikan diri sesuai dengan peraturan,
    Makanlah secukupnya,
    Hidup di tempat yang sunyi,
    Dan giat mengembangkan batin nan luhur,
    Inilah ajaran para Buddha.

    Ovādapāṭimokkha yang dibabarkan Sang Buddha merupakan nasehat tentang cara hidup luhur bagi para samana/para bhikkhu. Hidup luhur adalah hidup yang bebas dari segala noda batin yakni; kāmāsava (noda batin berupa nafsu indria), bhavāsava (noda batin berupa kesenangan kemenjadian), avijjāsava (noda batin berupa ketidaktahuan). Untuk membebaskan diri dari segala noda batin adalah dengan pengembangan sῑla, samādhi, dan paññā.

    Sῑla, samādhi, dan paññā akan berkembang dengan maju jika dilandasi dengan praktik kesabaran. Tanpa adanya kesabaran, sīla, samādhi, dan paññā sulit untuk dikembangkan. Oleh karena itu, Guru Agung kita meletakkan kesabaran, dalam syair paling awal. Mengingat bahwa kunci dasar untuk melatih diri, menahan diri serta mengembangkan diri adalah dengan praktik kesabaran.

    Bagi kita umat Buddha, setiap kali kita memperingati Māgha Pūjā, kita seolah-olah diingatkan kembali tentang kesabaran, karena mengingat betapa pentingnya manfaat memiliki kesabaran.

    Pada saat sulit, saat ada masalah, jalan untuk menghadapinya adalah dengan mempraktikkan sikap hidup yang sabar. Orang yang sabar adalah orang yang tahan terhadap penderitaan yang dialami.

    Kesabaran sulit dimiliki, jika di dalam diri seseorang masih ada nafsu keinginan. Kesabaran muncul dengan mengembangkan kesadaran dan kebijaksanaan. Sabar berarti juga berhati-hati, tidak gegabah, dan juga bisa mengendalikan diri.

    Semoga kita semua dapat mempraktikkan kesabaran dalam kehidupan sehari-hari sehingga kita selalu hidup bahagia.

    Pesan terakhir Sang Buddha:
    Handadāni bhikkhave amantayāmi vo,
    Vaya dhammā saṅkhārā,
    Appamādena sampādethāti.

    ”Kini, oh para bhikkhu, Kuberitahukan kepadamu bahwa; segala sesuatu yang muncul dari perpaduan faktor pembentuk sewajarnya mengalami kehancuran. Sempurnakanlah tugas kalian tanpa lengah.”

    Pada peristiwa Suci Magha Puja itu, Sang Buddha juga memberitahukan pengangkatan Arahat Sariputta dan Arahat Moggallana sebagai siswa Utama Beliau (Aggasavaka) dalam Sangha Bhikkhu.
    Share:

    Selasa, 19 Februari 2013

    Y.M. Sayadaw U Waryameinda

     on  with No comments 
    In  
    Yang Mulia Sayadaw U Waryameinda lahir dari pasangan U Kyaw U dan Daw Shwe Mya di desa Ywadaw, dekat kota Minlha, Burma pada tanggal 25 Mei 1921. Pada usia 5 samapi 13 tahun beliau belajar dibawah bimbingan Yang Mulia Hman Kyaung Sayadaw.

    Di usia 13 tahun itu pula beliau ditahbiskan sebagai samanera, calon bhikkhu dan belajar dasar-dasar Pitaka di Masoeyein Taik Vihara yang sangat terkenal di Mandalay.

    Beliau lulus dari ujian samanera dasar, menengah, dan tinggi di tahun 1936, 1937, dan 1941 dengan baik. Beliau juga lulus dari ujian kelas 7 sekolah menengah bahasa Inggris ditahun 1954 dan masuk perguruan tinggi tahun 1960. umur 20 tahun beiau ditahbiskan sebagai bhikkhu dan menjadi anggota Sangha (persamuan para bhikkhu).

    Yang memberi sila pada beliau saat itu adalah Y.M. U Warathapa dari kota Kyaiklat. Beliau banyak mempelajari naskah-naskah Buddhis dibawah bimbingan Y.M. Thera U Tilawka dari Pakokku Vihara. Kemudian, beliau kembali ke Hmankyaing Vihara di Minlha selama perang dunia II berlangsung.

    Mulai tahun 1947, sekali lagi, Sayadaw mempelajari naskah-naskah Buddhis dari teks-teks Pali yang lebih tinggi, yakni Attagatha dan Tika serta 5 Nikaya dibawah bimbingan Y.M. U Kunneinya dari Chaukhatatkyi, Rangoon. Dan tahun 1954 beliau menjadi ketua Minlha Vihara di jalan Yedashi, Kota Bahan, Yangon.

    Beliau melatih diri kemabli dengan praktek meditasi Satipatthana Vipassana di Mahasi Sasana Yeikhta menurut cara yang diajarkan Y.M. Mahasi Sayadaw Aggamahapanditha Sabhana Mahathera. Selain itu jabatan beliau adalah:
    1. Sekretaris dari asosiasi bhikkhu-bhikkhu awal kotapraja dari vihara-vihara utama di Kotapraja Bahan, Rangoon.
    2. Ketua Asosiasi Vihara Rangoon – Minlha.
    3. Kammathanacariya Sayadaw di cabang Myathalun Manhasi Sasana Yeikhta Vihara, jalan Yedashi, Kotapraja Bahan, Rangoon.
    Yang Mulia Sayadaw pernah tinggal di Malaysia dari bulan Agustus 1985 sampai dengan Juni 1986. Sebagian besar waktunya dihabiskan di The Malaysian Buddhist Meditastion Center. Beliau mengunjungi tempat ini lagi pada Januari 1987. Beliau memutuskan untuk kembali ke Burma pada April 1987 karena kondisi kesehatan yang buruk. Akhirnya pada tanggal 11 Juni 1987 beliau meninggal.

    Y.M. Sayadaw dipenuhi cinta kasih, welas asih, dan kesabaran yang berlimpah. Hal ini pula yang membuat beliau selalu rajin dan sadar. Beliau meyakini para muridnya bisa mengembangkan kualitas yang sama seperti dirinya. Dalam bimbingan dan memberikan petunjuk kepada para muridnya, beliau selalu menekankan untuk rajin-rajin berlatih meditasi satipathana vipassana. Terampil dalam memberikan instruksi serta penuh dengan kelembutan dalam menunjukkan jalan agara dicapai kemajuna.

    Bagi para murid yang pernah memiliki kesempatan berlatih dibawah bimbingan beliau, mereka tersentuh dan terilhami oleh cara beliau dalam menegakkan disiplin dengan penuh kelembutan. Beliau juga dikenal sebagai guru yang dicintai oleh para muris-muridnya. Dan selalu bersungguh-sungguh dalam menguraikan dhamma agar mudah dimengerti serta diambil manfaatnya.

    Bagaimanapun, guru dengan kualitas seperti ini sulit untuk ditemukan saat ini. Ketidakberdayaannya merupakan suatu kehilangan besar bagi umat Buddhis.

    Diambil dari buku:
    ASIVISOPAMA SUTTA
    (Sutta Ular-ular Berbisa)
    Oleh: Venerable Sayadaw U Waryameinda (Minlha Sayadaw)

    Diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Indonesia Oleh:
    Candasili Nunuk Y. Kusmiana
    Editor Oleh: Panna Kumara
    Share:

    Asivisopama Sutta

     on  with No comments 
    In  
    ASIVISOPAMA SUTTA
    (Sutta Ular-ular Berbisa)

    Oleh: Venerable Sayadaw U Waryameinda (Minlha Sayadaw)
    Diterjemahkan dari Bahasa Inggris ke Indonesia Oleh:
    Candasili Nunuk Y. Kusmiana
    Editor Oleh: Panna Kumara
    Tata Letak & Sampul : Samuel B. Harsojo
    Akhir Desember 2004

    Asivisopama sutta atau sutta ular-ular yang sangat berbisa berasal dari Samyutta Nikaya, suatu kumpulan kata-kata dhamma dari Sang Buddha. Dan Mahasi Sayadaw telah berulang kali membabarkan ulang sutta ini. Karena sutta ini dapat dipakai sebagai dasar pengetahuan bagi para yogi yang telah tengah berlatih meditasi vipassana.

    Perumpamaan
    Tersebutlah seorang laki-laki yang setelah melakukan perbuatan jahat, tidak mau menanggung akibat perbuatan jahatnya itu. Ia tidak ingin dihukum dan menderita. Sang raja mengetahui bahwa lelaki ini orang jahat. Tetapi ia tidak memiliki bukti yang dapat digunakan untuk menghukum kejahatan yang telah dilakukan tersebut. Namun sang raja menemukan sebuah cara untuk menghukumnya meski tidak secara langsung. Ia diperintahkan memelihara empat ekor ular yang sangat berbisa dan berbahaya. Ular-ular berbisa ini akan menggigit jika marah. Gigitannya dapat menimbulkan penderitaan dan bahkan kematian.

    Seperti perintah raja, ia pun memelihara ular-ular tersebut dengan baik. Setiap hari ia membangunkan ular-ular itu, memandikan, memberinya makan, memenuhi segala kebutuhannya dan juga melatihnya. Ia berpikir, merupakan kehormatan baginya mendapat tugas mulia semacam ini dari raja. Maka ia pun merasa bahagia dan menerimakehadiran ular-ular tersebut dengan senang hati. Keempat ular tersebut mengambil posisi demikian. Ular pertama merayap melalui kaki naik ke tubuhnya dan beristirahat di bahu kanan. Ular kedua merangkak dari sisi sebelah kiri dan beristirahat di bahu kiri. Ular ketiga memanjat dari arah depan, melingkari tubuhnya dan beristirahat di muka. Ular keempat merangkak dari belakang dan beristirahat di kepalanya.

    Laki-laki ini tidak menyadari bahwa dirinya dalam bahaya. Sebaliknya, ia bahagia memiliki dan memelihara ular-ular itu. Ular-ular itu diperlakukan seperti perhiasan berharga. Dipamerkannya ular-ular itu berkeliling kota dengan penuh kebanggaan dan kebahagiaan. Suatu hari ia bersua dengan karib sahabatnya. Si sahabat mengingatkannya demikian, ''jika masing-masing ular ini ingin melakukan sesuatu yang berbeda disaat yang bersamaan, kamu tidak akan mampu memuaskan mereka. Akibatnya mereka akan marah dan menggigitmu. Apabila hal ini terjadi, kami akan menderita dan kemungkinan bisa mati.'' Kata sahabat ini lagi, ''Raja sebenarnya secara tidak langsung semghukummu. Bila engkau tidak mapu menjaga ular-ular itu dengan baik atau tidak mampu menyenagkan dan memuaskan mereka, raja akan menghukummu atau ular-ular itu yang menggigitmu sampai mati.''

    Kenyataannya memang demikian. Ada beberapa orang suruhan raja yang diperintahkan mengawasinya, untuk memastikan apakah ia benar-benar menjaga ular-ular itu. Melihat keadaan ini, si sahabat menasehatinya untuk melarikan diri saat pengawas dan ular-ular sedang tidur. Laki-laki ini mematuhi nasehat sahabatnya tersebut. Ia melarikan diri pada saat yang tepat. Raja yang mengetahui bahwa ia melarikan diri, segera memerintahkan para pengawal untuk megejar dan membawanya kebambali. Tak ketinggalan ular-ular juga mengikuti, mengikuti jejaknya dari bau yang ditinggalkannya. Setelah mengejar beberapa lama, baik apara pengawal maupun para ular-ular itu tidak berhasil menemukan buruannya. Tetapi raja tidak berputus asa. Beliau ingat dengan lima musuh lelaki itu. Mereka berkenan mencari, menemukan serta mebawanya kembali dihadapan raja meski tapaimbalan apapun. Raja juga membuat pengumuman dengan hadiah besar bagi siapupun yang berhasil menangkap dirinya.

    Dalam pelariannya, laki-laki ini bertemu lagi dengan sahabat baiknya dan meningatkan dirinya bahwa ia tidak hanya dikejar oleh ular-ular itu dan pesuruh raja. Tetapi juga oleh 5 musuhnya. Maka, si sahabat ini menasehatinya agar lari secepat dan sejauh mungkin. Saat raja menyadari bahwa laiki-laki ini sulit ditemukan, beliau didatangi oleh seseorang yang mengaku kawan dekat buronan raja tersebut. Orang ini akan membujuk laki-laki tersebut pulang kemabli. Jika dilihat sepintas, orang ini bersikap layaknya kawan baik. Tetapi sesungguhnya ia adalah musuh terselubung laki-laki itu. Sekali lagi sahabat baik laki-laki itu datang untuk mengingatkan datangnya seorang ''kawan'', sahabat yang salah. Maka, berbekal nasehat tersebut saat si ''kawan'' ini datang dan membujuknya untuk kembali, ia pun menolaknya. Ia terus berlari sampai menemukan sebuah desa. Desa itu keadaannya berantakan. Dan hanya ada 6 rumah yang sedang ditinggal pergi pemiliknya.

    Ia pun berkeliling mencari makan dan minum di desa ini. Maklum saja, setelah berlari demikian lama, ia kehausan dan kelaparan. Rumah pertama yang dimasukinya hanya ada pot dan beberapa kotak kosong. Demikian pula dengan rumah lainnya, tidak ada sedikit pun makanan tersisa. Karena kelelahan ia duduk di bawah pohon dengan maksud tidur sejenak. Saat itu sahabat baiknya datang dan memberitahukan bahwa rumah-rumah kosong itu milik 6 perampok yang akan segera kembali. Jika para perampok menemukan dirinya, sudah pasti mereka akan membunuhnya. Mendengar nasehat ini, meski kelelahan, ia melanjutkan pelariannya dan terus berlari sampai menemukan sebuah sungai lebar, dalam dan berarus deras. Ia menyadari jika dirinya bisa mencapai sisi seberang, ia akan aman dari perahu yang bisa dipakainya untuk menyebrang.

    Ia pun segera mengumpulkan ranting-ranting pohon dan megikutinya untuk dijadikan sebuah rakit. Saat rakit sederhana itu selesai, ia menaiki dan mengayuh rakit sederhana itu dengan kedua kai dan tangannya. Sekuat tenaga ia berjuang. Dengan keteguhan hati dan usah yang besar akhirnya ia sampai ke sisi seberang sungai. Ditempat ini ia baru merasa lega karena telah terbebas dari musuh-musuhnya. Dari seberang ia meliaht bagaimana ular-ular dan para pengawal raja berdiri keakutan di tepi sungai yang lain. Mereka takut kembali ke kerajaan karena gagal menjalankan tugas dan raja akan memberikan hukuman saat mereka kembalidengan tangan kosong. Akhirnya, mereka menunggu di tepi subgai dengan sia-sia dan mati kelaparan.

    Setelah memberikan perumpamaan ular dan laki-laki ini secara panjang lebar, ada beberapa hal penting dari cerita ini yang dapat diambil hikmahnya bagi para yogi aat berlatih meditasi. Bagaimanapun, menyampaikan cerita saja tidaklah mencukupi. Ada hal penting lain yang perlu dijelaskan untuk para yogi sehingga mereka bisa mempelajari dan mempraktekkan dalam latihan.

    Adapun 3 hal penting yang perlu diperhatikan dalam praktek dhamma, yaitu:
    1. Sabhava Yotti, Melihat segala fenomena pada diri sendiri sebagaimana adanya.
    2. Sadaka Yotti, Contoh mengenai orang lain yang berhasil dalam latihan. Jika menemukan kesulitan saat berlatih, kita bisa mendapat masukan dari contoh-contoh semacam ini.
    3. Ayama Yotti, Seseorang dapat terinspirasi dengan mendengrarkan suatu percakapan. Dalam dhamma tidak ada stupun yang bersifat khayalan. Semua yang dibabarkan bersumber dari Tipitaka, ajaran murni.
    Untuk membabarkan kebenaran dari segala sesuatu sebagaimana danya, maka sumber yang dirujuk harus mengacu pada naskah asli. Disini, Y.M. Mahasi Sayadaw selalu mengingatkan bhikkhu guru meditasi, untuk membabarkan dhamma yang ada hubungnnya dengan vipassana. Ketika mengutip cerita-cerita dhamma seorang guru tidak boleh menekankan selain vipassana. Cerita-cerita yang diambil harus secara langsung berhubungan dengan vipassana. Karena seseorang tak akan bisa meraih pandangan terang hanya dengan belajar, berpikir, mendengarkan khotbah-khotbah atau berdiskusi, hanya melalui praktek (meditasi vipassana) sajalah seseorang bisa mencapai pandangan terang.

    Sekarang kami akan memberikan penjelasan tentang lambang-lambang yang digunakan dalam cerita di atas:
    1. Empat ular berbisa melambangkan empat unsur utama.
    2. Lima musuh berarti lima kelompok kehidupan.
    3. Kawan yang salah adalah nafsu-nafsu raga atau kemelekatan atas kenikmatan indrawi.
    4. Desa berantakan dan enam rumah kosong melambangkan tubuh dan landasan indra.
    5. Sisi sungai merujuk pandangan salah tentang adanya dir-atta ditthi
    6. Sungai berarti empat banjir besar.
    7. Rakit melambangkan Delapan Jalan Utama
    8. Sisi seberang sungai berarti Nibbana
    9. Laki-laki yang menagyuh rakit dengan sekuat tenaga melambangkan diri kita yang berjuang dengan sepenuh daya.
    10. Mencapai pantai seberang berarti mencapai nibbana.
    Share:

    Senin, 18 Februari 2013

    Minggu, 17 Februari 2013

    Minggu, 10 Februari 2013

    Milinda Panha - Pendahuluan

     on  with No comments 
    In ,  
    Pendahuluan

    Milinda Pañha merupakan buku Buddhis kuno yang diagungkan serta dianggap bernilai tinggi sehingga oleh orang-orang Burma dimasukkan ke dalam Kitab Suci Pali. Di dalam Kitab Pali dikatakan bahwa percakapan antara Raja Milinda dengan Nagasena terjadi 500 tahun setelah Sang Buddha parinibbana. T.W. Rhys David, penerjemah yang terkemuka untuk kitab-kitab Pali, menganggap buku ini sangat bagus. Beliau mengatakan, “Saya berani mengatakan bahwa ‘Pertanyaan Raja Milinda‘ ini jelas merupakan karya besar prosa India; dan dipandang dari sudut kesusasteraan benar-benar merupakan buku terbaik di kelasnya, terbaik yang pernah dihasilkan di negara mana pun juga.”[1]

    Gaya Milinda Pañha sangat mirip dengan dialog Platonik, di mana Nagasena memainkan peran sebagai Socrates dan menang berdebat dengan Raja Milinda di dalam sudut pandang Buddhis, karena penalarannya yang sehat dan perumpamaannya yang tepat. Si pengarang memang tidak dikenal, tetapi hampir dapat dipastikan dia dahulu hidup di India Barat Laut atau di Punjab, karena dia sama sekali tidak menyebutkan daerah pedalaman India di bagian selatan Sungai Gangga. Dan ini didukung oleh keterangan yang ada tentang Raja Menander, raja orang-orang Bactria yang dikenal sebagai Milinda.

    Banyak yang diketahui tentang Raja Menander. Sejumlah besar mata uangnya telah ditemukan di daerah yang luas di bagian India Utara, sampai sejauh Kabul di sebelah Barat, Mathura di sebelah Timur serta Kashmir di sebelah Utara. Seringkali dia tergambar sebagai seorang laki-laki muda atau kadang-kadang juga laki-laki yang sangat tua. Plutarch mengatakan, “Menander adalah seorang raja yang terkenal amat adil dan sangat dekat dengan rakyatnya. Maka pada waktu dia meninggal -yang terjadi di suatu camp- berbagai kota berebut untuk memiliki abunya. Pertengkaran itu diselesaikan dengan kesepakatan para wakil dari berbagai kota itu untuk membagi re!iknya, dan kemudian mereka mendirikan monumen-monumen untuk mengenang Sang Raja”.

    Suatu penerbitan tentang harta karun Mir Zakah baru-baru ini menegaskan kepemimpinan Menander di Ghazni dan daerah-daerah sakitarnya di lembah Kabul sebelah utara (ada 521 mata uang Menander di dalam harta karun itu). Penemuan Attic Tetradrachm Menander akhirnya menyelesaikan spekulasi itu. Menander pasti telah memerintah di daerah Kabul. Di sebelah Utara, dia menduduki Hazara dan lembah Swat.[2] Jadi Menander adalah satu dari raja-raja Yunani yang tetap berada di Bactria untuk melanjutkan kekuasaan Yunani yang didirikan oleh Alexander Agung, dan Menander adalah salah satu raja terpenting. Mungkin dia bertahta dari kira-kira 150 SM sampai 110 SM (jadi percakapan ini terjadi lebih dari 400 tahun sesudah Sang Buddha parinibbana).

    Strabo mengingatkan tentang hebatnya kerajaan Bactria yang berekspansi melebihi batas mulanya, dan dia secara kebetulan juga menyebutkan bahwa raja yang terutama bertanggung jawab untuk perluasan itu adalah Demetrius dan Menander … Tetapi dibanding Demetrius,[3] Menander meninggalkan tanda yang jauh lebih mendalam berkenaan dengan tradisi India. Menander menguasai Delta Indus, jasirah Surastra (Kathiavar), menduduki Mathura di Jumna, menyerbu Madyamika (Nagari dekat Chitor) dan Saketam di selatan Oudh, serta mengancam ibukotanya, Pataliputta. Tetapi penyerbuan itu dipukul mundur dan Menander dipaksa kembali ke negaranya sendiri.[4] Karena rakyat Bactria kemudian menjadi Buddhis maka dapat dipastikan bahwa Raja Menander benar-benar adalah Raja Milinda yang diacu di dalam buku itu. Namun ada juga kemungkinan bahwa percakapan itu merupakan alat sastra yang digunakan oleh pengarang untuk menambah daya tarik terhadap apa yang pada mulanya merupakan penjelasan terperinci tentang ajaran Buddhis, dan merupakan sangkalan terhadap pandangan salah yang selama itu telah disebarluaskan oleh mereka yang memusuhi Buddhisme.

    Cerita pembukaan dalam Miln. yang berkenaan dengan masa muda Nagasena juga hampir identik dengan cerita tentang Mogaliputta Tissa muda yang diceritakan dalam Mahavamsa, Kitab Suci Ceylon. Mogaliputta Tissa Thera hidup kira-kira 100 tahun sebelum Menander dan disebutkan 2 kali di dalam teks (Miln. hal. 3,71) sehingga mungkin saja cerita inilah yang lebih tua. Tetapi, Mahavamsa ditulis jauh sesudahnya oleh Mahanama pada permulaan abad ke-6 Masehi, sehingga cerita itu mungkin saja telah dipinjam oleh Mahanama dari buku Miln., yang pada waktu itu merupakan kitab suci yang diedit oleh Buddhagosa. (Dalam Milinda Tika, uraian tentang Miln., dinyatakan bahwa beberapa syair dalam prolog dan epilog dalam Miln. dikarang oleh Buddhagosa).

    Dari percakapan yang dianggap terjadi antara Milinda dengan Purana Kassapa, Makkhali Gosala dan beberapa petapa lain, jelas terlihat bahwa cerita pembukaan ini hanya karangan belaka, karena petapa-petapa ini sezaman dengan Sang Buddha. Cerita ini didasarkan pada Samañña Phala Sutta dari Digha Nikaya. Tetapi ada satu perbedaan yang patut dicatat. Di dalam Samaññaphala Sutta,[5] Pangeran Ajatasattu mengunjungi Sang Buddha tetapi tidak bisa mengenalinya; sementara dalam pendahuluan di Miln., Raja Milinda berkata tentang Nagasena, “Tidak perlu menunjukkan dia kepadaku”. Jadi Raja Milinda tampak lebih tinggi daripada Pangeran Ajatasattu.

    Bangkitnya Kerajaan Magadha
    Di dalam Mahaparinibbana Sutta, Sang Buddha meramalkan bahwa kota Pataliputta, yang dibangun persis sebelum kemangkatannya, akan menjadi kota besar. “Ananda, dari antara kota dan kota besar yang kini merupakan pusat perkumpulan dan perdagangan suku Arya, kota yang baru ini akan menjadi kota terbesar yang disebut Pataliputta, suatu tempat di mana barang-barang dibongkar, dijual dan didistribusikan. Tetapi kota ini akan mengalami bahaya banjir, api dan pertikaian dari dalam”.[6] Kerajaan Magadha, yang beribukota Pataliputta (Patna modern), lama-kelamaan menjadi kota yang paling kuat di seluruh India.

    Di pertengahan abad ke 4 SM seorang Sudra bernama Mahapadma Nanda merampas tahta kerajaan Magadha dan menjadi penguasa kerajaan yang membentang dari sungai Brahmaputra di sebelah timur sampai ke Beas di sebelah Barat. Tetapi di seberang sungai Beas ada beberapa kerajaan kecil.

    Pada saat yang bersamaan Alexander Agung menguasai Persia dan menyeberangi Hindu Kush untuk masuk ke Bactria (Afganistan Utara). Dibutuhkan waktu 2 tahun untuk menaklukkan daerah yang tidak ramah ini, tetapi waktu melakukan hal itu, Alexander Agung mendirikan juga beberapa kota yang menembus jauh ke utara sampai ke Samarkand dan Leninabad (dulu: di Uni Soviet). Ada juga kota lain yang telah diidentifikasikan di Charikar (sebelah utara Kabul). Setelah mendengar tentang sungai Indus, Alexander Agung kembali menyeberangi Hindu Kush pada tahun 372 SM dan terus mendesak ke Taxila (Takkasila) di sebelah timur. Tetapi ketika dia sampai di sungai Jhelum, dia dihadang raja Paurava yang mempunyai gajah-gajah perang. Bahkan para veteran Macadonia pun tidak mampu melawan musuh seperti itu. Maka Alexander terpaksa mundur sampai ke sungai Indus untuk kemudian kembali melalui Persia di mana dia meninggal di Babylon pada 323 SM. Walaupun demikian dia telah meninggalkan dasar-dasar kerajaan Bactria dan telah menjelajah sungai Jhelhum dan sungai Indus.

    Setelah kematian Alexander, Chandragupta, pendiri dinasti Maurya, dapat mengusir garnisun Yunani dari lembah Indus. Pada tahun 321 SM dia mengalahkan Nanda dan menguasai kerajaan Magadha dengan ibukotanya Pataliputta. Penerus Alexander, Seleukos I Nikator, memimpin suatu ekspedisi melawan orang-orang India pada tahun 311 SM dengan harapan merebut kembali daerah Punjab. Tetapi dia terhalang kekuasaan Chandragupta. Pada tahun 304 SM Seleukos dengan senang hati menandatangani persetujuan dengan Chandragupta, dan memberikan anak perempuannya untuk dinikahi dan bahkan juga memberikan daerah-daerah yang luas, yang sekarang menjadi Baluchistan dan Afganistan, sebagai alat tukar untuk 500 gajah perang. Seleukos mengirimkan duta besarnya, Magasthenes, ke Pataliputta. Dilihat dari peninggalan tulisannya, kita mengetahui tentang besarnya pasukan dan kekuatan pertahanannya di sana. Chandragupta memerintah selama 24 tahun dan putranya Bindusara, sangat sedikit yang kita ketahui tentang dia, memerintah selama 28 tahun sampai kematiannya di tahun 269 SM.

    Pada saat kematian Bindusara, putra tertuanya sudah menjadi raja muda di Takkasila, sedangkan putranya yang kecil, Asoka, adalah raja muda di Ujjeni di selatan. Asoka bertempur dengan saudaranya memperebutkan hak untuk bertahta dan saudaranya terbunuh di dalam pertempuran itu. Asoka kemudian menjadi penguasa kerajaan yang besar, dari Bengala sampai ke Afganistan. Walaupun demikian dia tetap masih belum puas. Setelah sembilan tahun bertahta, sesudah pertempuran berdarah merebut Kerajaan Kalinga (Orissa), barulah Asoka meninggalkan peperangan dan menjadi pengikut Buddhisme yang taat. Kaisar Asoka mengirimkan utusan-utusan bhikkhu ke daerah tapal batas kekaisarannya yang luas. Banyak prasasti Asoka yang telah ditemukan di Lembah Kabul yang ditulis di dalam bahasa Yunani dan Aramaik.

    Di tempat lain, prasastinya menyebutkan bahwa dia telah berhasil menyebarkan Dhamma di Mesir, Siriya, Macadonia, Yunani, Cyprus, Bactria, Kashmir, Gandhara, dsb. Mahavamsa mengatakan bahwa banyak utusan yang dikirimkan ke Kashmir, Gandhara, Bactria, Himalaya, Sindh (Gujarat). Prasasti di dalam wadah relik yang ditemukan di stupa-stupa Sanci mencatat keberhasilan misi itu ke Pegunungan Himalaya. Sayangnya catatan-catatan stupa yang lain telah dirusak. Namun dapat kita pastikan bahwa misi ke Kashmir dan Gandhara itu berhasil, karena bahkan di zaman Sang Buddha pun Takkasila merupakan pusat belajar yang terkenal. Mahavamsa juga mencatat bahwa pada peresmian Stupa Agung di tahun 157 SM, para bhikkhu datang dari Alasanda (Charika) yang terletak di Yona (Bactria).

    Bangkitnya Kerajaan Bactria
    Setelah Asoka mangkat pada tahun 227 SM, kekaisaran Maurya mulai terpecah-pecah. Pada tahun 250 SM meletus pemberontakan di dalam kekaisaran yang didirikan oleh Seleukos, di bawah pimpinan gubernurnya, Diodotus I. Kekaisaran itu terus berkembang di bawah penggantinya, Diodotus II dan Euthydemus. Pada permulaan abad 2 SM, para penguasa Yunani dari kerajaan baru Bactria menyeberangi Hindu Kush dan mulai menyerbu India dari barat laut. Di antara raja-raja Yunani yang berkuasa sampai di sebelah selatan Kush, kelihatannya Apollodotus-lah raja yang pertama. Dua kali dia disebutkan berhubungan dengan Menander. Kekuasaan mereka berkembang ke barat daya sampai Ariana (Afganistan selatan) dan ke selatan sampai lembah Indus.

    Seperti yang sudah disebutkan di atas, Menander pasti telah berkuasa di lembah Kabul dan Swat dan pada suatu saat dia juga menguasai lembah Indus. Sagala, kota yang disebutkan di dalam Miln. sebagai tempat di mana percakapan itu terjadi, adalah kota kuno orang-orang Madras yang datang di daerah itu kira-kira pada abad 6 SM. Sekarang kota itu disebut Sialkot, yang terletak di antara sungai Chenab dan Ravi, dekat perbatasan Kashmir. Di buku Miln. halaman 53, disebutkan bahwa Kashmir berjarak 12 yojana (84 mil) dan bahwa Milinda lahir di pulau Alasanda, yang jaraknya kurang 200 yojana dari situ. Ada banyak kota yang didirikan oleh Alexander selama penaklukannya, beberapa di antaranya mungkin merupakan tempat kelahiran Menander. A.K. Narain menduga bahwa kota kelahiran Menander adalah kota yang didirikan di Charikar, tetapi jaraknya kurang dari 200 yojana (1400 mil) dengan perhitungan biasa. Ataukah mungkin itu kota Alexandra yang terletak di Leninabad atau salah satu dari kota-kota Alexandra yang terletak lebih jauh ke Barat?

    Namun, dari bukti-bukti yang ada dapat kita perkirakan bahwa Menander lahir di Bactria tetapi dibesarkan di Ariana (lembah Kabul), dan bahwa di tahun-tahun pertama pemerintahannya, dia mengembangkan kerajaan ayahnya sampai ke lembah Indus dan lebih jauh lagi, dan kemudian mungkin mendirikan ibu kota di Sagala. Tidak seperti Bactria yang banyak sekali dipengaruhi oleh kebudayaan Yunani, daerah-daerah baru ini sudah menganut Buddhis. Pada waktu itu, Menander telah banyak dididik di dalam tradisi Yunani tetapi telah mengenal Buddhisme secara langsung dan tak pelak lagi dia pasti sering menjumpai para bhikkhu yang hidup di kerajaannya. Walaupun demikian, kelihatannya agak tidak mungkin kalau pengetahuannya tentang ajaran Buddhisme cukup untuk dapat mengadakan dialog seperti yang di tulis di dalam Miln. karena Milinda tampaknya memiliki pengetahuan yang luas tentang teks yang ada. Saya berpendapat bahwa pengarang paling tidak telah bertemu sebentar dengan Menander, dan kemungkinan besar dia mendasarkan karyanya ini pada tradisi lisan percakapan itu. Kemudian dia menggunakan pengetahuannya sendiri yang luas untuk mengembangkan dialog itu menjadi karya yang panjang, yang kita miliki sekarang ini. Mungkin dia menggunakan dialog sebagai alat untuk menambah daya tarik pada risalatnya. Dan untuk menyenangkan hati raja Yunani itu, dia membuatnya sebagai salah satu tokoh utama.

    Hipotesa ini mendapat dukungan dari terjemahan bahasa China yang hanya terdiri dari tiga bagian pertama yang hampir identik dengan teks Pali mengenai pertanyaan-pertanyaan yang diajukan, tetapi cerita pendahuluannya berbeda. Dalam hal ini, kedua-duanya tidak tampak otentik.

    Perbandingan dengan Teks China[7]
    Sebagaimana telah ditunjukkan oleh V. Trenchner ketika dia menyalin teks Pali di tahun 1860-an, dapat kita pastikan bahwa Milinda Pañha yang asli ditulis di dalam bahasa Sanskerta karena permulaannya adalah kata-kata “Tam yatha nusuyata” (demikianlah yang telah diturunkan), dan bukannya rumusan Pali “Evam me sutam” (demikianlah yang telah saya dengar). Dan hal ini dipertegas oleh adanya terjemahan teks China yang menunjukkan beberapa perbedaan yang patut dicatat walaupun jelas sumbernya sama.
    1. Di dalam tiga bagian pertama, versi China sama dengan versi Pali, dan ini menunjukkan bahwa empat bagian lain (Dilema, Pertanyaan yang Diselesaikan dengan Kesimpulan, Praktek Petapa dan Perumpamaan) merupakan tambahan kemudian.
    2. Karya bahasa China, Nagasena-Bhikshusutra, mengambil nama sang bhikkhu; sementara karya bahasa Pali, Milinda Pañha, mengambil nama sang raja.
    3. Karya bahasa Pali mempunyai dua belas pertanyaan ekstra.
    4. Cerita-cerita kehidupan lampau Nagasena dan Milinda tidak sama.
    5. Versi China tidak menyebutkan Abhidhamma; sementara hal itu sering disebutkan dalam versi Pali.
    6. Pada klasifikasi Bodhipakkhiya Dhamma yang sangat terkenal, penterjemah China melenceng di dalam beberapa istilah, dan ini menunjukkan bahwa dia tidak terbiasa dengan teks Pali.
    7. Versi Pali mengatakan bahwa binatang mempunyai penalaran tetapi tidak mempunyai kebijaksanaan; versi China mengatakan bahwa binatang mempunyai kebijaksanaan tetapi hatinya berbeda.
    Walaupun ada banyak perbedaan kecil di antara dua teks itu, ada hubungan yang erat antara perumpamaan-perumpamaan yang digunakan untuk menerangkan istilah yang didefinisikan serta urutan pertanyaannya. Hal itu membuat kita yakin bahwa keduanya adalah terjemahan karya yang lebih tua (mungkin di dalam bahasa Sanskerta). Tetapi kita harus hati-hati menyimpulkan; yang mana yang lebih otentik. Bhikkhu Thich Mihn Chau, yang berusaha membuktikan keantikan karya asli yang mendasari terjemahan China, menyatakan bahwa karya itu ditulis segera setelah Sang Buddha mangkat. Beliau menunjukkan tidak adanya klasifikasi teks ke dalam Vinaya, Sutta, Abhidhamma dan Nikaya, yang didefinisikan dengan baik baru pada Konsili ketiga, sementara Menander baru lahir lebih dari 100 tahun setelah konsili ini. Jadi, jelas bahwa ‘yang asli’ tidak dibuat lebih awal dari abad pertama SM. Kesenjangan panjang sebelum terjemahan-terjemahan itu muncul pada sekitar tahun 400 M, merupakan waktu yang cukup lama untuk melakukan berbagai penambahan dan amandemen, atau penghilangan dan pengosongan.

    Melihat alasan-alasan yang telah disebutkan di atas dan fakta bahwa percakapan di dalam Miln. dikatakan terjadi kira-kira 500 tahun setelah Sang Buddha mangkat, sementara Menander hidup paling tidak 100 tahun lebih awal, maka kemungkinan besar Miln. dikarang beberapa waktu setelah kematian Menander. Mungkin saja karya itu berdasar pada tradisi lisan dari percakapan yang benar-benar terjadi antara Menander dengan satu atau beberapa bhikkhu. Penerus Menander, Ratu Agathocleia dan Strato I Soter, melanjutkan tahta kerajaan setidak-tidaknya 40 tahun setelah kematian Menander. Tetapi mereka menyaksikan dinasti baru di India Barat, yaitu dinasti Saka (Scythia) dan Yueh-Chih dari Asia Tengah. Lalu era Bactria Yunani pun berakhir.

    Penyusunan Kitab Pali
    Epilog mengatakan bahwa kitab itu dibagi menjadi enam bagian dan 22 bab yang berisi 262 pertanyaan, sementara 42 dari pertanyaan itu belum diturunkan, jadi sebenarnya semua berjumlah 304. Tetapi sungguh sulit melihat bagaimana ini dihitung. Ada ketidakcocokan hitungan di dalam berbagai teks yang ada, walaupun hal ini mungkin sudah dapat diduga karena karya itu sudah sangat tua.

    Sekarang ini hanya ada 237 pertanyaan. Untuk menomori bab-bab saya mengikuti urutan teks Palinya. Hanya saja saya telah memasukkan 7 bab terakhir ke dalam Bab 17.

    Di dalam edisi Milinda Pañha ini, walaupun saya telah mengikuti susunan teks Pali, banyak perumpamaan yang saya hilangkan. Dan perumpamaan yang panjang (walaupun indah) saya singkat, namun saya harap hal ini tidak merusak keindahan karya aslinya. Tujuannya adalah agar buku ini cukup padat dan menarik bagi pembaca dari negara-negara barat yang sibuk. Buku ini adalah suatu ringkasan, bukan terjemahan, dan karena itu di sana-sini saya menggabungkan beberapa alinea menjadi satu agar ringkas. Walaupun demikian saya tetap berusaha menyesuaikan dengan maksud pengarang aslinya, yang merupakan penjelasan tentang ajaran Sang Buddha dan uraian tentang beberapa konsep salah yang mungkin menyesatkan.

    Referensi yang diberikan di catatan kaki adalah nomor halaman teks Pali dari Pali Text Society. Dalam terjemahannya nomor-nomor halaman ini diberikan dengan tanda kurung di bagian kiri atas, atau di dalam tubuh teks pada buku Vinaya dan Jataka.

    Untuk membantu mereka yang ingin mengetahui kata Pali yang diterjemahkan (yang kadang-kadang berbeda dengan terjemahan Rhys Davids atau Miss Horner), saya sertakan kata-kata Pali di bagian Apendiks bersama dengan terjemahan bahasa Inggrisnya. Saya juga telah menyusun daftar kutipan kitab suci yang diberikan pengarang Miln. dan beberapa bacaan lain yang hanya terdapat di Miln., yang mungkin menarik untuk dipelajari lebih lanjut. Bagi mereka yang belum terbiasa dengan terminologi Buddhis, saya telah menyertakan Apendiks istilah-istilah Pali dengan penjelasan singkat mengenai maknanya.

    Catatan:
    [1]. T.W. Rhys Davids, pendahuluan QKM.
    [2]. A.K. Narain, The Indo-Greeks.
    [3]. Cambridge History of India, Vol. I. Hal 446.
    [4]. V.A. Smith. The Early History of India.
    [5]. D. I. 50.
    [6]. D. II. 87, 88
    [7]. Untuk perbandingan lebih detail dan menyeluruh, lihat Milinda Pañha and Nagasenabhikshusutra (A Comparitive Study) Bhikkhu Thich Mihn Chau.
    Share: