Sabtu, 09 Februari 2013

Milinda Panha Bab X Pemecah Dilema Bagian 3

 on  with No comments 
In ,  
  1. Dhamma-lah yang Terbaik
    “Dikatakan oleh Sang Buddha, ‘Dhamma-lah, O Vasettha, yang terbaik di dunia ini.’[1] Tetapi Anda mengatakan bahwa seorang umat awam yang saleh yang telah mencapai tingkat Pemasuk-Arus harus menghormat kepada seorang samanera, meskipun samanera itu belum mencapai tingkat spiritual yang sedemikian. Jika memang Dhamma yang terbaik, maka kebiasaan seperti itu tidaklah tepat.”

    “O baginda, ada alasan di balik kebiasaan itu. Ada dua puluh sifat kepribadian dan dua tanda luar yang membuat seorang samanera patut dihormati:
    1. Dia bersuka cita di dalam Dhamma yang luar biasa,
    2. Dia mempunyai pengendalian diri yang paling tinggi,
    3. Dia mempunyai perilaku yang baik, karena cara hidupnya (mengumpulkan dana makanan),
    4. Dia tidak minum minuman keras,
    5. Dia mengendalikan inderanya,
    6. Dia sabar,
    7. Dia lembut,
    8. Dia hidup sendiri,
    9. Dia menikmati kesendirian,
    10. Dia bersuka cita di dalam meditasi,
    11. Dia memiliki rasa malu berbuat salah,
    12. Dia memiliki rasa takut berbuat salah,
    13. Dia bersemangat,
    14. Dia tekun,
    15. Dia menjalankan peraturan,
    16. Dia mempelajari kitab suci,
    17. Dia menanyakan maknanya kepada yang mengerti,
    18. Dia bersukacita di dalam nilai-nilai luhur,
    19. Dia tidak berumah dan karena itu terbebas dari kemelekatan duniawi,
    20. Dia melaksanakan peraturan.
    Dan dia mempunyai dua tanda luar- yaitu kepala yang dicukur dan jubah kuning.[2] Di dalam semua praktek dan perkembangan seperti inilah seorang petapa hidup. Dengan berlatih dan mengembangkan nilai-nilai luhur sebagai samanera dia maju menuju tingkat Arahat. Karena itu, ketika melihat samanera yang berkawan dengan mereka yang sangat patut dihormati, maka umat yang saleh berpikir bahwa benar dan pantaslah bila dia menghormat seorang petapa meskipun mungkin petapa itu hanyalah orang biasa yang belum mencapai tingkat kesucian. Apalagi, O baginda, juga karena melihatnya sebagai orang yang mempertahankan tradisi kebiaraan maka umat awam menghormati petapa. Dan jika seorang umat awam mencapai tingkat Arahat, hanya dua tujuan yang menantinya: dia harus masuk Sangha pada hari itu juga, atau dia harus mencapai parinibbana.[3] Benar-benar tak tergoyahkan, O baginda, keadaan meninggalkan kehidupan duniawi. Sungguh hebat dan mulia kondisi untuk masuk ke dalam Sangha Sang Buddha.”

  2. Cinta Kasih Sang Buddha
    “Anda mengatakan bahwa Sang Tathagata melindungi makhluk hidup dari bahaya dan memberkati mereka dengan kebaikan.[4] Akan tetapi ketika Sang Buddha sedang membabarkan Dhamma kepada para bhikkhu tentang perumpamaan api besar yang menyala-nyala,[5] darah panas tersembur dari mulut enam puluh bhikkhu. Dengan pembabaran khotbah itu mereka menjadi celaka dan tidak baik. Jadi pernyataan Anda itu salah.” “Apa yang terjadi pada diri mereka itu disebabkan oleh perbuatan mereka sendiri.” “Tetapi, Nagasena, seandainya saja Sang Tathagata tidak membabarkan khotbah tersebut, apakah mereka akan muntah darah panas?” “Tidak. Pada saat mereka menerima secara salah apa yang dibabarkan, maka api menyala di dalam diri mereka.”

    “Kalau begitu, berarti Sang Tathagata-lah yang menjadi penyebab utama yang menghancurkan mereka. Andaikan ada seekor ular yang masuk ke dalam sarang semut, dan ada orang yang memerlukan tanah datang untuk mengambil tanah. Lalu sebagai akibatnya ular itu mati karena terpendam dan tidak dapat bernafas, tidakkah hal itu berarti bahwa sang ular mati karena ulah orang tersebut?” “Ya, baginda. Tetapi ketika Sang Tathagata membabarkan suatu khotbah, Beliau tidak melakukannya dengan kebencian. Beliau membabarkan dengan keadaan yang sama sekali terbebas dari kedengkian. Mereka yang berlatih dengan benar akan mencapai penerangan, tetapi mereka yang mempraktekkannya dengan salah akan jatuh. Seperti halnya, O baginda, ketika sebatang pohon mangga digoncang, maka buah yang tangkainya kuat akan tetap bertahan tak terganggu, sedangkan yang tangkainya busuk akan jatuh ke tanah.” “Kalau begitu, tidakkah para bhikkhu tersebut jatuh karena khotbah tersebut?” “Dapatkah seorang tukang kayu yang hanya membiarkan kayu tergeletak saja tanpa melakukan apa pun mengharapkan kayu tersebut menjadi lurus dan dapat bermanfaat?” “Tidak, Yang Mulia.”
    “Demikian juga, O baginda, dengan hanya mengamati para murid-Nya saja Sang Tathagata tidak dapat membuka mata mereka yang sudah siap untuk melihat. Tetapi dengan menyingkirkan mereka yang salah menangkap Ajaran maka Beliau menyelamatkan mereka yang sudah siap untuk diselamatkan. Dan karena kesalahan diri sendirilah maka mereka yang berpikiran jahat jatuh.”

  3. Kerendahan Hati Sang Buddha
    “Demikian ini juga telah dikatakan oleh Sang Buddha: ‘Mengendalikan tubuh adalah baik, Baik pula mengendalikan ucapan, Mengendalikan pikiran adalah baik, Baik pula mengendalikan segala hal.’[6] “Tetapi ketika Sang Tathagata duduk di antara empat kelompok [bhikkhu, bhikkhuni, umat awam pria, umat awam wanita] Beliau menunjukkan kepada Brahmana Sela sesuatu yang tidak seharusnya dipertontonkan di depan umum, yaitu alat kelamin pria yang tersembunyi di balik selaput tipis.[7] Jika Beliau melakukan hal itu, berarti pernyataan yang pertama tersebut salah.” “Sang Buddha memang menunjukkan kepada Sela si Brahmana sesuatu yang tidak seharusnya dipertontonkan di depan umum, tetapi hal itu Beliau lakukan dengan kekuatan supra-normal di dalam bentuk bayangan dan hanya Sela yang dapat melihatnya. Kepada Sela yang masih ragu terhadap Sang Tathagata, Sang Guru menunjukkan gambar alat kelamin pria yang tersembunyi di balik selaput tipis tersebut dengan kekuatan supra-normal untuk menyadarkannya tentang kebenaran. Sang Tathagata, O baginda, sangat terampil di dalam hal sarana. Untuk mencemooh kecantikan jasmani, Sang Guru membawa Yang Mulia Nanda ke alam dewa untuk melihat wanita-wanita cantik yang ada di sana.[8] Dan dengan sehelai kain putih Beliau membuat Yang Mulia Culapanthaka tersadar akan kekotoran tubuh.”[9]

  4. Ucapan Sang Buddha yang Sempurna
    “Yang Mulia Sariputta siswa utama Sang Buddha berkata, ‘Sang Tathagata itu sempurna dalam berkata-kata. Tidak ada kesalahan di dalam ucapan Sang Tathagata. Mengenai ucapanNya, Beliau tidak perlu harus berhati-hati dengan tujuan agar orang lain tak akan melihat kesalahannya.’[10] Jadi mengapa Sang Buddha menggunakan kata-kata yang kasar dan menyakitkan hati terhadap Sudinna si Kalanda dan menyebutnya orang yang bodoh?” [11]

    “Itu bukan karena kekasaran, O baginda, melainkan semata-mata untuk menunjukkan kepadanya, dengan cara yang tidak merugikan, tentang perilakunya yang tolol dan rendah. Jika orang di dalam kelahiran ini tidak dapat mencapai pemahaman tentang Empat Kesunyataan Mulia, maka hidupnya sia-sia belaka. Sang Buddha menggunakan kata-kata kebenaran, dan bukannya melebih-lebihkan. Beliau mengingatkan orang lain semata-mata untuk menghancurkan penyakit ketidakbajikan. Kata-kata Beliau, meskipun dengan, nada yang keras, melunakkan kesombongan orang dan membuat mereka rendah hati. Kata-kata Beliau penuh dengan kasih sayang dan dimaksudkan agar bermanfaat. Sama seperti kata-kata seorang ayah kepada anak-anaknya.”

  5. Pohon yang Berbicara
    “Sang Tathagata berkata: ‘Brahmana! Mengapa engkau bertanya, pada benda yang tak sadar yang tidak dapat mendengarmu ini, bagaimana keadaannya hari ini? Engkau yang aktif, pandai dan penuh semangat, bagaimana kamu dapat berbicara kepada benda yang tidak mempunyai indera, pada pohon Palasa liar ini?’ [12] “Tetapi pada kesempatan lain Sang Tathagata berkata: ‘Dan kemudian pohon aspen tersebut menjawab, ‘Aku’, Bharadvaja, dapat berbicara juga. Dengarkanlah aku.’ [13] “Nagasena, jika sebatang pohon merupakan sesuatu yang tidak punya kesadaran, maka pernyataan yang kedua ini pasti salah.”

    “Ketika Sang Buddha menyebut ‘pohon aspen’, itu hanyalah cara berbicara konvensional, karena meskipun sebatang pohon adalah sesuatu yang tidak sadar dan tidak bisa berbicara, kata ‘pohon’ itu ditujukan bagi dewa yang bertempat tinggal di situ. Dan ini adalah suatu konvensi yang sudah banyak dikenal. Seperti halnya, O baginda, sebuah kereta yang penuh jagung disebut ‘kereta-jagung’ meskipun kereta tersebut terbuat dari kayu, bukan dari jagung. Sang Tathagata, ketika membabarkan Dhamma, menggunakan juga alat bantu cara percakapan sehari-hari.”

  6. Santapan Terakhir
    “Dikatakan oleh para sesepuh yang berkumpul pada Konsili Buddhis Pertama, ‘Setelah makan makanan yang dipersembahkan oleh Cunda si tukang besi, demikian yang telah saya dengar, Sang Buddha merasakan kesakitan yang hebat, rasa sakit yang tajam, bahkan sampai wafatnya.’[14] Tetapi Sang Buddha juga berkata, ‘Dua persembahan makanan ini, Ananda, mempunyai jasa kebajikan yang setara dan jauh melebihi makanan lain: yaitu makanan yang sesudah dimakan kemudian Sang Tathagata mencapai Pencerahan Sempurna; dan makanan yang sesudah dimakan kemudian Sang Tathagata mencapai parinibbana.’ [15]

    “Tetapi jika rasa sakit yang amat sangat itu menimpanya setelah makan persembahan makanan terakhir itu, maka pernyataan yang terakhir itu pasti salah.” “Persembahan makanan yang terakhir itu besar manfaatnya karena Sang Tathagata lalu mencapai Parinibbana. Bukan karena makanan itu maka Sang Buddha jatuh sakit, melainkan karena tubuhnya sangat lemah dan karena dekat dengan waktu mangkatnya. Dua persembahan makanan ini merupakan jasa yang besar dan tidak tertandingi karena Sang Buddha mencapai sembilan tingkat jhana berturut-turut, dengan urutan maju dan mundur, yang terjadi setelah Sang Tathagata makan makanan tersebut.”

  7. Pemujaan terhadap Relik
    “Sang Buddha berkata, ‘Jangan menghalangi dirimu sendiri, Ananda, dengan menghormati apa yang tersisa dari ‘Sang Tathagata.’[16] Tetapi pada kesempatan lain Beliau berkata, ‘Hormatilah relik dari mereka yang patut dihormati. Dengan bertindak demikian engkau akan pergi dari dunia ini ke surga.’[17] Pernyataan manakah yang benar?”

    “Nasehat pertama tidak diberikan kepada semua orang, O baginda, melainkan hanya kepada para siswa Sang Penakluk [para bhikkhu]. Menghormati relik bukanlah tugas mereka. Memahami sifat hakiki semua bentukan, menggunakan penalaran [memperhatikan ketidakkekalan dll.], meditasi pandangan terang, memegang inti objek meditasi, memberikan pengabdian kepada kesejahteraan spiritual, itulah tugas-tugas bhikkhu. Seperti halnya, O baginda, adalah urusan para pangeran untuk belajar seni perang dan hukum wilayah; sedangkan beternak, berdagang dan mengurus ternak merupakan urusan perumah tangga.”

  8. Kaki Sang Buddha Terluka
    “Anda berkata bila Sang Buddha berjalan, maka bumi ini -meskipun tidak memiliki kesadaran- mengisi lubang-lubang; yang kosong dan meratakan tanah yang akan Beliau pijak.[18] Akan tetapi Anda mengatakan bahwa ada pecahan batu karang yang melukai kaki-Nya.[19] Mengapa pecahan batu tersebut tidak minggir dari kaki-Nya?” “O baginda, pecahan batu itu tidak jatuh dengan sendirinya. Ada batu karang yang dilemparkan oleh Devadatta. Lalu dua batu karang bersatu untuk menghentikannya, tetapi ada pecahan yang melesat dan melukai kaki Sang Buddha. Sesuatu yang dihentikan dapat dengan mudah melesat, seperti halnya air yang ditampung di dua tangan dapat dengan mudah mengalir melalui jari-jari.”

  9. Petapa Sejati
    “Sang Buddha berkata, ‘Orang menjadi petapa dengan cara menghancurkan banjir [nafsu indera, keinginan untuk lahir kembali, kepercayaan adanya diri, dan kebodohan].’[20] Tetapi Beliau juga berkata, ‘Orang dikenal di dunia sebagai petapa bila mempunyai empat sifat ini: sabar, sederhana di dalam hal makan, bersifat melepas, dan bebas dari kepemilikan.’[21] Nah, keempat sifat ini juga terdapat pada orang-orang yang belum sempurna, pada orang-orang yang akar kekotoran batinnya belum seluruhnya tercabut. Ini juga merupakan masalah yang bersisi dua.” “Kedua pernyataan ini, O baginda, memang dibuat oleh Sang Buddha. Tetapi yang pertama adalah pernyataan dengan pengertian khusus, sedangkan yang kedua dikatakan tentang ciri-ciri petapa secara umum.”

  10. Kesombongan Sang Buddha
    “Sang Buddha berkata, ‘Jika ada seseorang yang memuji Aku, ajaranKu atau Sangha, kalian tidak boleh menjadi sangat gembira karena pujian itu.’[22] Tetapi, begitu gembiranya Beliau! ketika Sela si Brahmana memujinya sehingga Beliau membesar-besarkan nilai-nilai luhurnya sendiri dan berkata, ‘Aku, Sela, adalah seorang raja, raja dengan kebenaran tertinggi. Roda kereta kebenaran yang agung telah kuputar- roda yang tidak akan dapat diputar balik oleh siapa pun.’[23] Ini juga, merupakan masalah bersisi dua.”

    “Kedua pernyataan itu, O baginda, betul adanya. Tetapi pernyataan yang pertama dibuat untuk menegaskan dan menjelaskan dengan pasti sifat hakiki ajaran-Nya. Yang kedua tidak dikatakan untuk memperoleh keuntungan, atau kemasyhuran. Juga tidak diucapkan dengan cara yang tidak objektif, atau untuk memperoleh pengikut. Itu dikatakan dengar penuh welas asih dan merupakan pengetahuan yang menyebabkan tiga ratus brahmana mencapai pengetahuan tentang kebenaran.”

  11. Siapakah yang Patut Dihukum?
    “Sang Buddha berkata, ‘Janganlah melukai siapa pun, hiduplah di dunia ini dengan penuh cinta kasih dan kebajikan.’ [24] Tetapi Beliau juga berkata, ‘Kendalikanlah orang yang patut dikendalikan dan doronglah orang yang patut didorong.’[25] Nah, mengendalikan berarti memotong tangan dan kaki memasukkan ke dalam penjara, dan sebagainya. Jika pernyataan yang pertama itu benar, maka yang kedua tidak mungkin benar.”

    “O baginda, tidak melukai siapa pun adalah ajaran semua Buddha. Akan tetapi, yang kedua ini digunakan secara kiasan. Hal itu berarti mengendalikan pikiran yang resah, menyemangati pikiran yang malas; mengendalikan pikiran yang jahat, mendorong pikiran yang bajik; mengendalikan perenungan yang tidak bijaksana, mendorong perenungan yang bijaksana; mengendalikan latihan yang salah, mendorong latihan yang benar; yang tidak mulia harus dikendalikan, yang mulia harus didorong; si pencuri [bhikkhu yang menginginkan kemasyhuran, pujian dan keuntungan] harus dikendalikan, dan orang yang jujur [bhikkhu yang tulus, yang semata-mata berkeinginan untuk menyingkirkan kegelapan batin] harus didorong:” “Sekarang Anda telah sampai pada inti permasalahanku. Lalu Nagasena, bagaimana seorang perampok harus diatasi?”

    “Begini, O baginda; jika patut dimarahi maka biarlah dia dimarahi; jika patut didenda biarlah dia didenda; jika patut diasingkan maka biariah dia diasingkan; jika patut dihukum mati maka biarlah dia dihukum mati.” “Kalau begitu, Nagasena, apakah hukuman mati para perampok menjadi salah satu bagian dari ajaran yang dibabarkan oleh Sang Tathagata?” “Tentu saja tidak, O baginda. Siapa pun yang dihukum mati, tidaklah menderita hukuman mati karena pendapat yang telah diberikan oleh Sang Tathagata. Dia menderita karena perbuatan yang telah dilakukannya sendiri.”[26]

  12. Mengusir Sangha
    ‘Telah dikatakan oleh Sang Buddha. ‘Aku tidak mempunyai kemarahan atau pun kekesalan hati’.[27] Tetapi Beliau mengusir Yang Mulia Sariputta dan Yang Mulia Moggallana beserta siswa-siswa mereka.’[28] Tidakkah dengan kemarahan Beliau melakukan hal itu?” “Sang Tathagata memang mengusir para bhikkhu, tetapi tidak dengan kemarahan. Karena perbuatan yang telah mereka lakukan sendirilah maka mereka diusir. Sama halnya seperti bumi ini tidak merasa marah bila ada yang tersandung dan jatuh. Adalah kesalahan orang itu sendiri maka dia jatuh. Demikian juga Sang Buddha tidak memiliki niat jahat apa pun juga. Beliau menyuruh mereka pergi karena mengetahui, ‘Itu demi kebaikan, kebahagiaan, pemurnian dan pembebasan mereka dari penderitaan.’”
Catatan:
[1]. D. iii. 93.
[2]. Lihat Kutipan.
[3]. Tidak terlacak, lihat juga Dilema 62.
[4]. Tidak terlacak, tetapi bandingkan A. i. 20.
[5]. A. iv 128-135
[6]. S. i. 73; Dhp. syair 361
[7]. M. ii. Sta. 92; Sn. 103. Ini mengacu pada salah satu dari tanda-tanda seorang Buddha yang diramalkan oleh astrologi. Karena tidak dapat melihatnya, Sela tetap dalam keraguan.
[8]. Ja. ii. 92-94.
[9]. Ja. i. 116 dst.
[10]. D. iii. 217.
[11]. Vin. iii. 20. Sudinna adalah seorang bhikkhu yang menyebabkan peraturan tentang hubungan seksual diberikan. Dia dibujuk oleh istrinya untuk melanjutkan garis keluarga. Dengan suatu catatan, karena dia adalah pelanggar pertama, dia diizinkan untuk tetap menjadi bhikkhu setelah pelanggaran tersebut.
[12]. Ja. iii. 24.
[13]. Ja. iv. 210.
[14]. D. ii. 128.
[15]. D. ii. 135.
[16]. D. ii. 141.
[17]. Vv. 75 syair 8.
[18]. Tidak terlacak, tetapi bandingkan DA. 45.
[19]. Vin. ii. 193.
[20]. A. ii. 238, Pug. 63.
[21]. Ku. 5 hal. 204 Jataka, Teks Burma.
[22]. D. i. 3; bandingkan M. i. 140.
[23]. M. ii. Sta. 92; Sn. syair 554
[24]. Ja. iv. 71 syair 9.
[25]. Ja. syair 116.
[26]. Hukuman negara adalah norma dan hukuman fisik yang berat juga dipraktekkan pada zaman Sang Buddha.
[27]. Sn. syair 19.
[28]. M. ii. Sta. 67.
Share:

0 Komentar:

Posting Komentar