Sabtu, 09 Februari 2013

Milinda Panha Bab XIV Pemecah Dilema Bagian 7

 on  with No comments 
In ,  
  1. Tanpa Rintangan
    “Sang Buddha berkata, ‘Hiduplah sepenuh hati untuk sesuatu yang tanpa rintangan, dan bergembiralah di dalamnya.’[1] Apakah yang tanpa rintangan itu?” “Empat buah dari Sang Jalan dan nibbana adalah yang tanpa rintangan.” “Tetapi jika demikian, Nagasena, mengapa para bhikkhu merepotkan diri dengan mempelajari ajaran Sang Buddha, dengan membangun apa yang harus diperbaiki dan dengan persembahan pada Sangha?”

    “Para bhikkhu yang melakukan hal-hal itu perlu membebaskan pikiran mereka dari rintangan-rintangan sebelum mereka dapat mencapai keempat buah itu. Akan tetapi mereka yang pada dasarnya sudah murni, sebenarnya telah melakukan pekerjaan persiapan itu di dalam kehidupan-kehidupan mereka sebelumnya. Maka dengan mudah mereka dapat mencapai buah-buah itu tanpa persiapan. Seperti halnya seorang petani di beberapa daerah berhasil menanam tanpa harus membangun pagar, sementara di tempat lain dia harus terlebih dahulu membangun pagar atau tembok sebelum dapat menanam; atau seperti orang yang mempunyai kekuatan supra-normal dapat dengan mudahnya memetik buah yang ada di puncak pohon yang tinggi, sementara orang lain harus terlebih dahulu membuat tangga. Demikian juga, belajar, bertanya, serta pekerjaan-pekerjaan lainnya itu seperti tangga yang membantu para bhikkhu mencapai buah dari empat pencapaian tersebut. Selama masih dibutuhkan proses belajar dari guru, bahkan bhikkhu seperti Yang Mulia Sariputta pun tidak mampu mencapai tingkat Arahat tanpa bantuan guru, maka pembacaan kitab suci tetap ada gunanya. Dan dengan demikian para siswa akan terbebas dari rintangan dan akan mencapai tingkat Arahat.”

  2. Arahat Awam
    “Anda mengatakan bahwa jika seorang umat awam mencapai tingkat Arahat dia harus memasuki Sangha pada hari itu juga, atau kalau tidak, dia akan mati dan mencapai parinibbana.[2] Tetapi jika dia tidak bisa mendapat jubah, mangkok dan penahbis pada saat itu, maka kondisi kearahatan yang mulia itu akan sia-sia karena melibatkan hancurnya suatu kehidupan.”

    “Kesalahan itu bukan terletak pada kearahatannya, melainkan pada keadaan si umat awam yang terlalu lemah untuk menopang kearahatan itu. Seperti halnya, O baginda, meskipun makanan melindungi kehidupan makhluk, dia juga akan mengambil nyawa orang yang pencernaannya lemah. Demikian juga, jika seorang umat awam mencapai tingkat Arahat, maka karena kelemahan kondisi itulah dia harus memasuki Sangha pada hari itu juga. Kalau tidak, dia akan mati.”

  3. Pelanggaran Para Arahat
    “Anda mengatakan bahwa seorang Arahat tidak mungkin mempunyai kewaspadaan yang kacau.[3] Kalau begitu, dapatkah dia melakukan pelanggaran?” “Dapat, O baginda, sehubungan dengan ukuran kutinya. Dia mungkin saja bertindak sebagai perantara, makan pada waktu yang salah, makan apa yang tidak dipersembahkan, atau mengira dia tidak diundang padahal sebetulnya diundang.”

    “Tetapi Anda mengatakan bahwa orang yang melakukan pelanggaran itu melakukannya karena kebodohan atau rasa tidak hormat. Jika seorang Arahat dapat jatuh ke dalam pelanggaran dan jika tidak ada rasa hormat di dalam diri Arahat itu, apakah itu berarti ada kekacauan kewaspadaan?” “Tidak, tidak ada kekacauan kewaspadaan di dalam diri seorang Arahat. Ada dua jenis pelanggaran. Ada hal-hal yang tercela di mata dunia umum seperti misalnya pembunuhan, pencurian, dan sebagainya. Dan ada hal-hal salah yang hanya berlaku bagi para bhikkhu, seperti misalnya: makan pada waktu yang salah, merusak pepohonan dan tumbuhan, atau bermain di air. Dan banyak lagi hal-hal seperti itu, O baginda, yang tidak salah di dunia umum tetapi salah bagi seorang bhikkhu. Seorang Arahat tidak mungkin berbuat kesalahan jenis pertama, tetapi beliau mungkin dapat melakukan kesalahan jenis kedua karena beliau tidak mengetahui segala hal. Seorang Arahat mungkin tidak mengetahui jam berapa atau hari apa saat itu, atau nama keluarga seorang wanita. Akan tetapi setiap Arahat mengetahui tentang kebebasan dari penderitaan.”

  4. Apa yang Tidak di Dunia
    “Ada banyak macam hal yang dapat ditemui di dunia ini, Nagasena, tetapi katakanlah apa yang tidak dapat ditemukan di dunia ini.” “Ada tiga hal, O baginda, yang tidak dapat ditemukan di dunia ini: sesuatu yang sadar atau pun yang tidak sadar yang tidak lapuk dan lenyap; bentukan (sankhara) atau hal terkondisi yang kekal; dan di dalam arti yang sebenar-benarnya, tidak ada sesuatu yang disebut makhluk.”

  5. Yang Tanpa Sebab
    “Nagasena, ada hal-hal di dunia ini yang menjadi ada karena karma, ada yang merupakan hasil dari suatu sebab, dan ada yang dihasilkan oleh musim. Terangkanlah, apakah ada yang tidak termasuk di dalam tiga kategori itu?” “Ada dua hal, O baginda: ruang dan nibbana.” “Yang Mulia Nagasena, janganlah mengubah kata-kata Sang Penakluk, atau menjawab pertanyaan tanpa mengetahui apa yang Anda katakan!” “Apa yang telah saya katakan, O baginda, sehingga baginda berkata demikian?” “Yang Mulia, memang betul apa yang Anda katakana tentang ruang. Tetapi dengan ratusan alasan Sang Buddha menyatakan pada siswa-Nya cara menuju perwujudan nibbana. Dan Anda mengatakan bahwa nibbana bukanlah hasil dari suatu sebab.”

    “Memang benar, O baginda, dengan banyak cara Sang Buddha menunjukkan jalan bagi perwujudan nibbana, tetapi Beliau tidak menunjukkan sebab bagi timbulnya nibbana.” “Di sini, Nagasena, kami melangkah dari kegelapan menuju ke kegelapan yang lebih pekat; dari ketidakpastian menuju ke kebingungan total. Jika ada ayah dari seorang anak maka kami berharap dapat menemukan ayah dari si ayah itu. Demikian juga, jika ada penyebab bagi perwujudan nibbana, maka kami mengharapkan dapat menemukan penyebab bagi timbulnya nibbana itu.”

    “Nibbana, O baginda, tidak dibentuk, dan karenanya tidak ada sebab yang dapat ditunjuk bagi pembuatannya. Tidak dapat dikatakan bahwa nibbana itu telah timbul atau dapat timbul; bahwa nibbana itu adalah masa lalu, masa kini atau masa mendatang; atau dapat dikenali dengan mata, telinga, hidung, lidah atau tubuh.” “Kalau begitu, Nagasena, nibbana adalah kondisi yang tidak ada!”

    “Nibbana itu ada, O baginda, dan dapat dikenali lewat pikiran. Seorang siswa luhur yang pikirannya murni, mulia, tulus, tidak terhalang, dan bebas dari kemelekatan akan dapat mencapai nibbana.” “Kalau begitu, jelaskanlah dengan perumpamaan, apakah nibbana itu?” “Apakah ada sesuatu yang disebut angin?” “Ya, ada.”

    “Kalau begitu, jelaskanlah dengan perumpamaan, apakah angin itu?” “Tidaklah mungkin dapat menjelaskan apa angin itu dengan menggunakan perumpamaan, tetapi toh angin itu ada.” “Demikian juga, O baginda, nibbana itu ada tetapi tidak mungkin digambarkan.”

  6. Cara-cara Menghasilkan
    “Apa yang dilahirkan oleh karma, apa yang dilahirkan oleh sebab, dan apa yang dilahirkan oleh musim? Dan apa yang bukan semua itu?” “Semua makhluk, O baginda, dilahirkan oleh karma. Api, dan semua yang bertumbuh dari biji, dilahirkan oleh sebab. Tanah, air dan angin dilahirkan oleh musim. Sedangkan ruang dan nibbana itu ada, tetapi tidak tergantung dari karma, sebab atau musim. Nibbana, tidak dapat dikatakan dapat dikenali oleh panca indera, tetapi dapat dipahami oleh pikiran. Seorang siswa yang pikirannya murni, dan bebas dari rintangan dapat mencerap nibbana.”

  7. Setan
    “Apakah ada sesuatu yang disebut yakkha (setan) di dunia ini?” “Ya, baginda, ada.” “Kalau begitu, mengapa sisa yakkha yang telah mati tidak terlihat?” “Sisa yakkha dapat dilihat dalam bentuk serangga, seperti belatung, semut, ngengat, ular, kalajengking, lipan dan binatang-binatang liar lainnya.” “Siapa lagi, Nagasena, yang dapat memecahkan teka teki ini kecuali orang sebijaksana Anda!”

  8. Menetapkan Peraturan bagi Para Bhikkhu
    “Para dokter yang terkenal mampu menuliskan resep yang sesuai bagi suatu penyakit sebelum penyakit tersebut timbul, meskipun mereka tidaklah mahatahu. Mengapa Sang Tathagata tidak menetapkan peraturan bagi para bhikkhu sebelum ada kejadian, tetapi menunggu sampai terjadi suatu pelanggaran dan terdengar berbagai keributan?” “Sang Tathagata, O baginda, telah mengetahui sebelumnya bahwa seratus lima puluh[4] aturan itu semuanya harus ditetapkan. Namun Beliau berpikir, ‘Jika aku menetapkan semua peraturan ini sekaligus maka akan banyak yang takut memasuki Sangha karena melihat begitu banyak peraturan yang harus dijalankan. Karena itu aku akan menetapkan peraturan ketika ada kebutuhan’.”[5]

  9. Panas Matahari
    “Mengapa panas sinar matahari terkadang menyengat dan terkadang tidak?” “Terhalang oleh empat hal, O baginda, maka matahari tidak bersinar menyengat: oleh awan badai, oleh kabut, oleh awan debu, atau oleh bulan.”[6] “Luar biasa, Nagasena, bahwa matahari yang begitu hebat, dan begitu kuat, dapat terhalang. Apalagi makhluk lain.” 70. Matahari Musim Dingin “Mengapa matahari lebih menyengat di musim dingin daripada di musim panas?”[7] “Di musim dingin langit cerah, sehingga matahari bersinar dengan menyengat. Tetapi di musim panas debu beterbangan dan awan terkumpul di langit, sehingga sengatan sinar matahari berkurang.”
Catatan:
[1]. Tidak terlacak, tetapi bandingkan M. i. 65.
[2]. Tidak terlacak, tetapi umat awam dapat mencapai tingkat Arahat.
[3]. Bandingkan Pts. Contr.114.
[4]. Disebutkan juga di Dilema 54. Mungkin 150 peraturan mengacu pada 75 peraturan latihan yang biasanya untuk samanera dan dengan demikian terdapat 152 peraturan khusus untuk para bhikkhu.
[5]. Bandingkan Vin. iii. 9, 10
[6]. Bandingkan Vin. ii. 295, A. ii. 53, “Terhalang oleh empat hal, O baginda, maka matahari tidak bersinar menyengat: Oleh awan badai, oleh kabut, oleh awan debu, atau oleh gerhana. Demikian pula, terhalang oleh empat hal maka para petapa tidak bersinar: minum minuman yang memabukkan, melakukan hubungan seksual, menerima emas dan perak, serta menjalani kehidupan dengan cara yang tidak benar.” Jadi dilema ini tidak salah tempat di sini.
[7]. Biasanya kita mengenal tiga musim. Apa yang digambarkan sebagai musim panas itu lebih mirip dengan musim hujan dan bukannya musim yang panas.
Share:

0 Komentar:

Posting Komentar