Senin, 28 Januari 2013

Rabu, 16 Januari 2013

Kolonel Henry Steel Olcott

 on  with No comments 
In  
Henry Steel Olcott (Sinhala: කර්නල් හෙන්රි ස්ටීල් ඔල්කට්) dilahirkan di tahun 1832, di New Jersey, Amerika Serikat, di dalam keluarga Presbiterian yang saleh, ia adalah yang tertua dari enam bersaudara. Orang tuanya, Henry Olcott Wyckoff dan Emily Steel Olcott adalah seorang pengusaha Presbyterian. Olcott kuliah di Universitas Columbia yang bergengsi dari New York di mana ia bergabung dengan persaudaraan St Anthony Hall, suatu lingkungan dari orang-orang terkenal. Pada tahun 1851 bisnis ayahnya gagal dan ia harus meninggalkan universitas. Dari 1858-1860 Olcott adalah seorang koresponden pertanian untuk New York Tribune dan Mark Lane Express, tapi kadang-kadang ia mengirimkan artikel untuk bidang lain. Pada tahun 1860 Olcott menikah dengan Maria Epplee Morgan, putri dari rektor Paroki Trinity, New Rochelle, New York. Mereka memiliki empat anak, dua di antaranya meninggal saat masih bayi. 

Olcott kemudian bergabung dengan tentara Amerika dan mengabdi selama Perang Sipil. Dia dipromosikan ke pangkat Kolonel setelah membuktikan dirinya sendiri, dan kemudian dipindahkan ke departemen Kelautan di Washington D.C. Olcott mendapatkan reputasi baik dan bekerja pada komisi khusus yang menyelidiki pembunuhan Presiden Lincoln. Dia kemudian beralih ke bidang jurnalistik dan hukum. Pada 1874, Olcott tertarik akan upacara séances (upacara untuk berkomunikasi dengan orang yang telah meninggal) dari Saudara Eddy dari Chittenden, Vermont. Minatnya terangsang, Olcott menulis sebuah artikel untuk New York Sun, di mana ia menyelidiki Peternakan Eddy. Artikelnya cukup populer dibandingkan dengan artikel-artikel lainnya, seperti Harian New York Grafis Di tahun 1874, dia menjadi terlibat dalam spiritualisme setelah berteman dengan ahli gaib Rusia, Helena Blavatsky saat keduanya mengunjungi peternakan Eddy. Hal ini menjadi dasar ketertarikannya dalam gerakan Spiritualis dan hubungannya dengan Blavatsky membantu mendorongnya mendirikan Theosophical Society dengan sekelompok spiritualistis yang lainnya pada tahun 1875 di New York. 

Olcott bertindak sebagai pengacara selama beberapa tahun pertama pendirian Theosophical Society. Pada awal tahun Olcott mendukung finansial dari Theosophical Society dan bertindak Presiden sementara Blavatsky menjabat sebagai Sekretaris Society. Pada bulan Desember 1878 mereka meninggalkan New York untuk memindahkan markas Society ke India. Mereka mendarat di Bombay pada 16 Februari 1879. Markas Theosophical didirikan di Adyar, Chennai sebagai Adyar Theosophical Society, didirikan juga Perpustakaan Adyar dan Pusat Penelitian di kantor pusat. Sementara di India, Olcott berusaha untuk menerima terjemahan dari teks-teks suci oriental yang menjadi sumber dari hasil penelitian Barat.

Tujuannya adalah untuk menghindari interpretasi kebarat-baratan yang sering ditemui di Amerika, dan untuk menemukan pesan teks murni dari Buddha, Hindu, dan agama-agama Zoroaster, supaya memperoleh interpretasi yang benar untuk mendidik Barat. Akan tetapi, ketertarikan utama Olcott dan Blavatsky adalah ajaran Buddha dan mereka dengan segera melakukan perjalanan ke Sri Lanka, Setelah membaca buku tentang Debat Panadura di Amerika, ia tiba di Sri Lanka pada tahun 1880. 

Kolonel Henry Steel Olcott memutuskan untuk melakukan perjalanan ke pulau untuk mencari lebih banyak pengetahuan tentang ajaran Buddha. Sebelum kunjungannya, dia berkorespondensi dengan Yang Mulia Gunananda dan Yang Mulia Sumangala dan akhirnya tiba di tahun 1880. Hanya beberapa minggu setelah kedatangan mereka dan merasa yakin dengan ajaran dari Buddha, mereka mengambil Tiga Perlindungan dan Lima Sila di Vihara Wijayananda yang terletak di Weliwatta, Galle pada 19 Mei 1880, dan dengan demikian menjadi orang-orang barat pertama di jaman modern untuk secara publik dan formal menjadi umat Buddhis. Sebagai salah satu dari beberapa orang barat pertama yang memiliki ketertarikan dalam ajaran Buddha, dia diterima dengan banyak keriuhan dan perayaan ketika dia tiba di Galle.

Walaupun umat Buddhis telah memperoleh kembali kepercayaan diri dan keberanian mereka, masih banyak yang harus dilakukan. Mereka masih menghadapi diskriminasi pemerintah, dan kekuasaan misionaris atas sekolah-sekolah dan sistem pendidikan. Mereka kekurangan bakat organisasi dan kepemimpinan yang menyatukan, dimana keduanya tidak mampu disediakan oleh Sangha pada waktu itu. Olcott dengan pengalamannya sebagai perwira senior di tentara Amerika dan angkatan laut, memiliki bakat organisasi yang diperlukan ini. Lebih jauh lagi, sebagai orang luar yang netral, dia berkemampuan untuk menyatukan Sangha di belakang dia. 

Hanya satu bulan setelah kedatangannya, dia membentuk Buddhist Theosophical Society (Perhimpunan Teosofi Buddhis), membawa bersamanya bhikkhu-bhikkhu terkemuka dan umat awam. Tujuan dari Perhimpunan adalah untuk mempromosikan kesejahteraan dari umat Buddhis dan untuk mendirikan sekolah-sekolah Buddhis. Penekanan besar diletakkan pada penyekolahan dari anak-anak, karena Olcott percaya bahwa pendidikan yang baik merupakan satu-satunya cara agar umat Buddhis dapat mempertahankan diri dari para misionaris. Sebelum Perhimpunan dibentuk, hanya terdapat tiga sekolah Buddhis. Di tahun 1897, Perhimpunan telah mendirikan 46 sekolah Buddhis dan di tahun 1903, mereka mengelola 174 sekolah demikian.

Di tahun 1904, Perhimpunan telah mendirikan 429 sekolah-sekolah Buddhis diseluruh Sri Lanka. Olcott juga merupakan inspirasi bagi Young Men’s Buddhist Association - YMBA (Persatuan Pemuda Buddhis) dan sekolah Minggu Buddhis. Semua ini mengikuti sistem Protestan, dan masih aktif saat ini Pada masa awal, Olcott bekerja sangat keras, pergi dari desa ke desa untuk mengumpulkan dana bagi sekolah-sekolah. Teman dan penerjemahnya adalah seorang pemuda yang bernama Anagarika Dharmapala, yang juga memainkan peranan utama dalam kebangkitan Buddhis. Banyak dari sekolah-sekolah Buddhis yang terkenal seperti Perguruan tinggi Ananda dan Perguruan tinggi Nalanda di Colombo, Perguruan tinggi Dharmaraja di Kandy dan Perguruan tinggi Mahinda di Galle, bersumber langsung dari usaha dia. Olcott juga mendorong umat Buddhis untuk memulai publikasi mereka sendiri untuk menyebarkan ajaran-ajaran mereka. Perhimpunan Teosofi Buddhis kemudian menetapkan surat kabar berbahasa Sinhala dan juga Inggris. Olcott terkejut dengan kurangnya pengetahuan yang baik tentang ajaran Buddha diantara kebanyakan dari umat awam yang dia temui. 

Oleh karena itu, dia merumuskan Katekismus Buddhis di tahun 1881, mengikuti jejak katekismus Kristen. Katekismus Buddhis merangkum ajaran-ajaran penting dalam bentuk pertanyaan dan jawaban, sehingga orang biasa mampu untuk mempelajari dan memahami ajaran-ajaran ini dengan sendirinya. Hal ini masih dipakai di kebanyakan sekolah saat ini. Katekismus merupakan salah satu kontribusi paling abadi bagi kebangkitan agama Buddha di Sri Lanka, dan tetap digunakan sana hari ini. Pada waktu itu, Hari Waisak dengan aneh tidak dikenal sebagai hari libur nasional.

Hari Waisak dijadikan hari libur hanya pada tahun 1885 setelah Olcott dengan sukses mengajukan petisi ke pemerintah Inggris di London untuk mengabulkan hak ini untuk umat Buddhis. Dia juga membantu untuk merancang sebuah bendera yang diterima di Konggres Buddhis Sedunia pada tahun 1952, sebagai Bendera Buddhis Internasional. Sejumlah orang barat lainnya yang tinggal di Sri Lanka juga memainkan peranan yang aktif dan penting dalam melayani ajaran Buddha. Mereka menterjemahkan teks masa lampau, menulis buku-buku dan kemudian mengajarkannya di negara-negara mereka sendiri ketika mereka pulang. 

Diantara figur-figur ini adalah George Turner yang pertama menterjemahkan Mahavamsa ke Bahasa Inggris, Wilhelm Geiger yang menterjemahkannya ke Bahasa Jerman, dan Robert C. Childers yang mempublikasikan Kamus Bahasa Pali. Salah satu dari figur yang paling penting adalah Prof. T.W. Rhys Davids yang mendirikan Pali Text Society (Perhimpunan Teks Pali) di tahun 1881. Bersamaan dengan istrinya, Mrs. C.A.F. Rhys Davids, mereka membuat kontribusi besar atas penyebaran dan kemajuan dari pengetahuan Buddhis dengan banyaknya terjemahan dan tulisan mereka. Helena Blavatsky akhirnya pergi untuk tinggal di London, di mana dia meninggal pada tahun 1891, namun Olcott tinggal di India dan mengejar pekerjaan Theosophical Society di sana. Upaya untuk merevitalisasi ajaran Buddha Sri Lanka dipengaruhi banyak intelektual asli Buddha. 

Sri Lanka didominasi oleh kekuasaan kolonial Inggris dan pengaruh pada waktu itu, dan umat Buddha banyak mendengar penafsiran Olcott tentang pesan Buddha secara sosial memotivasi dan mendukung upaya untuk membatalkan upaya kolonialis untuk mengabaikan Buddhisme dan tradisi Buddhis. Seperti David McMahan menulis, "Henry Steel Olcott melihat Sang Buddha sebagai sosok mirip dengan pemikiran bebas liberal yang ideal - seseorang yang penuh 'kebajikan,' 'rasa terima kasih', dan 'toleransi', yang dipromosikan 'persaudaraan diantara semua orang' serta 'pelajaran kemandirian" pandangan Olcott terhadap Buddha dipengaruhi oleh pemimpin Sri Lanka, seperti Anagarika Dharmapala. Olcott dan Anagarika Dharmapala adalah asosiasi, yang mencerminkan kesadaran baik laki-laki dari kesenjangan antara Timur dan Barat-seperti yang terlihat dalam presentasi Buddhisme mereka di Barat. Olcott membantu secara finansial mendukung kehadiran Buddha di Parlemen Agama-Agama Dunia di Chicago, 1893. 

Dimasukkannya Agama Buddha di Parlemen diperbolehkan untuk perluasan Buddhisme dalamdunia Barat pada umumnya dan khususnya di Amerika, yang mengarah ke gerakan Buddha lainnya secara Modernis. Olcott meneruskan untuk bekerja dengan tanpa lelah bagi ajaran Buddha di Sri Lanka. Dia meninggal di tahun 1907 dan hari peringatan kematiannya masih luas diperingati di Sri Lanka. Pelayanan yang disumbangkan oleh Kolonel Olcott pada ajaran Buddha tidak dapat dikatakan lagi dan hutang dari semua umat Buddhis kepadanya tidak mungkin dapat diukur.
Share:

Selasa, 15 Januari 2013

Debat Panadura

 on  with 1 comment 
In  
Debat Panadura adalah debat antara Buddhis dengan Kristen di Panadura. Perdebatan diadakan pada 24-26 Agustus di tahun 1873 di situs Vihara Rankot berdiri pada hari ini. Ahli debat paling cakap dipanggil dari sisi orang-orang Kristen. Mohottivatte Gunananda Thera atau Migettuwatte Gunananda Thera adalah pendebat dari sisi Buddhis, sementara Pendeta David De Silva dan Katekis SF Sirimanne mewakili pihak Kristen. Debat mengambil topik berkisar dari sifat Allah, Jiwa dan kebangkitan, dengan konsep Karma, kelahiran kembali, Nirvana dan prinsip Pratītyasamutpāda atau yang saling bergantungan.

Sumber yang paling mendekati mengenai Perdebatan Panadura di tahun 1873 ditemukan di perpustakaan Universitas California Berkeley, Controversy at Panadura, or Pa:nadura: Va:daya, Re-edited by Pranith Abhayasundara, Sri Lanka State Printing Company, 1990. Yang paling banyak dibahas buku ini adalah mengenai kepercayaan Buddhisme, termasuk mengenai umat buddha yang mempercayai Tuhan yg bersifat impersonal, hal yang sangat berbeda dengan Tuhan dalam konsep agama samawi.

Buku ini juga memuat beberapa gambar, lukisan dan gambar dari patung Venerable Migettuwatte/Mohottiwatte Sri Gunananda Thera. Beliau adalah seorang orator dan penulis yang banyak menyuarakan buddhisme, Beliaulah yang membangkitkan Buddhisme di Sri Lanka.

Berikut kejadiannya:
Pendeta De Silva: 
Pendeta Del Silva berargumen bahwa buddhisme tidak mengenal adanya roh atau diri, mengutip dari beberapa kitab Buddha seperti:
(the original Pali) Rupam bhikkhave anattam, yadanattam n'etam mama n'eso 'hamismineso attati.
(English translation) Organized form, monks, is not self, that which is not self is not mind, I am not that, that is, not to me a soul.

Beliau melanjutkan dengan mengklaim bahwa ini artinya tidak ada perbedaan mendasar antara manusia dan katak, babi, atau jenis binatang lainnya. Dan dengan tidak adanya penghargaan dan hukuman setelah kematian atas apa yang mereka lakukan selama hidup, hal ini akan berakibat manusia tidak takut untuk berbuat jahat. Kembali beliau mengutip alkitab, yang isinya mengatakan bahwa manusia memilik jiwa (sedangkan binatang tidak)

Gunananda Thera: 
Beliau menanggapi terjemahan bahasa Pali yang disampaikan oleh pendeta De Silva, menurut beliau seseorang yang melakukan kesalahan dasar dalam penerjemahan tentu tidak akan paham dengan baik dari pengetahuan yang terdapat di dalamnya. Kemudian Gunananda Thera menjelaskan mengenai bagaimana reinkarnasi dalam buddhisme tanpa adanya roh - ada proses berkesinambungan setelah kematian tubuh. Beliau juga menuduhkan bahwa Misionaris Kristen melakukan penipuan dengan menggunakan nama dewa lokal sebagai Tuhan nya Kristen, yang dikatakan sebagai Ishwara dalam dewa Hindu di Kalkuta dan Deiyanwahanse di Sri Lanka.

Kemudian menurut beliau, para penerjemah Alkitab juga telah melakukan berbagai kesalahan serius seperti menerjemahkan kata "jealous" menjadi "jwalita" dalam bahasa sinhalese, yang artinya berkilau atau bercahaya. Dan juga menghilangkan beberapa ayat, seperti Imamat 17:7 yang isinya: "Janganlah mereka mempersembahkan lagi korban mereka kepada setan, sebab (menyembah setan) itu adalah zinah".

Beliau menyatakan penghargaannya kepada Katolik yang tidak melakukan pengubahan seperti yang dilakukan protestan.

Pada Kejadian 6:6
(KJV) Dan menyesallah Tuhan bahwa ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.
(NASB) TUHAN menyesal bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan Dia sedih di dalam hati-Nya.
NIV) TUHAN merasa sedih karena telah menjadikan manusia di dunia, hatinya penuh dengan rasa pedih. 

Gunananda Thera mempertanyakan makhluk apakah yang menyesali sesuatu yang telah diperbuat. Ini jelas menunjukkan bahwa Tuhan bukannya makhluk yang maha tahu. Kemudian, mengapa TUHAN yang maha mengetahui membutuhkan tanda, saat Tuhan hendak membunuh keturunan pertama mesir, dimana (pada saat itu) umat israel diharuskan untuk memberi tanda darah pada pintu rumah mereka sehingga Tuhan tau siapa mereka dan tidak akan membunuh keturunan pertama mereka.

Dalam keluaran 4 juga disebutkan, Tuhan meminta Musa untuk melakukan berbagai keajaiban guna memperingatkan bangsa mesir, dan jika hal tersebut gagal untuk membuat mereka sadar, Musa akan terus melakukan keajaiban sampai keajaiban ini membuat bangsa mesir sadar/takjub.

Gunananda Thera menunjuk bahwa ini adalah contoh bahwa Tuhan itu tidak maha mengetahui. Di bab selanjutnya juga disebutkan: Zippora memaksa Musa untuk mempersembahkan kulit khitan kepada Tuhan yang hendak membunuh Musa. Dan Tuhan tampak puas dengan persembahan darah itu.

(Keluaran 4:24-26) - dimana Tuhan hendak mencari dan membunuh Musa. Alasannya adalah bahwa ia tidak menyunat anaknya laki-laki seperti yang diperintahkan Abraham. Demikianlah Zipora mengambil pisau batu dan memotong kulit khatan anaknya. (Keluaran 4:24-26). Demikianlah Musa diampuni oleh darah. 

Gunananda Thera mempertanyakan Tuhan seperti apakah yang ada dalam alkitab itu, ini seperti setan yang senang menerima persembahan darah.

Pada Hakim 1:19 juga, beliau mempertanyakan bagaimana mungkin seorang yang maha bisa / kuasa tidak dapat mengalahkan kereta besi. (Hakim-hakim 1:19) - Dan Tuhan menyertai suku Yehuda, sehingga mereka menduduki pegunungan itu; tetapi mereka tidak dapat menghalau penduduk yang di lembah, sebab orang-orang ini mempunyai kereta-kereta besi.

Pendeta de Silva Beliau berkilah, dan mengatakan bahwa mudah baginya untuk mengulang kembali jawaban (atas pertanyaan Gunananda Thera) yang sudah dijawab sebelum-sebelumnya, kemudian kesalahan penulisan adalah bukan kesalahannya, Dan beliau juga menolak bahwa penerjemah alkitab bermaksud menipu/memperdaya. Beliau juga menjelaskan bahwa terjemahan nama Tuhan Kristen ke dalam nama Tuhan lokal tidak bertujuan untuk menipu calon pengikutnya, namun untuk memberikan pemahaman yang mudah dipahami.

Mengenai Kejadian 6:6, beliau menyatakan bahwa dalam bahasa aslinya (ibrani) kata tersebut (NoKAM) tidak memiliki arti menyesali. Dan penggunaan darah itu hanya sebagai simbol akan kematian Yesus. Beliau berusaha menunjukan bahwa doktrin buddhisme memiliki kontradiksi, dimana bentuk X adalah berasal dari bentuk Y dan Y berasal dari X.

Gunananda Thera:
Beliau memulai perkataannya dengan menunjukan bahwa pendeta tersebut menyebutnya sebagai viruddhakaraya (musuh), walaupun pada dasarnya mereka tidak memiliki permusuhan pribadi. Dan beliau tidak memiliki jalan lain selain melakukan hal yg sama. Beliau lanjut bertanya, mengapa Pendeta De Silva tidak memberikan komentar mengenai kesalahan dalam menterjemahkan "jealous" dalam alkitab yang berbahasa sinhalese, dan mengapa Tuhan dalam alkitab bisa merasa “jealous”.

Beliau melanjutkan, bahwa tampaknya pendeta De Silva hanya mengulang kesalahan orang lain dalam memahami bahasa pali tanpa pernah bermaksud mengetahui kebenarannya didalamnya. Dan walaupun pendeta De Silva memuji kejujuran penterjemah alkitab, penyusunan kitab tersebut menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Beliau pun mempertanyakan, Iswara dalam kepercayaan hindu memiliki istri yang bernama Umayaganawa, apakah Tuhan Kristen juga memiliki istri ?

Melanjutkan argumentasinya, beliau juga mengkritik pendeta De Silva karena tidak menjawab pertanyaan mengenai ke Maha Tahu-annya Tuhan dan kesenangannya akan persembahan darah. Beliau lalu melanjutkan pembahasan mendetail mengenai reinkarnasi, membahas beberapa pandangan tentang jiwa, dan menyatakan bahwa beberapa pandangan Kristen sejalan dengan pandangan Buddhisme dalam melihat adanya kehidupan sebelum kelahiran dan setelah kematian.

Kemudian, beliau juga membahas mengenai Yefta yang diminta mengorbankan anaknya untuk dijadikan korban bakaran bagi Tuhan, menurut beliau protestan melakukan perubahan pada kitab mereka untuk menunjukkan bahwa pengorbanan ini tidak bermakna sebenarnya (harafiah). Berbeda dengan Katolik yang secara jujur menjelaskan tentang pengorbanan ini. Beliau lalu mempertanyakan tulisan mengenai lamanya Yesus berdiam di dalam kuburannya (sebelum bangkit), tertulis 3 hari dan 3 malam, namun hal tersebut tidak menunjukan kesesuaian apabila dikatakan jumat siang sampai minggu pagi.

Kemudian beliau juga berargumen bahwa kelahiran Yesus ditandai dengan hal buruk yang menyertainya, dimana Raja Herodes melakukan pembunuhan masal pada bayi lelaki. Dibandingkan dengan kelahiran seorang Buddha yang ditandai dengan hal-hal baik. Walau begitu cerita mengenai Buddha merupakan sesuatu yg pararel, dimana ayah sang Buddha mencoba membesarkan beliau untuk melanjutkan tahta kerajaannya, tidak sebagai guru spiritual.

Gunananda Thera menutup pembicaraanya dengan menyatakan bahwa beliau tentu akan meninggalkan Buddhisme, bila banyak kematian yang timbul akibat kelahiran sang Buddha.

Pendeta Sirimanne: 
Beliau memulai percakapannya dengan menggambarkan bahwa penolakan Gunananda Thera sama seperti pasien yang sakit namun menolak makanan yang baik bagi tubuhnya, tak perduli betapa baiknya manfaatnya makanan tersebut Beliau berpendapat bahwa Gunananda Thera tidak menjawab argumentasinya mengenai ajaran Buddhisme tentang tidak adanya jiwa dan buddhisme juga (tampaknya) mengajarkan mengenai makhluk yang berciri-ciri seperti jiwa (makhluk yang tidak berwujud, tidak terlihat, dan sebagainya) Beliau melanjutkan bahwa Tuhan dalam alkitab menjadi "cemburu" namun tidak berarti "iri", Dia (Tuhan) hanya tidak ingin kemenangan (penghormatan akan diri Nya) dibagi dengan yang lain. Mengenai 10 kutukan di tanah mesir, beliau menyatakan bahwa Tuhan sesungguhnya tau apa yang akan terjadi, namun hal itu tetap dilakukan Nya karena raja Mesir terlalu angkuh.

Beliau melanjutkan mengenai ketidakmampuan Tuhan menghadapi kereta besi pada Hakim 1:19, itu sebenarnya karena Yehuda yang tidak memiliki cukup iman kepada-Nya. Beliau juga menyatakan bahwa Alkitab tidak hanya benar dan terbukti secara sejarah, namun juga penuh dengan pelajaran spiritual yang berharga untuk generasi mendatang. Beliau juga tertawa akan pemahaman Gunananda Thera mengenai penciptaan Adam oleh Tuhan yang dikatakan Tuhan meniup Adam.

Gunananda Thera mengartikan hal tersebut sebagai Adam menerima beberapa jiwa Tuhan. Lalu pembahasan mengenai pengorbanan yang dilakukan Yefta, menurut beliau anak tersebut tidak benar-benar bermaksud untuk dikorbankan, kemudian mengenai perbedaan waktu keberadaan Yesus di dalam kubur terjadi karena kaum Yahudi memiliki cara penghitungan tanggal/waktu yang berbeda. Beliau juga meluruskan bahwa pembantaian yang dilakukan oleh Herodes mungkin tidak pantas disebut tanda buruk, karena menurutnya mereka (korban pembantaian) akan masuk surga, dan mereka akan lebih bahagia disana.

Mengenai kelahiran Sang Buddha, Pendeta Sirimmane mengemukakan kalau ibu Sang Buddha meninggal 7 hari setelah kelahirannya dan Buddha tidak hanya dapat berjalan namun berbicara ketika dia dilahirkan, kemudian dia (Buddha) mengaum layaknya singa. Beliau menunjukkan bahwa auman singa dipercaya merupakan sesuatu yg mematikan (pertanda buruk) Beliau melanjutkan dengan membahas mengenai kitab-kitab Buddha yang ditulis 450 tahun setelah kematian sang Buddha, ini jelas menunjukkan bahwa terjemahan kitab tersebut diragukan kebenarannya. Beliau melanjutkan, menurutnya Buddha mengejar pencerahan di kehidupan terdahulunya dengan mempersebahkan mata, kepala, tulang, darah, istri dan anaknya. Hal ini tentu sangat kejam dan menimbulkan penderitaan buat anak dan istrinya.

Beliau pun meragukan kalau Buddha adalah seorang yang Maha mengetahui seperti yang dikatakan banyak orang (merujuk cerita dimana sang Buddha mengetahui kematian seseorang), karena pada awalnya sang Buddha sempat ragu kalau orang-orang akan mengerti akan ajaran yang dibawanya. Beliau pun menginterpretasikan nibanna sebagai suatu kondisi diluar eksistensi, dan Buddha adalah seseorang yang mencapai hal tersebut (tidak eksis lagi), ini berarti berlindung kepada Buddha adalah berlindung kepada sesuatu yang tidak eksis. Beliau menyimpulkan bahwa banyak Bhikkhu Buddhis adalah seorang yang jahat, sehingga membuat mereka tidak pantas dijadikan sebagai panutan moral.

Gunananda Thera: 
Beliau menunjukkan kekecewaan pada kualitas argumen dari lawan debatnya, kemudian mengutip ayat. Penghotbah 3:19 NIV: "Karena nasib manusia adalah sama dengan nasib binatang, nasib yang sama menimpa mereka; sebagaimana yang satu mati, demikian juga yang lain. Kedua-duanya mempunyai nafas yang sama, dan manusia tak mempunyai kelebihan atas binatang, karena segala sesuatu adalah sia-sia".

Dimana ayat tersebut menunjuk persis seperti tuduhan De Silva atas ajaran Buddha (Yang mengatakan bahwa jika dalam ajaran Buddha, tidak ada jiwa, maka manusia dan hewan adalah tidak ada bedanya). Kemudian beliau Gunanda Thera menantang pendeta De Silva untuk menunjukkan pernyataan serupa (bila ada) dalam kitab Buddha.

Setelah menjelaskan beberapa doktrin Buddhisme, dan pembahasan mengenai "apa" yang mengalami reinkarnasi kalau tidak adanya jiwa, beliau menunjukkan beberapa kontradiksi dalam ajaran Kristiani 1 Korintus 15:22-28 Dalam Adam semua akan mati, namun Kristus membuatnya menjadi hidup .. - menunjukkan bahwa siapapun yang percaya kepada Yesus akan masuk surga 2.Matius 25:41-46 Kemudian dia mengatakan pada orang ada disebelah kirinya: pergilah daripadaku, kau yang terkutuk ke dalam api kekal yang diperuntukkan kepada iblis dan malaikatnya ...(mereka yg melakukan hal jahat" ... Kemudian mereka akan pergi menuju hukuman kekal, namun yang benar menuju kehidupan kekal - ini menunjukkan bahwa seseorang yang percaya pada Yesus pun, dapat saja masuk neraka.

Beliau lalu menanyakan, mengapa Alkitab melalukan kontradiksi serius semacam itu. Mana yang benar ? Tidak mungkin keduanya benar (karena di ayat pertama di katakan, Yesus memberikan kehidupan kekal - pada mereka yg percaya, namun di ayat kedua.. dikatakan kalau mereka melakukan hal yang tidak benar, walaupun percaya Yesus tetap saja masuk neraka / mengalami kematian kekal)

Membahas mengenai ucapan Pendeta Sirimanne, Gunananda Thera berkomentar bahwa beliau tidak berniat mendengar ucapan yang tidak jelas dan tidak ada tujuannya, maka beliau akan mengabaikan ucapan Pendeta Sirimanne (yang menganalogikan Gunananda Thera sebagai pasien yang menolak makanan sehat). Kemudian beliau juga membahas mengenai seberapa angkuhnya Firaun (sampai harus menggunakan tulah). Dan dalam kasus Yehuda dan Kereta besi, beliau menyangsikan apabila Yehuda tidak memiliki iman yang cukup kepada Tuhan, lalu mengapa Tuhan bersama nya saat itu ?

(Untuk menjawab pembantaian bayi yang dilakukan pada saat kelahiran Yesus, pendeta Sirimanne membalas dengan mengatakan Ibunda sang Buddha meninggal 7 hari setelah melahirkan sang Buddha). Gunananda Thera menjawab, bahwa ibunda Sang Buddha memang sudah ditakdirkan untuk meninggal pada saat itu, dan tidak ada hubungannya dengan melahirkan sang Buddha. Gunanada Thera menegaskan bahwa terjadinya pembunuhan masal (pada saat kelahiran Yesus) merupakan suatu pertanda buruk, dan tanda itu menunjukkan kalo dia (Yesus) merupakan pembawa bencana. Kemudian beliau menanyakan, apakah ada yg terluka ketika sang Buddha "mengaum" pada saat itu ?

Menanggapi mengenai (keaslian) ajaran Buddha yang dituliskan dalam kitab-kitab saat ini, beliau menyatakan bahwa ajaran Buddha telah ditulis di daun emas. Walau demikian, yang menulis (ulang) kitab-kitab Buddha adalah seseorang yang telah mencapai pencerahan (arahat), dan ini tidak dapat disamakan dengan para penyusun alkitab. Beliau juga menunjukkan bahwa musa sempat melakukan berbagai pembunuhan, bahkan beliau menyatakan kalau alkitab pernah dibakar seluruhnya dan kemudian ditulis kembali.

Kemudian pada saat Musa melakukan keajaiban di Mesir, penyihir Mesir pun pada saat itu dapat melakukan suatu keajaiban (mengubah tongkat menjadi ular), menurut Gunanada Thera keajaiban ini menunjukkan kalau (mungkin saja) Musa juga seorang penyihir atau memang Tuhan turut menolong penyihir tersebut (untuk melakukan keajaiban) Beliau pun menjelaskan mengapa Sang Buddha meninggalkan anak dan istrinya demi mencapai ke-Buddha-an, karena hal itu memang perlu dilakukan untuk melepaskan kemelekatan.

Mengenai pernyataan Pendeta Sirimanne atas lamanya Kristus di dalam kuburan, Gunananda Thera merasa kecewa dan menegaskan pandangannya, kalau 3 hari dan 3 malam itu jelas salah perhitungan. Beliau menyatakan, kalau beliau akan menunjukkan kesalahan doktrin Kristenn di akhir pernyataannya.

Pendeta De Silva: 
Setelah mengatakan bahwa lawannya Gunananda Thera tidak objektif, beliau lalu mengambil contoh dalam kitab pengkhotbah 3:19 dan menyatakan bahwa dalam kitab penghotbah 3:21 ditunjukan bahwa manusia memiliki jiwa sedangkan hewan tidak. Setelah berkomentar bahwa jiwa manusia yang ada di surga sebagai jiwa yang kekal.

Beliau membahas mengenai kontradiksi yang Gunananda Thera bahas antara Korintus dan Matius, dengan menyatakan bahwa "membuat hidup" berbeda dengan "menyelamatkan". Mengenai kitab Buddha, Pendeta De Silva tetap berpendapat (walau dikatakan Gunananda Thera ditulis di daun emas) bahwa kitab tersebut dibuat 450 tahun setelah kematian Sang Buddha (yang akan mengalami ketidak akuratan) Membahas mengenai tuduhan Gunananda Thera tentang Musa yang melakukan pembunuhan, menurutnya Musa hanya membunuh orang Mesir yang berniat membunuh orang Isreal. Beliau melanjutkan, walau dikatakan penyusun kitab Buddha adalah orang-orang yang telah tercerahkan (Arahat), namun salah seorang Arahat ada yang pernah menjadi pencuri dan pembunuh (Angulimala) Setelah membahas mengenai beberapa skandal, seperti seseorang (murid sang buddha) yang melakukan pertaruhan dengan raja, merayu, dan membawa kabur istrinya, Pendeta De Silva juga membahas mengenai legenda Gunung Meru (Mahameru) yang disebutkan (dalam kitab Buddhis) sebagai pusat dunia dan dikatakan memiliki tinggi 84000 yojanas (1 yojanna = 16 mi / 26 km).

Beliau juga mengutip beberapa kitab Buddha, yang berisi peristiwa-peristiwa yang diramalkan sang Buddha sebelum terjadinya kehancuran dunia seperti:
*Bumi akan mengalami kekeringan (tanpa hujan) dan tanaman akan mati
*Matahari kedua akan muncul, dan sungai-sungai kecil serta danau akan mengering
*Matahari ketiga akan muncul dan sungai-sungai besar akan mengering
*Matahari keempat akan muncul dan danau besar akan mengering
*Matahari kelima akan muncul dan lautan akan mengering
*Matahari keenam akan muncul, Gunung Meru dan Bumi akan hancur.

Pendeta De Silva menujukkan globe dan bertanya dimanakah Gunung Meru? Gunung itu terus disebutkan dalam kitab Buddhis (sebagai gunung yg tertinggi), tentunya keberadaan gunung tersebut tidak akan luput dari mata para penjelajah (bila memang ada), namun dimanakah letak gunung tersebut ? Dikatakan diatas gunung Meru itu, terdapat kerajaan surga dan diatasnya lagi terdapat alam Brahma, diatas alam Brahma terdapat pula alam Arupa.

Jadi tanpa adanya gunung Meru, alam-alam ini jelas tidak dapat berdiri apalagi eksis. Lalu untuk apa berbuat baik dan benar kalau tidak ada kesempatan lahir di alam-alam ini (karena alam ini saja tidak eksis) Pendeta De Silva juga mengutip bahwa sebagian Bhikku Buddhis telah salah menafsirkan hidup selibat seperti yang telah diamanatkan, beberapa dari mereka melakukan hubungan sex dengan ibunya, beberapa dengan saudara perempuannya, dan beberapa dengan monyet betina, bahkan beberapa lagi melakukan "kesalahan besar dan tidak dapat dimaafkan", namun Buddha melihat itu hanya sebagai pelanggaran kecil. Lalu beliau membahas mengenai kematian Sang Buddha yang dianggap meninggal dengan cara yang sangat biasa, Sang Buddha meninggal karena keracunan makanan, namun tampaknya tak ada keajaiban yang membantu beliau (Sang Buddha) seperti yang (dikatakan) telah terjadi sepanjang karirnya (sebagai Buddha).

Beliau mengakhiri argumennya dengan mengatakan, hanya di dalam Yesus saja ada jalan menuju surga, Kemudian menyatakan bahwa segala pertanyaan mengenai Kekristenan (yang diajukan Gunananda Thera) telah dapat dijawab, namun segala pertanyaan mengenai Buddhisme belum semua terjawab.

Gunananda Thera: 
Beliau mengulang kembali ayat Pengkhotbah 3:19 dimana tertulis manusia pun memiliki kesamaan dengan binatang, dan membantah pernyataan para pendeta yang mengatakan kalau doktrin Buddhisme menyampaikan hubungan sebab akibat yang dibuat-buat dan tidak masuk akal, karena menurut Gunananda Thera sebab akibat yang tidak masuk akal itu dtunjukkan oleh Kekristenan sendiri.

Yang ditunjukkan dalam trinitas Kekristenan dan perawan maria. Apakah Tuhan itu ayahnya? suami nya? atau anaknya sendiri? Beliau lanjut menegaskan kalau alkitab sendiri pernah dibakar dan ditulis kembali (sehingga tidak menjamin keasliannya), kitab Buddhis ditulis (kembali) oleh para Arahat yang telah mencapai pencerahan sempurna, yang walaupun seorang dari arahat itu (Angulimala) adalah seorang kriminal, namun beliau (Angulimala) telah menyesal dan mendapatkan hukuman atas perbuatan kriminalnya itu sebelum mencapai pencerahan, dibandingkan dengan Musa yang walau telah melakukan pembunuhan namun tidak merasa bersalah.

Gunananda Thera lanjut menyatakan kalau dalam kitab Buddhisme tidak ada satupun yang menuliskan kalau Buddha telah mentelantarkan istrinya, dan juga tidak pernah tertulis kalau seorang Buddha tidak mendapatkan karma atas perbuatannya di masa lalu. Mengenai gunung Meru, Gunananda Thera berpendapat bahwa Pendeta De Silva sedang membicarakan teori dari Isaac Newton yang mengatakan terjadinya malam diakibatkan matahari terhalang oleh bumi daripada gunung Meru. Beliau berpendapat kalau teori Newton belum dapat sepenuhnya diterima (pada masa itu) sambil mengutip teori R.J. Morrison dan Alkitab, kemudian beliau mengatakan kalau teori Kekristenan memiliki teori yang sama seperti Buddhisme, yang memahami kalau bumi ini bergerak secara stationer, seperti ditunjukan dalam ayat, Pengkhotbah 1:5, NIV: Matahari terbit dan matahari terbenam, dan bergegas kembali ke tempat ia terbit.

Gunananda Thera juga menunjukkan kalau jarum kompas selalu menunjuk arah utara dan tidak pada arah lainnya, ini (mungkin) berarti gunung Meru ada di kutub utara dan itu pasti menghasilkan daya magnetis. Beliau juga menegaskan kalau ukuran pasti untuk Yojanna itu masih kontroversial, mungkin saja ukuran gunung tersebut lebih kecil daripada yang Pendeta De Silva bayangkan.

Gunananda Thera juga berargumen kalau tingkah laku sebagian Bhikku Buddhis tidak dapat dijadikan alasan untuk mendiskreditkan ajaran Buddha, beliau memberikan contoh bahwa sebagian umat Kristenn pun telah melakukan hal yang tidak pantas, Bahkan dalam Alkitab sendiri terjadi hal-hal yang tidak bermoral seperti pernikahan Lot dan anak perempuannya, hubungan sesama darah (incest) ini pun dilakukan oleh Adam Hawa dan anak-anak mereka. Beliau menjelaskan kalau daging babi dan nasi yang dimakan sang Buddha bukanlah penyebab utama kematian sang Buddha, sang buddha meninggal karena waktunya telah tiba.

Pada kesempatan selanjutnya Gunananda Thera juga mengatakan kalau daging babi tersebut tidak berbeda dengan belalang yang dimakan Yohanes Pembaptis mengenai kebiasaan Yohanes pembaptis memakan belalang itu bisa dilihat di: Matius 3:4 Yohanes memakai jubah bulu unta dan ikat pinggang kulit, dan makanannya belalang dan madu hutan. ayat alkitab yang menyatakan belalang lazim dimakan : Imamat 11:22 Inilah yang boleh kamu makan dari antaranya: belalang-belalang menurut jenisnya, yaitu belalang-belalang gambar menurut jenisnya, belalang-belalang kunyit menurut jenisnya, dan belalang-belalang padi menurut jenisnya. Beliau melanjutkan, walaupun Sang Buddha telah meninggal.

Namun ada bagian lain dari Buddha yang masih hidup yaitu relik nya, yang telah ada sejak 2500 tahun yang lalu. Mereka akan berkumpul di pohon Boddhi tempat sang Buddha mencapai pencerahan, dan disana mereka akan membentuk perwujudan Buddha, memberikan ceramah sejenak lalu menghilang. Kemudian Buddha telah mencapai nibanna ketika hal tersebut terjadi. Membahas mengenai Buddha yang dikatakan maha mengetahui, beliau menjelaskan bahwa maha mengetahui-nya seorang Buddha berbeda dengan maha mengetahui-nya Tuhan Kristen, yang mengetahui apapun baik dia (Tuhan) inginkan atau tidak, tapi beliau (Buddha) hanya mengetahui apa yang ingin beliau ketahui. Yang membuat Buddha mengetahui segala penderitaan, kesedihan, dan kotornya dunia ini.

Beliau juga menanyakan, mengapa orang Kristen begitu menekankan (mendramatisir) kematian Yesus (yang dikatakan telah menebus dosa manusia), Yesus adalah seorang yang menyarankan para pengikutnya untuk mengangkat senjata (memberontak) dan mengganggap dirinya sebagai raja Yahudi. Mengenai kebangkitan Yesus, orang yang pertama melihatnya adalah Maria Magdalena, Maria sendiri sempat mengalami kesurupan, ada 7 iblis yang dikatakan bersemayam dalam tubuhnya sebelum akhirnya dilepaskan, melihat hal ini mungkin saja Maria mengalami gangguan kejiwaan sehingga apa yang dia lihat (mengenai kebangkitan Yesus) tidak dapat dipercaya.

Walau begitu, Gunananda Thera mempercayai kalau ada sesuatu yang tercipta secara spontan (tercipta tanpa penyebab) seperti udara, panas, dan air yang menciptakan makhluk hidup - seperti Brahma, Vishnu, dan Ishiwara atau Tuhan, anak, dan roh kudus. Membahas mengenai cerita Adam dan Hawa, dikatakan bahwa Hawa dihukum Tuhan karena telah memakan buah terlarang, Tuhan menghukumnya sehingga akan mengalami kesakitan ketika melahirkan. Namun, pada kenyataannya, binatang-binatang lain pun mengalami kesakitan yang sama pada saat melahirkan, apa binatang-binatang ini juga ikut makan buah terlarang?

Dalam pernyataan akhirnya, Gunananda Thera mengatakan ajaran Buddha telah diakui kebenarannya oleh para pakar baik oleh dokter, ahli astronomi, dan ahli-ahli lainnya. Beliau juga mengatakan kalau Buddhisme menanamkan moralitas murni dan mengutamakan penyangkalan diri, pengorbanan diri serta perbuatan baik. Ajaran ini mengajarkan kedamaian serta toleransi antar umat beragama. Ajaran ini membimbing tiap umatnya mengikuti jalan sang Buddha, yang telah menemukan jalan menuju kebahagiaan sejati (nibanna). Demikianlah Gunananda Thera telah membuktikan kebenaran ajaran Buddha dan mematahkan argumen pihak Nasrani, ia mendesak pendengarnya untuk berlindung kepada Buddha.

Para penonton meneriakan: Sadhu! Sadhu! Sadhu! ….. teriakan itu berhenti setelah diperintah oleh Gunananda Thera.

sumber: panapuram.blogspot.com
dhammacitta.org

catatan:
Orang-orang Kristen mungkin berpikir bahwa umat Buddha tidak berpendidikan dan karenanya dapat dengan mudah dikalahkan dalam perdebatan. Tapi hal ini bisa digambarkan sebagai salah perhitungan dari orang-orang Kristen. Para Bhikkhu Buddhis akrab dengan teks Pali dan Sansekerta seperti Nyaya Bindu yang ditulis dalam Sastra Dignāga dan Tarka oleh Dharmakirti, tentang seni berdebat, dan tidak ragu-ragu dalam menerima tantangan berdebat di depan umum.

Pendeta De Silva seorang pembicara yang ahli dalam Bahasa Pali dan Sansekerta, perdebatan dihadiri oleh sekitar 6000-7000 orang tetapi sedikit yang bisa mengerti apa yang disampaikan oleh pendeta De Silva, sebaliknya Gunananda Thera dengan menggunakan bahasa yang sederhana untuk menyanggah argumen-argumen pendeta De Silva lebih dapat di mengerti oleh audience.

Dr. Vijaya Samaraweera dalam artikelnya, "Pemerintah dan Agama: Masalah dan Kebijakan" mengatakan: "Mohottivatte Gunananda Thera membuktikan dirinya sebagai seorang pendebat dari tatanan yang tinggi, tabah, cerdas, fasih dan khususnya ilmiah. Emosi yang dihasilkan dalam perdebatan dan dampak dari kepribadian Gunananda Thera ini memiliki effek yang berlangsung pada generasi berikutnya dari kegiatan Buddhis. Kemenangan Mohottivatte Gunananda Thera di Panadura membuka kembali masa pemulihan kepercayaan diri umat Buddhis. Dalam restropeksi pendirian "Society For Propagation Of Buddishm" di Kotahena dan Lankaprakara Galle tampaknya menjadi fase awal yang positif dalam pemulihan kepercayaan umat Buddhis.

Dampak dari hasil debat ini sungguh luar biasa, berpengaruh secara lokal maupun internasional. Dalam kehidupan lokal hasil debat ini menghidupkan kembali indentitas dari komunitas kebanggan umat Buddha Sinhala. Pada kehidupan Internasional, berperan aktif terhadap kesadaran Buddhis di kehidupan barat. Editor dari "Ceylon Times Newspaper", John Cooper mengatur Edward Perera untuk menulis ringkasan hasil perdebatan, dan diterbitkan dalam jumlah ribuan kopi. Terjemahan ini juga diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul "Buddhism and Christianity Face to Face" oleh J.M. Peebles di Amerika pada tahun 1878. Setelah membaca salinan buku tersebut, Kolonel Henry Steel Olcott, pendiri "Theosopical Society" datang ke Sri Lanka pada 17 Mei 1880.

Dengan kedatangan Kolonel Henry Steel Olcott ke Sri Lanka, maka kegiatan pergerakan kebangkitan Buddhis di Sri Lanka menjadi lebih cepat. Olcott digambarkan oleh Gunananda Thera sebagai:".......seorang polemik orator yang cemerlang dari pulau, terror bagi para misionaris, dengan kepala yang sangat intelektual, paling cemerlang dan juara yang kuat dari Buddhis Sinhala.
Share:

Mohottiwatte Gunananda Thera

 on  with No comments 
In  
Mohottiwatte Gunananda Thera atau  Migettuwatte Gunananda Thera dilahirkan pada 9 Februari tahun 1823 di desa Mohottiwatta di keluarga Buddhis yang makmur. Para bhikkhu di Sri Lanka, setelah pentahbisan, biasanya menambahkan nama dari desa mereka ke nama mereka sendiri. Gunananda telah memiliki hubungan dekat dengan pendeta Katolik di masa mudanya dan menerima pendidikan di sekolah-sekolah Kristen. Beliau pernah, pada suatu waktu, bahkan mempertimbangkan untuk menjadi seorang pendeta Kristen. 

Akan tetapi, beliau berubah pikiran setelah berhubungan dengan beberapa bhikkhu dari desanya dan ditahbiskan sebagai Bhikkhu di usia ke 20, di Vihara Dodanduwa Gala Uda oleh Y.M. Thelikada Sonutthara Thera, menjadi anggota dari kelompok persaudaraan Amarapura. Kecakapan pidatonya dengan segera menjadi nyata dan beliau juga mulai memperoleh kecakapan besar dalam ajaran-ajaran Buddha. 

Pada suatu hari beliau membaca majalah Buddha Sahodaraya (Sinhala Buddha Brotherhood), beliau melihat bahwa umat Buddha di Colombo tunduk pada diskriminasi agama oleh umat Kristen. Setelah mempelajari bahwa umat Buddhis di Colombo merupakan subjek tekanan dari misionaris dan diskriminasi oleh pemerintah, beliau pindah kesana dan mulai mempertahankan ajaran Buddha dengan publikasi dan pidatonya. 

Di tahun 1862, beliau membentuk ‘Society for the Propagation of Buddhism’ (Perhimpunan untuk Penyebaran Ajaran Buddha) untuk menyusun perlawanan terhadap serangan-serangan misionaris, dan untuk mempublikasikan brosur dan selebaran untuk melawan material anti-Buddhis yang dibagikan oleh umat Kristen. Gunananda kemudian memimpin umat Buddhis dalam rangkaian dari debat-debat yang sangat penting dengan umat Kristen, yang memuncak dalam Debat Panadura yang terkenal di tahun 1873. 

Para misionaris Kristen menyebarkan agama memlalui pamflet dan buku-buku. Rev.D.J. Gogerly misionaris dari Weselyn menerbitkan "Christian Pragnapthi" pada tahun 1849. Gunananda menjawabnya dengan menerbitkan Durlabdi Vinodini pada tahun 1862. Hikkaduwe Sumanggala Thera menulis "Christiani Vada Mardanaya dan Samyak Darshanaya" pada tahun 1862-1863. Setelah itu publikasi di gantikan dengan debat publik.

Perdebatan Baddegama berasal dari argumen yang timbul antara seorang biarawan muda bernama Sumangala dan seorang pendeta Kristen di kuil Baddegama. Gunananda Thera dan biarawan lainnya, termasuk Bulatgama Dhammalankara, Sri Sumanatissa, Kahawe Nanananda, Hikkaduwe Sumangala, Weligama Sri Sumangala, Pothuwila Gunaratana berpartisipasi dalam perdebatan. Perdebatan tidak diadakan tatap muka. Hal ini karena cara perilaku para pendebat Kristen telah menyebabkan konflik, Buddha, sebagai mayoritas, secara alami akan disalahkan. Mengingat situasi kedua pihak sepakat untuk melaksanakan debat secara tertulis. Awalnya teks disusun dalam Baddegama, meskipun tulisan-tulisan selanjutnya dilakukan di Galle. Perdebatan Waragoda juga diadakan pada tahun 1865.

Debat selanjutnya dilakukan di Udanwita di  Distrik Hathara, sekarang Distrik Kegalle. Sang Pencipta, Penebus dan Surga Abadi adalah topik debat. Perdebatan dilakukan pada 1 Februari 1866. John Edwards Hunupola mewakili pihak Kristen, Dia adalah seorang mantan Bhikkhu Buddhis yang beralih ke Kristiani. Seperti disepakati sebelum debat, Gunananda Thera menerbitkan ringkasan perdebatan sebagai tanggapan atas Hunupola yang juga menerbitkan sendiri versi ringkasan. Gunananda Thera mengeluarkan publikasi yang lebih untuk melawan ringkasan Hunupola itu. Tidak ada catatan dari perdebatan Liyanagemulla, faktanya hanya dikenal  bahwa debat itu diadakan pada tahun 1866.

Sebagai intensitas dari perdebatan yang semakin naik di sisi Buddha dan pihak Kristen, kedua belah pihak sepakat untuk berdebat di Gampola pada 9 dan 10 Juni tahun 1871. Gunananda Thera menampilkan keterampilan pidato dalam debat ini dan di apresiasi penonton sampai menangis dalam sukacita dan kemudian  Gunananda Thera diarak sekitar kota Gampola. Setelah Gunananda Thera menyampaikan  khotbah di beberapa tempat di Gampola, orang-orang mulai mengatur prosesi, membawa Thera ke stasiun kereta api Peradeniya dan mengirim dia kembali ke Kolombo. Kemudia orang-orang mengumpulkan uang sebesar £ 75,00 untuk mencetak khotbah yang telah disampaikan Gunananda Thera.

Semua perdebatan yang paling memuncak dan paling menonjol dari semua perdebatan, adalah perdebatan Panadura, dua tahun setelah perdebatan Gampola pada tahun 1873. Penyebab debat ini terjadi  ketika Pendeta David De Silva menyampaikan khotbah tentang Soul di Chapel Wesleyan, Panadura pada 12 Juni 1873.  Gunananda Thera menyampaikan khotbah seminggu kemudian mengkritik poin yang diangkat oleh Pendeta David De Silva. Kedua belah pihak menandatangani perjanjian pada tanggal 24 Juli 1873 untuk menggelar Perdebatan di Panadura, meskipun ini bukan satu-satunya penyebab perdebatan karena perdebatan tentang isu-isu agama telah dimulai lebih dari 10 tahun sebelumnya. 

Penampilannya yang mengagumkan dan kemenangannya yang meyakinkan mencetuskan kebangkitan dari ajaran Buddha di seluruh pulau, dan beliau disambut sebagai pahlawan nasional. Sebelum kematiannya di usia ke 67 pada 21 September tahun 1890, Gunananda meneruskan usahanya dalam membantu untuk menghidupkan kembali Sasana. Beliau mempublikasikan banyak majalah Buddhis seperti Riviresa, Lakmini Kirana, dan Sathya Margaya dan juga ikut terlibat dalam panitia yang merancang bendera Buddhis.
Share:

Senin, 14 Januari 2013

Golden & Rock Temple Dambulla

 on  with No comments 
In ,  
Kuil Gua Dambulla (Sinhala: දඹුලු ලෙන් විහාරය dam̆būlū len Vihara) juga dikenal sebagai Kuil Emas Dambulla merupakan Situs Warisan Dunia (1991) di Sri Lanka, terletak di bagian tengah negara itu. Situs ini terletak 148 km sebelah timur dari Colombo dan 72 km sebelah utara dari Kandy. Kuil ini adalah kuil gua terbesar dan terbaik yang masih terawat di kompleks Kuil di Sri Lanka. Terdapat lebih dari 80 gua di daerah sekitarnya.

Gua utama berisi rupang-rupang dan lukisan. Lukisan-lukisan dan rupang-rupang tersebut berhubungan dengan kehidupan Sang Buddha. Terdapat 153 buah rupang Buddha, 3 buah rupang raja Sri Lanka dan 4 rupang dewa dan dewi. Yang terakhir termasuk dua rupang dewa-dewa Hindu, dewa Wisnu dan dewa Ganesh. Lukisan dinding menutupi area seluas 2.100 meter persegi.

Penggambaran lukisan dinding di gua bercerita tentang godaan setan oleh Mara sampai khotbah pertama Buddha. Manusia prasejarah Sri Lanka tinggal di kompleks gua ini sebelum kedatangan agama Buddha di Sri Lanka, dalam daerah ini ditemukan situs penguburan kerangka manusia sekitar 2700 di Ibbankatuwa dekat kompleks gua Dambulla. Kompleks kuil ini memiliki lima gua utama di bawah batu menjorok yang besar. Pada tahun 1938 arsitektur itu dihiasi dengan tiang-tiang melengkung dan pintu masuk runcing. Di dalam gua, langit-langit yang dicat dengan pola rumit dari gambar-gambar religius mengikuti kontur batu. Terdapat lukisan Sang Buddha dan Bodhisattva, serta berbagai dewa dan dewi.

Kuil Gua Dambulla masih berfungsi dan merupakan bangunan kuno yang terawat di Sri Lanka. Kompleks kuil ini bertanggal antara abad ke-3 dan ke-2, saat itu sudah ditetapkan sebagai salah satu kuil terbesar dan terpenting. Raja Valagambahu secara tradisional diperkirakan telah mengubah gua menjadi sebuah kuil di abad SM 1. Ketika diasingkan dari Anuradhapura, ia mencari perlindungan di sini dari pemberontakan India Selatan selama 15 tahun. Setelah reklamasi ibukotanya, Raja membangun sebuah kuil sebagai tanda syukur. Banyak raja-raja lainnya yang menambahkan bangunan didalamnya sejak abad ke 11, gua telah menjadi pusat agama besar. Raja Nissanka Malla melapisi gua-gua dan menambahkan sekitar 70 rupang Buddha pada tahun 1190. Selama abad ke-18, gua-gua diperbaiki dan dicat kembali oleh Raja Kandyan.

Kuil ini terdiri dari lima gua, yang telah diubah menjadi ruang suci. Gua-gua, yang dibangun di dasar batu tinggi 150 m selama masa Anuradhapura (abad ke-1 SM sampai 993 Masehi) dan Polonnaruwa (1073-1250, adalah yang paling mengesankan dari kuil gua yang ditemukan di Sri Lanka. Jalan sepanjang lereng bukit Dambulla yang landai, menawarkan panorama tanah datar di sekitarnya, yang meliputi benteng batu Sigiriya, berjarak 19 km jauhnya. Gua terbesar berukuran sekitar 52m dari timur ke barat, dan 23m dari pintu masuk ke belakang, gua ini memiliki titik tertinggi 7 meter. Dewa-dewa Hindu juga terdapat di sini, seperti juga Raja Valagamba dan Nissankamalla, dan juga Ananda- murid Buddha yang setia.

1. Dev Raja Vihara atau Gua Raja Dewa
Gua yang pertama adalah kuil pengunjung bertemu setelah memasuki Kuil Suci melalui gerbang utama. Gua ini disebut Dev Raja Vihara atau Kuil Raja para Dewa. Nama ini di ambil dari cerita tradisional Dewa Sakka yang merupakan Raja para Dewa. Sebuah document dari penemuan kuil ini dicatat dalam prasasti Brahmi pada abad-1 di atas pintu masuk ke gua pertama. Gua ini didominasi oleh rupang 14 meter dari Sang Buddha, dipahat dari batu. Telah dicat berkali-kali dalam perjalanan sejarahnya.


2. Maha Raja Viharaya atau The Cave Of The Great King
Gua kedua adalah gua yang terbesar, di samping terdapat 16 rupang berdiri dan 40 rupang duduk Sang Buddah juga terdapat Dewa Saman dan Wisnu, yang sering dihiasi karangan bunga oleh peziarah, dan terakhir terdapat rupang Raja Vattagamani Abhaya, yang bertanggung jawab atas kuil di abad ke-1 SM, dan Raja Nissanka Malla, bertanggung jawab pada abad ke-12 untuk penyepuhan dari 50 rupang, seperti yang ditunjukkan oleh sebuah prasasti batu di dekat pintu masuk kuil.

Gua ini disebut Maharaja Lena, "Cave of the Great Kings." Rupang Buddha dipahat dari batu di sisi kiri ruangan yang dikawal oleh tokoh-tokoh kayu dari Maitreya Bodhisattva Avalokiteshvara atau Natha. Ada juga sumber air musim semi yang menetes airnya, dikatakan memiliki kekuatan penyembuhan, keluar dari celah di langit-langit. Di atas langit langit gua terdapat lukisan yang sangat berharga dari abad ke-18 yang menggambarkan kisah dari kehidupan Buddha, dari mimpi Mahamaya sampai godaan setan oleh Mara. Lukisan selanjutnya terkait peristiwa penting dari sejarah negara.

3. Maha Vihara Alut
Gua ketiga, Maha Vihara Alut, yang "Kuil baru yang besar" terdapat lukisan langit-langit dan dinding dalam gaya khas Kandy pada masa pemerintahan Raja Kirti Sri Rajasinha (1747-1782), Selain terdapat 50 rupang Buddha, ada juga rupang raja.

Gua ini dipisahkan dari gua yang kedua oleh dinding pasangan bata. Gua ini dijadikan sebagai gudang sampai abad ke-18. Dengan panjang sekitar 90 kaki dan lebar 81 meter dan tinggi ke langit-langit mencapai 36 meter. Permukaan batu gua ini di cat dengan warna yg cerah dan di hiasi dengan lukisan dinding dalam tradisi masa Kandyan. Lukisan-lukisan di dinding tersebut menggambarkan peristiwa dalam sejarah Buddha dan kehidupan-Nya.

Gua ini dijadikan menjadi ruang suci oleh raja Kirthi Sri Rajasinghe. Dalam gua ini juga terdapat salah satu rupang Buddha berbaring, dengan kepala di atas bantal, bertumpu pada tangan kanan. Rupang ini memiliki panjang 30 feet dan sangat proporsional dipahat pada media batu granit keras.

4. Pascima Viharaya
Pascima Vihara berarti Kuil Barat. Kuil ini memiliki panjang sekitar 50 meter dan lebar 20 feet, dengan tinggi atap sekitar dua 27 meter. Gua ini memiliki 10 rupang Buddha yang berukuran sama dan proporsi. Rupang Buddha membentuk posis meditasi Dhyana Mudra.

Rupang Buddha pada gua ini memiliki wajah, bibir, mata dan hidung yang jelas dan halus dengan telinga ditindik. Dahi surut ke garis rambut. Rambut dibentuk sebagai deretan titik, yang naik keatas dengan simpul di bagian atas kepala. Menggunakan teknik alur pematung yang indah, lipatan mengalir menutupi tubuh dari bahu ke kaki, dengan bahu kanan telanjang dan leher digambarkan oleh tiga alur. Rupang ini di pahat pada masa Kandyan dan sampai sekarang kondisinya masih terawat.

5. Devana Alut Vihara
Gua kelima Gua ini, disebut Devana Alut Vihara, adalah gua yang terkecil dari semua kamar suci dari Kuil Batu Dambulla. Gua ini dibuat oleh kepala suku lokal di awal abad ini. Gua ini merupakan batu alam sebagai atap dengan empat dinding batu. Gua ini memiliki luas yang dicat menutupi 69.52 meter persegi. Lebar sekitar 6,8 meter dan panjang sekitar 12,25 meter. Dalam gua ini terdapat kursi dari rupang Buddha yang dibangun dengan batu bata. Ada sebelas rupang di dalam gua ini dan dengan latar belakang Buddha berbaring.

Lukisan ini membutuhkan tempat yang lebih menonjol dibanding sepuluh patung lainnya, karena lukisan ini menunjukkan tingkat yang lebih tinggi. Di dalam kamar suci banyak terdapat karya seni dari kebudayaan Sinhala. Rupang-rupang Buddha dalam berbagai ukuran dan sikap, yang terbesar adalah panjangnya 15 meter. Salah satu gua ini memiliki lebih dari 1.500 lukisan Buddha yang menutupi langit-langit.
Share:

Sabtu, 12 Januari 2013

Punabbhava

 on  with No comments 
In  
Punabbhava berasal dari bahasa Pali yang terbentuk dari dua kata yaitu kata ”puna” dan ”bhava”. Kata ”puna” berarti lagi atau kembali, sedangkan ”bhava” berarti proses menjadi ada/eksis atau kelahiran. Jadi, secara harafiah, punabbhava berarti proses menjadi ada/eksis lagi atau kelahiran kembali atau tumimbal lahir. Punabbhava atau Kelahiran kembali atau tumimbal lahir merupakan suatu proses menjadi ada/eksis kembali dari suatu makhluk hidup di kehidupan mendatang (setelah ia meninggal/mati) sehingga lahir (jati), dimana proses ini merupakan akibat atau hasil dari kamma (perbuatan)nya pada kehidupan lampau. Proses menjadi ada/eksis atau kelahiran kembali atau punabbhava terjadi pada semua makhluk hidup yang belum pencapai Penerangan Sempurna, ketika mereka telah meninggal/mati.

Dalam Hukum Paticcasamuppada (Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan), proses menjadi ada/eksis atau punabbhava atau kelahiran kembali disebabkan oleh Kamma (perbuatan) yang kemudian menghasilkan kemelekatan kepada segala sesuatu termasuk kemelekatan pada hidup dan kehidupan. Jadi makhluk hidup apapun yang mengalami proses menjadi ada/eksis atau kelahiran kembali (punabbhava), merupakan makhluk yang masih memiliki kemelekatan pada sesuatu dalam kehidupan sebelumnya. Dan seperti yang diuraikan dalam Hukum Paticcasamuppada kemelekatan timbul karena adanya Tanha (Keinginan/Kehausan) dan juga Avijja (Ketidaktahuan/Kebodohan).

Karena Avijja (Ketidaktahuan/Kebodohan) seseorang menyadari atau tidak menyadarinya, tetap terus mengumbar keinginan/kehausannya terhadap segala sesuatu sehingga timbul kemelekatan pada dirinya terhadap segala sesuatu.

Proses menjadi ada/eksis atau kelahiran kembali atau punabbhava terjadi pada semua makhluk hidup yang belum pencapai Penerangan Sempurna, ketika mereka telah meninggal/mati. Dalam Hukum Paticcasamuppada (Sebab-Musabab yang Saling Bergantungan), proses menjadi ada/eksis atau punabbhava atau kelahiran kembali disebabkan oleh Kamma (perbuatan) yang kemudian menghasilkan kemelekatan kepada segala sesuatu termasuk kemelekatan pada hidup dan kehidupan. Jadi makhluk hidup apapun yang mengalami proses menjadi ada/eksis atau kelahiran kembali (punabbhava), merupakan makhluk yang masih memiliki kemelekatan pada sesuatu dalam kehidupan sebelumnya. Dan seperti yang diuraikan dalam Hukum Paticcasamuppada kemelekatan timbul karena adanya dan juga .  Karena Avijja (Ketidaktahuan/ Kebodohan) seseorang menyadari atau tidak menyadarinya, tetap terus mengumbar keinginan/kehausannya terhadap segala sesuatu sehingga timbul kemelekatan pada dirinya terhadap segala sesuatu.

Proses Kelahiran Kembali
Dalam proses kelahiran kembali atau rebirth (bahasa Inggris), tidak terjadi suatu perpindahan roh/jiwa/kesadaran ke dalam jasmani yang baru. Yang terjadi dalam proses kelahiran kembali adalah adanya proses berkesinambungan dari kesadaran (citta) pada kehidupan lampau dengan kesadaran (citta) kehidupan baru yang merupakan suatu aksi-reaksi. Oleh karena itu proses kelahiran kembali sangatlah berhubungan dengan proses kematian itu sendiri. Dan kedua proses yang berhubungan dengan batin ini sangatlah kompleks.

Guru Buddha menjelaskan dalam Satta Sutta; Radha Samyutta; Samyutta Nikaya 23.2 {S 3.189} bahwa makhluk hidup pada umumnya dan manusia pada khususnya merupakan perpaduan dari lima kelompok (Panca Khandha), yang kelimanya dikelompokkan menjadi dua bagian. Pertama yaitu jasmani atau fisik dan yang kedua adalah batin. Baik fisik maupun batin ini tidak terlepas dari hukum perubahan, suatu saat muncul dan saat kemudian mengalami pemadaman/mati. Batin sendiri terdiri dari perasaan, pencerapan, bentuk-bentuk pikiran, dan kesadaran. Unsur-unsur batin ini disebut dalam bahasa Pali sebagai citta. Citta juga sering disebut dengan kesadaran. Citta/kesadaran ini mengalami kemunculan, pemisahan dan pemadaman/mati.

Pada saat seseorang mengalami kematian, jasmani tidak lagi bisa berfungsi untuk mendukung citta/kesadaran. Citta/kesadarannya pun akan mengalami pemadaman/kematian dan secara otomatis ia meneruskan kesan apapun yang tertanam padanya kepada Citta/kesadaran penerusnya yang tidak lain merupakan Citta/kesadaran pada kehidupan yang baru. Penerusan Kesadaran (Patisandhi Vinnana) ini terjadi dengan adanya peran dari Kamma yang pernah dilakukan.

Ketika jasmani mengalami kematian, dalam pikiran orang yang sekarat muncul kesadaran yang bernama Kesadaran Ajal (Cuti Citta). Ketika Kesadaran Ajal mengalami pemadaman juga, maka orang tersebut dikatakan sudah meninggal. Tetapi pada saat yang bersamaan pula (tanpa selang/jeda waktu) Citta/kesadaran kehidupan baru muncul. Dan saat itulah seseorang telah dilahirkan kembali, sudah berada dalam kandungan dengan jasmani yang baru berupa janin. Keseluruhan proses ini terjadi dalam waktu yang singkat.

Perumpamaan Lilin
Proses kelahiran kembali dimana tidak adanya peristiwa perpindahan jiwa/roh dapat diperumpamakan seperti sebuah api lilin. Ketika kita melihat sebuah api yang menyala pada sebuah lilin nampak apinya sama saja walaupun telah satu jam telah berlalu. Tidak tampak adanya api dari lilin lain yang menggantikannya. Yang jelas tampak oleh kita adalah memendeknya ukuran lilin tersebut. Tetapi apakah ini berarti api yang menyala tersebut merupakan api yang sama dengan api yang kita lihat satu jam yang lalu? Jawabannya adalah tidak sama.

Jika kita perhatikan secara seksama, api pada lilin tidak akan hidup tanpa adanya unsur-unsur pendukung seperti batang lilin, sumbu, dan udara (oksigen). Api yang menyala tersebut ternyata merupakan api yang berbeda karena tiap saat disokong oleh bagian dari batang lilin, sumbu dan molekul-molekuk udara yang berbeda. Meskipun disokong oleh unsur-unsur yang berbeda, tetapi api tersebut tetap menyala tanpa perlu padam kemudian menyala lagi. Dengan kata lain adanya proses yang berkesinambungan.

Api disini tidak lain adalah kesadaran, batang lilin dan sumbu adalah jasmani, dan udara adalah kamma. Jasmani dan kamma adalah penyokong keberlangsungan kesadaran.

Tiga Kondisi Terjadinya Kelahiran
Dalam Mahatanhasankhaya Sutta; Majjhima Nikaya 38, Guru Buddha menjelaskan: "Para bhikkhu, embrio (dalam kandungan) terjadi karena penggabungan tiga hal, yaitu: adanya pertemuan ayah dan ibu, tetapi ibu tidak ada makhluk yang siap terlahir (kembali), dalam hal ini tidak ada pembuahan dalam kandungan; ada pertemuan ayah dan ibu, ibu dalam keadaan masa subur, tetapi tidak ada makhluk yang siap untuk terlahir (kembali), dalam hal ini tidak ada pembuahan dalam kandungan; tetapi ada pertemuan ayah dan ibu, ibu dalam keadaan masa subur dan ada makhluk yang siap terlahir (kembali), maka terjadi pembuahan karena pertemuan tiga hal itu.”

Jadi ada tiga kondisi yang harus dipenuhi sehingga terjadi suatu kelahiran, khususnya pada kelahiran manusia, yaitu: adanya sepasang (calon) orang tua yang subur, adanya hubungan seksual dari sepasang (calon) orang tua, dan adanya makhluk yang siap untuk terlahir (gandhabba). Istilah `gandhabba` berarti `datang dari tempat lain`, mengacu pada suatu arus energi batin yang terdiri dari kecenderungan-kecenderungan, kemampuan-kemampuan dan ciri-ciri karakteristik yang diteruskan dari jasmani yang telah mati.

Ketika jasmani mati, `batin bergerak ke atas` (uddhamgami) dan mengembangkan diri lagi pada sel telur (calon) ibu yang baru saja dibuahi. Janin tumbuh, lahir dan berkembang sebagai pribadi baru, dengan diprasyarati, baik oleh karakteristik batin yang terbawa (dari kehidupan lampau) juga oleh lingkungan barunya. Kepribadiannya akan berubah dan bermodifikasi oleh usaha kesadaran, pendidikan, pengaruh orang tua dan lingkungan sosial. Watak menyukai atau tidak menyukai, bakat kemampuan dan sebagainya, yang dikenal sebagai "sifat bawaan" dari setiap individu sebenarnya adalah terbawa dari kehidupan sebelumnya. Dengan kata lain, watak serta apa yang dialami pada kehidupan kita saat sekarang, pada tingkat-tingkat tertentu adalah hasil (vipaka) dari perbuatan (kamma) kehidupan lampau. Perbuatan-perbuatan kita selama hidup, demikian pula, akan menentukan di alam kehidupan mana kita akan dilahirkan.

Empat Cara Kelahiran
Ada empat cara kelahiran makhluk hidup yang telah dijelaskan oleh Guru Buddha di dalam Mahasihanda Sutta; Majjhima Nikaya 12.

”Sariputta, ada empat cara kelahiran. Apakah empat cara kelahiran itu? Kelahiran melalui telur (andaja yoni), kandungan (jalabuja yoni), tempat lembab (samsedaja yoni) dan kelahiran secara spontan (opapatika).

Apakah kelahiran melalui telur? Ada makhluk-makhluk yang lahir dengan memecahkan kulit telur; ini yang disebut kelahiran melalui telur.

Apakah kelahiran melalui kandungan? Ada makhluk-makhluk yang lahir melalui kandungan; ini yang disebut kelahiran melalui kandungan.

Apakah kelahiran pada tempat lembab? Ada makhluk-makhluk yang lahir dalam ikan yang membusuk, mayat yang membusuk, adonan yang membusuk, atau dalam jamban atau dalam saluran air kotor; ini yang disebut kelahiran pada tempat lembab. Apakah kelahiran secara spontan? Ada dewa-dewa dan penghuni-penghuni neraka dan makhluk manusia tertentu dan para penghuni tertentu dari alam yang tidak menyenangkan, yang lahir (muncul) secara spontan; ini yang disebut kelahiran secara spontan. Inilah empat cara kelahiran.”

Alam Kehidupan
Setiap makhluk yang dilahirkan kembali akan terlahir di salah satu dari 31 alam kehidupan sesuai dengan kammanya. Mereka yang cenderung banyak melakukan kamma buruk pada umumnya akan terlahir di alam-alam rendah atau alam penderitaan. Sedangkan mereka yang cenderung banyak melakukan kamma baik pada umumnya akan terlahir di alam-alam tinggi atau alam bahagia.

Secara garis besar 31 alam kehidupan dibagi menjadi lima bagian yaitu: terdapat empat alam kemerosotan (apayabhumi), satu alam manusia (manussabhumi), enam alam dewa (devabhumi), enam belas alam brahma berbentuk (rupabhumi), dan empat alam brahma tanpa bentuk (arupabhumi).

Apayabhumi yang terbentuk dari tiga kosakata, yaitu `apa` yang berarti `tanpa, tidak ada`, `aya` yang berarti `kebajikan`, dan `bhumi` yang berarti `alam tempat tinggal makhluk hidup`. Alam ini juga sering disebut dengan `duggatibhumi`. `Duggati` terbentuk dari dua kosakata, yaitu `du` yang berarti `jahat, buruk, sengsara`, dan `gati` yang berarti `alam tujuan bagi suatu makhluk yang ajan dilahirkan kembali`. Apayabhumi adalah suatu alam kehidupan yang tidak begitu ada kesempatan untuk berbuat kebajikan. Apayabhumi terdiri dari empat alam, yaitu: alam neraka (Niraya), alam binatang (Tiracchana), alam setan (Peta), alam iblis (Asurakaya). Karena tidak semua binatang hidup dalam kesengsaraan, alam ini tercakup dalam guggatibhumi secara tidak menyeluruh dan langsung.

Manussabhumi terbentuk dari dua kosakata, yaitu `manussa` dan `bhumi`. `Manussa` terdiri dari dua kosa kata yaitu mano yang berarti `pikiran, batin` dan `ussa` yang berarti `tinggi, luhur, meningkat, berkembang.` Jadi manussabhumi yang berarti alam tempat tinggal manusia.

Devabhumi disebut juga alam surga. Alam ini merupakan alam dimana makhluk penghuninya hidup dalam kenikmatan inderawi. Tapi meskipun disebut sebagai alam surga, para makhluk yang hidup di alam ini yaitu dewa dan dewi juga hidup dan ketidakekkalan. Alam surga terbagi menjadi enam alam, yaitu: Catumaharajika, Tavatimsa, Yama, Tusita, Nimmanarati, dan Paranimmitavasavatti.

Rupabhumi merupakan alam tempat kelahiran jasmaniah serta batiniah para brahma berbentuk. Yang dimaksud dengan brahma ialah makhluk hidup yang memiliki kebajikan khusus yaitu berhasil mencapai pencerapan Jahna (pemusatan pikiran yang kuat dalam memegang obyek) yang luhur. Alam brahma terdiri dari 16 alam, yaitu: tiga alam bagi peraih jhana pertama (Pathama), tiga alam bagi peraih Jhana kedua (Dutiya), tiga alam bagi peraih Jhana ketiga (Tatiya), dua alam bagi peraih Jhana keempat (Catuttha), dan lima alam Suddhavasa. Alam Suddhavasa merupakan alam kehidupan bagi mereka yang telah terbebas dari napsu birahi (kamaraga) dan sebagainya, yaitu para Anagami (tingkat kesucian ketiga) yang berhasil meraih pencerapan Jhana kelima.

Arupabhumi merupakan suatu alam tempat kelahiran batiniah para brahma tanpa bentuk. Meskipun disebut sebagai suatu alam yang mengacu pada tempat atau bentuk, namun di sini sesungguhnya sama sekali tidak terdapat unsur jasmaniah/fisik sehalus apa pun dan dalam wujud apapun. Kelahiran di alam brama tanpa bentuk ini terjadi karena pengembangan perenungan yang kuat terhadap unsur jasmaniah yang menjijikkan sehingga tidak menginginkannya.

Menghentikan Kelahiran Kembali
Setelah mencapai Pencerahan Agung, Guru Buddha memekikkan pekik kemenangan, ”Dengan melalui banyak kelahiran Aku telah mengembara dalam samsara (siklus kehidupan). Terus mencari, namun tak kutemukan pembuat rumah ini. Sungguh menyakitkan kelahiran yang berulang-ulang ini. O pembuat rumah, engkau telah kulihat, engkau tak dapat membangun rumah lagi. Seluruh atapmu telah runtuh dan tiang belandarmu telah patah. Sekarang batinku telah mencapai Keadaan Tak Berkondisi (nibbana). Pencapaian ini merupakan akhir daripada napsu keinginan.”(Dhammapada 153-154)

Bagi mereka yang telah sadar, mencapai Pencerahan Agung dan merealisasikan Kebenaran Tertinggi, kelahiran kembali merupakan suatu proses yang melelahkan dan menyakitkan seperti yang diucapkan oleh Guru Buddha dalam pekik kemenangan tersebut. Oleh karena itu bagi mereka yang telah sadar, mereka akan berusaha melepaskan diri dari proses kelahiran kembali. Dan bagi mereka yang telah mencapai Pencerahan Agung dan merealisasikan Kebenaran Tertinggi (Nibbana), tidak akan lagi mengalami kelahiran kembali.

Sesuai dengan rumusan Hukum Sebab-Musabab Yang Saling Bergantungan (Paticcasamuppada), yang menyatakan bahwa: Dengan adanya ini, maka terjadilah itu, dengan tidak adanya ini, maka tidak adalah itu (”Imasming Sati Idang Hoti, Imasming Asati Idang Na Hoti”), maka untuk menghentikan proses menjadi (kelahiran kembali) perlu meniadakan atau melenyapkan penyebab dari proses menjadi tersebut. Penyebab dari proses menjadi tersebut tidak lain adalah Tanha (Keinginan/Kehausan) dan Avijja (Ketidaktahuan/Kebodohan) yang ada pada diri seseorang.

Jalan atau cara melenyapkan Tanha (Keinginan/Kehausan) dan Avijja (ketidaktahuan/kebodohan) adalah dengan melaksanakan sila (kemoralan), samadhi (konsentrasi), dan panna (kebijaksanaan) yang terdapat dalam Jalan Mulia Berunsur Delapan (Ariya Atthangiko Magga). Dengan menjalankan Jalan Mulia Berunsur Delapan secara sempurna, seseorang bukan hanya nantinya terbebas dari kelahiran kembali, tetapi juga dapat merealisasikan Kebenaran Tertinggi (Nibbana).

Disusun oleh: Bhagavant.com
Share:

Gal Vihara

 on  with No comments 
In ,  
Gal Vihara (Sinhala: ගල් විහාරය), awalnya bernama Uttararama (kuil utara), juga dikenal sebagai Vihara Gal, adalah candi batuan Buddhis bercorak Theravada yang terletak di kota kuno Polonnaruwa di utara-tengah Sri Lanka. Candi ini dibangun pada abad ke-12 oleh Raja Parakramabahu I. Gal Vihara di bangun pada sebuah batu granit besar yang berukuran panjang 27 meter dengan ketinggian di tengah mencapai 10 meter.

Fitur utama dari candi ini adalah empat rupang Buddha , yang diukir pada satu batu granit besar yang melambangkan belas kasih tanpa batas dan kebijaksanaan Sang Buddha. Rupang Buddha tersebut terdiri dari rupang duduk besar, rupang duduk kecil di dalam sebuah gua buatan, rupang berdiri dan rupang berbaring. Karya seni ini sebagai contoh terbaik dari kebudayaan dan seni ukir dari Sinhala kuno, yang membuat Vihara Gal menjadi salah satu tempat yang paling banyak dikunjungi di Polonnaruwa.

Vihara Gal, atau Uttararama seperti yang dikenal selama periode itu, adalah merupakan tempat di mana Parakramabahu I mengadakan pertemuan untuk memurnikan umat Buddha, dan kemudian menyusun kode etik bagi mereka. Kode etik ini telah dicatat dalam sebuah prasasti di permukaan batu yang sama yang berisi gambar Buddha.

Rupang dari Vihara Gal mengikuti gaya yang berbeda dari rupang di periode Anuradhapura sebelumnya, dan menunjukkan beberapa perbedaan yang signifikan. Identitas citra berdiri dipersepsikan secara berbeda antara sejarawan dan arkeolog, beberapa di antaranya berpendapat bahwa hal itu menggambarkan Bhikkhu Ananda. Setiap rupang didiukir dengan memperkirakan daerah maksimum yang mungkin dari sebuah batu besar, dan tingginya tampaknya telah diputuskan berdasarkan ketinggian batu itu sendiri. Masing-masing rupang tampaknya memiliki citra sendiri-sendiri, seperti yang ditunjukkan oleh sisa-sisa dinding bata di situs.

 
Rupang Buddha duduk berukiran indah dan membentuk Dhyana Mudra


 
Rupang Buddha dalam posisi duduk tetapi dalam ukuran yang lebih kecil dan membentuk posisi Dhyana Mudra, dengan tinggi potongan batu mencapai 4 kaki 7 inci sedangkan tinggi rupang mencapai 3 kaki.


 
Rupang Buddha berbaring memiliki panjang 46 kaki


 
Rupang Buddha berdiri memiliki tinggi 7 meter
Share: