Minggu, 10 Februari 2013

Milinda Panha - Prolog

 on  with No comments 
In ,  
Prolog

Di kota Sagala bertahta Raja Milinda, orang yang sangat pandai dalam bidang seni dan ilmu pengetahuan, dengan sifatnya yang sangat ingin tahu. Dia pandai berdebat tetapi selama itu tak seorang pun mampu menghapus keraguannya mengenai persoalan keagamaan. Raja telah menanyai guru-guru terkenal tetapi tak satu pun yang memuaskan hatinya.

Assagutta, salah satu dari sekian banyak Arahat yang hidup di pegunungan Himalaya, dengan kekuatan super-normalnya mengetahui keraguan raja. Maka dia lalu mengadakan pertemuan untuk bertanya apakah ada orang yang dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan raja. Karena tak ada yang sanggup, maka mereka semua naik ke Surga Tiga Puluh Tiga dan memohon pada Dewa Mahasena agar lahir sebagai manusia sehingga agama dapat terlindungi. Salah satu bhikkhu yang bernama Rohana setuju pergi ke Kajangala di mana Mahasena telah lahir kembali dan menungguinya sampai besar. Ayah si anak, Brahmana Sonuttara, menyuruh agar anaknya mempelajari tiga Kitab Veda, tetapi si anak, Nagasena, menyatakan:

“Ketiga kitab Veda ini kosong, dan bagaikan sekam!
Di dalamnya tak ada realita, kebenaran yang penting atau
berharga.”

Menyadari bahwa anak ini telah siap, Rohana lalu muncul. Kedua orang tua Nagasena menyetujui anaknya menjadi samanera. Maka Nagasena mempelajari Abhidhamma. Setelah menguasai dengan sempurna pengetahuan tentang tujuh buku Abhidhamma, Nagasena diizinkan masuk ke Sangha para bhikkhu dan Rohana mengirimnya ke Petapaan Vattaniya untuk belajar dari Assagutta. Sementara menghabiskan musim penghujan di sana, Nagasena diminta berkhotbah pada seorang wanita saleh yang merupakan pendukung Assagutta. Sebagai hasil dari percakapan ini, baik si wanita maupun Nagasena mencapai dhammacakkhu: pengetahuan bahwa apa pun yang mempunyai awal juga pasti bersifat mempunyai akhir. Assagutta kemudian mengirim Nagasena kepada Dhammarakkhita di Taman Asoka di Pataliputta.

Di sana, dalam waktu tiga bulan, Nagasena telah menguasai kitab-kitab Tipitaka lainnya. Dhammarakkhita mengingatkan muridnya agar tidak hanya puas dengan pengetahuan dari buku saja. Pada malam hari itu juga, Nagasena -si murid yang rajin itu- mencapai tingkat Arahat. Kemudian dia pergi bergabung dengan para Arahat lainnya yang masih tinggal di Himalaya. Setelah menyelesaikan pendidikannya, Nagasena siap untuk berdebat dengan siapa pun.

Sementara itu, Raja Milinda terus melanjutkan pencaharian spritualnya dengan cara mengunjungi bhikkhu Ayupala di Petapaan Samkheyya dan bertanya mengapa para bhikkhu meninggalkan kehidupan duniawi. Bhikkhu itu menjawab, “Agar dapat hidup dengan benar dan berada dalam ketenangan spiritual.” Lalu raja pun bertanya, “Adakah, Yang Mulia, orang awam yang hidup sedemikian itu?” Sang bhikkhu mengakui bahwa banyak orang awam seperti itu. Maka raja pun berkata dengan pedas:
“Kalau begitu, Yang Mulia Ayupala, tidak ada gunanya meninggalkan kehidupan duniawi. Pastilah karena dosa-dosa yang telah dilakukan di dalam kehidupan sebelumnya maka para petapa meninggalkan kehidupan duniawi, dan bahkan menjalani juga praktek-praktek penyiksaan petapa seperti misalnya: hanya mengenakan pakaian dari kain buruk, makan hanya sekali sehari, atau tidak tidur berbaring. Di situ tidak ada nilai-nilai luhur, tidak ada pantangan yang bermanfaat, tidak ada kehidupan yang benar!”

Setelah raja berkata demikian, Bhikkhu Ayupala terdiam dan tidak berkata apa pun. Lalu lima ratus orang Yunani Bactria yang menemani raja berkata: “Sang bhikkhu itu terpelajar tetapi dia tidak berani, jadi dia tidak menjawab.” Mendengar ini, raja berseru: “Seluruh India ini kosong, bagai sekam! Tidak ada orang yang mampu berdebat denganku dan mampu mengusir keraguanku!”

Tetapi orang-orang Yunani Bactria masih tidak bergerak, maka raja pun bertanya lagi, “Hai para pengawalku yang setia, adakah orang terpelajar lain yang mampu berdiskusi denganku dan dapat mengusir keraguanku?”

Maka menteri Devamantiya berkata, “Ada, baginda yang agung, seorang bhikkhu bernama Nagasena yang terpelajar, bersifat tenang namun penuh dengan keberanian. Beliau mampu berdiskusi dengan baginda. Sekarang ini beliau tinggal di Petapaan Samkheyya. Baginda harus pergi ke sana dan mengajukan pertanyaan kepadanya.” Pada waktu nama ‘Nagasena’ disebut, raja menjadi gelisah dan bulu romanya berdiri. Kemudian raja mengirimkan utusan ke sana untuk memberitahukan kedatangannya. Diiringi lima ratus orang Yunani Bactria, raja menaiki kereta kencananya dan pergi menuju tempat tinggal Nagasena.
Share:

0 Komentar:

Posting Komentar