Sabtu, 09 Februari 2013

Milinda Panha Bab V Sang Buddha

 on  with No comments 
In ,  
  1. Pernahkan Anda atau guru-guru Anda melihat Sang Buddha?” “Belum, baginda.” “Kalau begitu, Nagasena, tidak ada Buddha!” “Tetapi apakah baginda dan ayah baginda sudah pernah melihat sungai Uha[1] di Himalaya?” “Belum, Yang Mulia.” “Kalau begitu, tepatkah kalau dikatakan bahwa sungai Uha itu tidak ada?” “Nagasena, Anda sangat cerdik menjawab.”

  2. “Apakah Sang Buddha tidak ada bandingnya?” “Betul, Beliau tidak terbandingkan.” “Tetapi bagaimana Anda dapat berkata demikian, jika Anda belum pernah bertemu Beliau?” “Sama seperti orang yang belum pernah melihat samudera dapat mengetahui betapa luasnya samudera itu karena lima sungai besar mengalir ke dalamnya tetapi permukaan airnya tidak naik; demikian juga saya tahu betapa tidak terbandingkannya Sang Buddha bila saya memikirkan guru-guru besar yang telah saya temui, yang hanya merupakan siswa Sang Buddha.”

  3. “Apakah orang lain dapat mengetahui bahwa Sang Buddha tidak ada bandingnya?” “Ya, tentu saja.” “Bagaimana caranya?” “Di zaman dahulu hidup Tissa Thera,[2] seorang yang ahli dalam tulis-menulis. Bagaimana orang dapat mengetahui tentang beliau?” “Dari tulisannya.” “Demikian pula halnya, baginda, siapa pun yang melihat Dhamma yang telah diajarkan oleh Sang Buddha dapat mengetahui betapa tidak terbandingkannya Sang Buddha itu.”

  4. “Sudahkah Anda, Nagasena, melihat apa kebenaran itu?” “Kami, para siswa, O baginda, harus menjalani hidup kami sesuai dengan peraturan kebhikkhuan yang telah diberikan oleh Sang Buddha.”[3]

  5. “Apakah mungkin ada kelahiran kembali tanpa adanya transmigrasi (perpindahan)?” “Ya, mungkin saja. Sama seperti orang dapat menyalakan lampu minyaknya dari nyala lampu minyak yang lain tanpa ada yang berpindah dari satu lampu ke lampu yang lain; atau seperti seorang murid dapat menghafal sebuah syair dari gurunya tanpa syair itu berpindah dari guru ke muridnya.”

  6. Lalu Milinda bertanya lagi, “Apakah ada sesuatu semacam ‘Sang Yang Mengetahui’ (vedagu)?” “Tidak dalam arti yang sebenar-benarnya.”[4]

  7. “Apakah ada makhluk yang berpindah dari satu tubuh ke tubuh yang lain?” “Tidak, tidak ada.” “Jika begitu, apakah tidak ada cara untuk lolos dari akibat perbuatan jahat?” “Ya, ada cara untuk lolos seandainya mereka tidak terlahir kembali, tetapi jika terlahir kembali maka tidak akan ada cara untuk lolos. Proses batin dan jasmani ini menghasilkan perbuatan -baik yang suci maupun yang tidak suci- dan karena karma tersebut maka proses batin dan jasmani lainnya terlahir lagi. Karena itulah batin dan jasmani ini tidak terbebas dari perbuatan jahatnya.”

    “Berikanlah ilustrasi.” “Jika seorang pencuri mencuri mangga orang lain, apakah dia patut dihukum?” “Tentu saja.” “Tetapi mangga yang dicurinya tidak sama dengan mangga yang dulu ditanam oleh si pemilik; mengapa dia patut dihukum?” “Karena mangga yang dicuri itu berasal dari mangga yang ditanam orang itu.” “Demikianlah juga, O baginda, proses batin dan jasmani ini melakukan perbuatan -baik yang suci maupun yang tidak suci- dan oleh karena karma tersebut maka proses batin dan jasmani lainnya terlahir lagi. Karena itulah maka batin dan jasmani ini tidak terbebas dari perbuatan jahatnya.”

  8. “Setelah perbuatan dilakukan oleh satu proses batin dan jasmani, di mana perbuatan itu berada?” “Perbuatan tersebut mengikuti batin dan jasmani itu, O baginda, seperti bayang-bayang yang tidak pernah pergi. Namun orang tidak dapat menunjuk perbuatan-perbuatan itu dan berkata, ‘Perbuatan-perbuatan itu di sini atau di sana’, sama seperti buah dari sebatang pohon tidak akan dapat ditunjukkan sebelum buah itu muncul.”

  9. “Apakah orang yang akan terlahir kembali mengetahui hal ini?” “Ya, dia tahu. Sama seperti seorang petani yang menanam benih di tanah, setelah melihat bahwa hujan cukup banyak, dia tahu bahwa panen akan tiba.”[5]

  10. “Apakah Buddha ada?” “Ya.” “Apakah Beliau dapat ditunjukkan berada di sini atau di sana?” “Sang Buddha telah meninggal dunia dan tidak ada yang tersisa untuk membentuk individu lain. Beliau tidak dapat ditunjukkan berada di sini atau di sana, sama seperti nyala api yang telah padam tidak dapat dikatakan berada di sini atau di sana. Tetapi sejarah keberadaannya[6] dapat dikenali dari Ajaran[7] yang telah dibabarkan oleh-Nya.”
Catatan:
[1]. Hulu sungai Gangga.
[2]. Mungkin mengacu pada Moggalliputta Tissa Thera, pencetus Konsili Ketiga dan pengarang Kitab Kathavatthu, ‘Pokok-pokok Kontroversi’.
[3]. Ada peraturan latihan (Pacittiya no. 8) bahwa bhikkhu tidak diperkenankan menceritakan tingkat pencapaian spiritualnya.
[4]. Ada dua tingkat kebenaran: kebenaran konvensional dan kebenaran tertinggi. Menurut kebenaran konvensional, adalah salah bila dikatakan ‘manusia’ itu tidak ada. Tetapi menurut kebenaran tertinggi hal itu justru benar. Pada realitasnya, yang ada hanyalah suatu aliran batin dan jasmani yang terus-menerus berubah, namun secara salah kita menganggap proses itu ‘manusia’. (Komentar penerjemah)
[5]. Bandingkan dengan Pertanyaan no. 2 di hal. 19.
[6]. Seperti juga keberadaan para Buddha yang akan datang.
[7]. Dhammakaya.
Share:

0 Komentar:

Posting Komentar