Minggu, 03 Februari 2013

Pandangan Sang Buddha Tentang Makan Daging

 on  with No comments 
In  
Pandangan Sang Buddha Tentang Makan Daging
Oleh Bhikkhu Dhammavuddho Mahathera 

Makan daging merupakan topik yang sangat sensitif. Ada beragam pandangan tentang makan daging dan setiap pandangan mungkin benar pada batas tertentu, tetapi pandangan-pandangan tersebut mungkin saja tidak bijaksana. Dalam hal ini, kita harus mengesampingkan pandangan pribadi kita dan bersikap lebih terbuka untuk melihat pandangan Sang Buddha. Hal ini penting sekali karena Beliau adalah Tathagata yang mengetahui dan melihat. Sutta dan Vinaya akan menjadi sumber referensi kita karena di AN 4.180, Sang Buddha berkata bahwa jika bhikkhu tertentu mengatakan sesuatu, yang diklaim sebagai sabda Sang Buddha, maka perkataan tersebut haruslah dibandingkan dengan Sutta (kumpulan khotbah) dan Vinaya (disiplin kebhikkhuan). Jika perkataan tersebut sesuai dengan Sutta dan Vinaya, maka kita dapat menerimanya sebagai sabda Sang Buddha.

Pertimbangan selanjutnya adalah Sutta dan Vinaya mana yang menjadi acuan kita? Walaupun berbagai mazhab Buddhis mempunyai penafsiran yang berbeda tentang ajaran Sang Buddha, umumnya semua setuju bahwa empat Nikaya (Kumpulan-kumpulan), yaitu, Dīgha Nikāya, Majjhima Nikāya, Saṃyutta Nikaya, dan Aṅguttara Nikāya, dan beberapa buku dari Khuddhaka Nikaya, adalah khotbah-khotbah tertua otentik Sang Buddha. Lebih lanjut, buku-buku kumpulan tertua ini konsisten secara keseluruhannya, mengandung rasa pembebasan, sementara buku-buku belakangan terkadang berisikan ajaran yang kontradiktif.

Buku-buku Vinaya dari berbagai mazhab Buddhis semuanya cukup serupa dengan Vinaya Theravada. Untuk alasan ini, Sutta-sutta kumpulan tertua dan Vinaya Theravada akan menjadi sumber referensi kita.

Referensi Sutta
Majjhima Nikāya 55
Khotbah ini penting sekali karena disini Sang Buddha menyatakan dengan jelas pendapat Beliau tentang makan daging. Tabib Raja, Jivaka Komarabhacca, datang mengunjungi Sang Buddha. Setelah memberi penghormatan, dia berkata: “Yang Mulia, saya telah mendengar hal ini: ‘Mereka menyembelih makhluk hidup untuk Samana Gotama (yaitu Sang Buddha); Samana Gotama dengan sadar memakan daging yang dipersiapkan kepadanya dari binatang yang dibunuh untuk dirinya’...”; dan bertanya apakah hal ini memang benar.

Sang Buddha menyangkali hal ini, menambahkan “Jivaka, saya nyatakan bahwa dalam tiga hal daging tidak diijinkankan untuk dimakan: apabila dilihat, didengar atau dicurigai (bahwa makhluk hidup tersebut telah secara khusus disembelih untuk dirinya) ... Saya nyatakan bahwa dalam tiga hal daging diijinkan untuk dimakan: ketika tidak dilihat, didengar, atau dicurigai (bahwa makhluk hidup tersebut telah secara khusus disembelih untuk dirinya) ....”

Lebih lanjut, Sang Buddha menambahkan: “Jika seseorang menyembelih suatu makhluk hidup untuk Tathagata (yaitu Sang Buddha) atau para siswanya, dia menimbun banyak kamma buruk dalam lima hal ...
(i) Ketika dia berkata: ‘Pergi dan giring makhluk hidup itu’ ...
(ii) Ketika makhluk hidup itu menderita kesakitan dan kesedihan ketika dijerat dengan lehernya yang terikat ...
(iii) Ketika dia berkata: ‘Pergi dan sembelihlah makhluk hidup itu’ ...
(iv) Ketika makhluk hidup itu mengalami kesakitan dan kesedihan karena disembelih ...
(v) Ketika dia mempersembahkan kepada Tathagata atau para siswanya dengan makanan yang tidak diijinkan .... ”

Jadi kita dapat menyimpulkan bahwa Sang Buddha membedakan antara daging yang diijinkan[1] dengan tiga kondisi dan daging yang tidak diijinkan. Ini adalah kriteria yang paling penting sehubungan dengan makan daging.

Aṅguttara Nikāya 8.12
Jendral Siha, seorang pengikut Nigantha, beralih ke ajaran Buddha setelah dia belajar Dhamma dari Sang Buddha. Dia mengundang Sang Buddha dan rombongan bhikkhu ke rumahnya hari berikutnya untuk bersantap, dan menyediakan daging dan makanan lainnya. Para Nigantha, yang cemburu karena seorang umat awam yang terkemuka dan berpengaruh telah pergi ke perkemahan Buddha, menyebarkan rumor bahwa Jendral Siha telah membunuh seekor binatang besar dan memasaknya untuk samana Gotama, “... dan samana Gotama akan memakan daging tersebut, mengetahui bahwa daging itu memang dimaksudkan untuk dirinya, perbuatan itu dilakukan untuk kepentingannya.’

Ketika berita ini sampai ke telinga Jendral, dia menolak tuduhan mereka, berkata: “ ... Sudah lama tuan–tuan yang terhormat ini (Nigantha) sudah berniat untuk meremehkan Buddha ... Dhamma ... Sangha: tetapi mereka tidak dapat mengganggu Yang Terberkahi dengan fitnahan kejam, kosong, bohong, yang tak benar. Tidaklah demi menopang hidup, kita dengan sengaja merampas hidup makhluk manapun.

Ini adalah salah satu khotbah yang dengan jelas menunjukkan bahwa Sang Buddha dan bhikkhunya makan daging. Juga, kita lihat bahwa daging dari binatang yang sudah mati ketika dibeli, diijinkan untuk dimakan, tetapi tidak diijinkan apabila binatangnya masih hidup.

Aṅguttara Nikāya 5.44
Ini tentang seorang umat awam, Ugga, yang mempersembahkan beberapa pilihan makanan yang baik untuk Sang Buddha: di antaranya adalah daging babi yang dimasak dengan buah jujube yang diterima oleh Sang Buddha. Sekali lagi, ini jelas bahwa Sang Buddha dan para siswanya makan daging.

Sutta Nipata 2.2
Disini Sang Buddha mengingat kembali suatu peristiwa pada kehidupannya yang lampau pada masa Buddha Kassapa. Buddha Kassapa adalah gurunya saat itu.

Pada suatu ketika saat seorang petapa sekte luar bertemu dengan Buddha Kassapa dan mencacinya karena makan daging, yang dikatakannya sebagai noda dibandingkan dengan konsumsi makanan vegetarian. Buddha Kassapa membalas:
“Membunuh ... melukai .... mencuri, berbohong, menipu ... berzinah; inilah noda. Bukan makan daging.

... Mereka yang kasar, sombong, memfitnah, curang, jahat ... kikir ... inilah noda. Bukan makan daging. ... Kemarahan, keangkuhan, sifat keras kepala, kebencian, penipuan, keirihatian, pembualan ... inilah noda. Bukan makan daging.

... Mereka yang bermoral buruk, .... dengki ... congkak ... menjadi orang yang paling keji, melakukan perbuatan demikian, inilah noda. Bukan makan daging.”

Referensi Vinaya
Patimokkha: Pacittiya 39
Dalam disiplin kebhikkhuan, seorang bhikkhu tidak diijinkan untuk meminta makanan khusus tertentu. Tetapi, sebuah pengecualian diijinkan di Patimokkha (peraturan kebhikkhuan) ketika bhikkhu itu sakit. Dalam keadaan ini, bhikkhu diijinkan untuk meminta produk dari susu, minyak makan, madu, gula, ikan, daging ... Dengan jelas, ikan dan daging diijinkan untuk para bhikkhu.

Buku Kedisiplinan: Buku Keempat [2]
Dalam Mahavagga, sepuluh jenis daging dilarang bagi para bhikkhu: manusia, gajah, kuda, anjing, hyena, ular, beruang, singa, harimau, dan macan tutul. Kita dapat menyimpulkan dari sini bahwa daging dari binatang lain diijinkan, dengan terpenuhinya tiga kondisi untuk ‘daging yang diijinkan’, misalnya daging babi, daging sapi, ayam, dan lain sebagainya.

Buku Kedisiplinan: Buku Keempat [3]
Sup daging yang jernih diijinkan bagi bhikkhu yang sakit.

Buku Kedisiplinan: Buku Pertama [4]
Beberapa bhikkhu menuruni lereng dari Puncak Burung Nasar. Mereka melihat sisa hewan yang mati terbunuh oleh singa, menyuruh umat memasaknya dan memakannya. Di lain waktu, bhikkhu yang lain melihat sisa hewan yang mati terbunuh oleh harimau ... sisa hewan yang mati terbunuh oleh macan tutul ... dan lain sebagainya ... menyuruh umat memasaknya dan memakannya. Kemudian para bhikkhu ragu apakah itu sudah termasuk mencuri. Sang Buddha memberikan pengecualian kepada mereka dengan mengatakan tidak ada pelanggaran dalam mengambil apa yang menjadi milik binatang. Sekali lagi, di sini kita melihat bahwa para bhikkhu makan daging dan Sang Buddha tidak mengkritik atau melarang hal itu.

Buku Kedisiplinan: Buku Kedua[5]
Ini adalah kejadian ketika Arahat bhikkhuni Uppalavanna ditawarkan sebagian daging matang. Keesokan paginya, setelah mempersiapkan daging di biara wanita, dia pergi ketempat dimana Sang Buddha sedang tinggal untuk mempersembahkan kepadanya. Seorang bhikkhu, mewakili Sang Buddha, menerima persembahan itu dan mengatakan bahwa Uppalavanna telah menyenangkan Sang Buddha.

Jelaslah bahwa Sang Buddha memakan daging; apabila tidak, Arahat bhikkhuni Uppalavanna tidak akan mempersembahkannya.

Buku Kedisiplinan: Buku Kelima[6]
Bhikkhu Devadatta merencanakan untuk memecah-belah komunitas para bhikkhu dengan meminta Sang Buddha untuk menetapkan lima aturan, salah satunya adalah para bhikkhu tidak diijinkan makan ikan dan daging.

Sang Buddha menolak, dengan berkata: “Ikan dan daging sepenuhnya murni berdasarkan tiga hal: jika tidak dilihat, didengar atau dicurigai (telah dibunuh secara khusus untuk seseorang).”

Sang Buddha bersabda bahwa seorang bhikkhu harus mudah disokong. Jika seorang bhikkhu menolak untuk memakan jenis makanan tertentu (baik daging maupun sayuran) maka dia tidak mudah disokong. Berbagai Alasan Sang Buddha Mengijinkan Makan Daging

Tidak Ada Kamma Langsung dari Pembunuhan
Sang Buddha berkata: “Ikan dan daging sepenuhnya murni (parisuddha) ….” [7] artinya tidak ada kamma langsung [8] (perbuatan yang disertai kehendak) dari pembunuhan jika binatang itu tidak dilihat, didengar atau dicurigai telah dibunuh secara khusus untuk seseorang.

Tanpa tiga kondisi ini, ada unsur kamma tak bajik dan, oleh karenanya, daging jenis itu tidak diijinkan. Walaupun Sang Buddha mengijinkan makan daging, Beliau berkata di AN 4.261 bahwa kita menciptakan kamma tak bajik jika kita secara langsung mendorong terjadinya pembunuhan, menyetujui dan berbicara dengan bangga akan hal itu. Karena itu di AN 5.177 Sang Buddha berkata bahwa seorang umat awam tidak boleh berdagang daging, yang dijelaskan di kitab komentar sebagai pengembangbiakan dan menjual babi, ternak, ayam dan lain sebagainya untuk disembelih. Demikian pula, tidak diijinkan untuk memesan, misalnya sepuluh ekor ayam untuk keesokan harinya jika sejumlah binatang tersebut dimaksudkan disembelih untuk seseorang.

Vegetarian Tidak Cocok dengan Cara Hidup Para Bhikkhu Buddhis
Seorang bhikkhu seyogianya pergi meminta sedekah (mengemis) untuk makanannya kecuali dia
(i) diundang untuk bersantap,
(ii) makanan itu dibawa ke Vihara, atau
(iii) makanan itu dimasak di Vihara.

Dia tidak diijinkan untuk memasak makanan, menyimpan makanan untuk keesokan harinya, atau melibatkan diri dalam kegiatan bercocok tanam untuk menyokong dirinya sendiri. Dengan begitu, mengemis adalah salah satu dari dasar /landasan dari cara hidup para bhikkhu Buddhis.

Hal ini dapat dilihat di suatu negara Buddhis (misalnya Thailand) dimana seorang bhikkhu mempunyai kebebasan dan dukungan untuk sepenuhnya berlatih sesuai dengan ajaran Sang Buddha. Di sana kita melihat bukan hanya para bhikkhu tradisi kehutanan yang pergi meminta sedekah tetapi juga para bhikkhu dari kota kecil dan besar mengemis makanan setiap hari. Karena seorang pengemis tidak pantas memilih-milih, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, vegetarianisme tidak cocok dengan cara hidup para bhikkhu Buddhis - - yang mungkin merupakan alasan lain mengapa Sang Buddha menolak permintaan Devadatta seperti yang disebutkan sebelumnya.

Argumentasi Permintaan dan Penyediaan
Beberapa orang beragumen bahwa walaupun dengan tiga kondisi yang disebutkan sebelumnya, seseorang pantas dicela karena makan daging menyebabkan adanya permintaan yang harus diimbangi dengan penyediaan dengan pembunuhan binatang. Dengan kata lain, makan daging dalam keadaan apapun mendorong pembunuhan binatang.

Kita harus paham bahwa ada dua jenis sebab dan akibat :
(i) sebab dan akibat duniawi, di mana kehendak tidak dilibatkan, dan
(ii)kamma-vipaka Buddhis, atau tindakan yang disertai kehendak/kesengajaan dan akibatnya.

Makan daging yang diijinkan dengan tiga kondisi melibatkan hanya sebab dan akibat duniawi, dan tidak ada kamma dari membunuh. Makan daging yang tidak diijinkan melibatkan kamma tak bajik dan, karenanya, juga vipakanya. Oleh karena itu, makan daging harus dibagi dengan jelas menjadi dua bagian.

Argumentasi permintaan dan penyediaan tidaklah berlaku. Di bumi ini, sejumlah besar manusia [9] dan binatang-binatang yang tidak terhitung jumlahnya terbunuh oleh kendaraan bermotor setiap hari. Hanya dengan mengendarai kendaraan atau bahkan duduk di atasnya, kita mendorong industri motor untuk membuat lebih banyak kendaraan bermotor. Jika kita menggunakan argumentasi permintaan dan penyediaan, maka hanya dengan menggunakan kendaraan bermotor kita mendukung pembunuhan binatang-binatang yang tak terhitung jumlahnya dan sejumlah besar manusia di jalanan setiap hari - - yang lebih buruk daripada makan daging!

Memang benar bahwa kita secara tidak langsung terlibat dalam pembunuhan binatang-binatang tetapi, seperti yang dijelaskan sebelumnya, tidak ada kamma-vipaka dari membunuh. Keterlibatan tidak langsung dalam pembunuhan adalah benar, jika kita makan daging maupun tidak, dan merupakan sesuatu yang tidak terelakkan. Kita akan mendiskusikannya dibawah.

Vegetarianisme juga Mendorong Pembunuhan.
Kita mendorong pembunuhan walau sekalipun kita berpola makan vegetarian. Setiap hari monyet, tupai, rubah, kumbang, dan hama perusak lainnya dibunuh karena mereka makan dari pohon buah yang ditanam petani. Petani sayuran juga membunuh ulat bulu, keong, cacing, belalang, semut, dan serangga lainnya, dll.. Seperti di Australia contohnya, kangguru dan kelinci dibunuh setiap hari karena mereka memakan hasil panen.

Banyak barang yang umumnya dimanfaatkan setiap orang dengan mengorbankan nyawa berbagai makhluk hidup. Sebagai contoh, sutera dibuat dengan pengorbanan ulat sutera yang tidak terhitung jumlahnya, dan lapisan lak putih [10] dari serangga lak yang tidak terhitung jumlahnya.

Kosmetik mengandung sejumlah besar unsur pokok hewani. Banyak zat tambahan makanan, seperti: pewarna, penyedap, pemanis, juga menggunakan unsur pokok hewani. Produk keju menggunakan dadih susu yang diekstrak dari perut anak sapi untuk mengentalkan susu.

Produk kulit dan bulu tentunya terbuat dari kulit binatang yang dibunuh untuk tujuan ini. Film fotografis menggunakan gelatin yang diperoleh dengan mendidihkan kulit, urat daging dan tulang dari binatang. Bahkan pupuk untuk sayur-sayuran dan pohon buah sering menggunakan tulang ikan kering yang digiling, dan sisa potongan ikan lainnya. Penggunaan susu sapi dan madu juga melibatkan banyak kekejaman terhadap binatang dan serangga terkait.

Semua ini menunjukkan bahwa sungguh sulit untuk tidak terlibat dalam satu cara atau yang lain dalam kekejaman yang terjadi pada binatang-binatang.

Catatan:
[1] Dengan pengecualian dari sepuluh jenis daging yang dilarang untuk para bhikkhu: manusia, gajah, kuda, anjing, hyena, ular, beruang, singa, harimau, dan macan tutul. Rujuklah pada Mahavagga, Book of the Discipline: Buku 4, halaman 298 s.d. 300. The Book of Discipline adalah terjemahan berbahasa Inggris dari kitab Vinaya (dalam Bahasa Pāḷi) oleh Pāḷi Text Society, Inggris.
[2] Halaman 298 s.d. 300
[3] Halaman 281
[4] Halaman 98
[5] Halaman 36 s.d. 38
[6] Halaman 276 s.d. 277v
[7] Buku Kedisiplinan: Buku 5, halaman 276 s.d. 277
[8] Baca “Only We Can Help Ourselves” oleh pengarang tentang penjelasan dari kamma. [Telah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia dan dipublikasikan oleh DPD Patria Sumut]
[9] Dua ribu setiap hari menurut laporan surat kabar.
[10] Lak digunakan untuk memproduksi banyak produk, termasuk makanan.
Share:

0 Komentar:

Posting Komentar