Sabtu, 09 Februari 2013

Milinda Panha Bab IX Pemecah Dilema Bagian 2

 on  with No comments 
In ,  
  1. Peraturan yang Minor dan Tidak Begitu Penting
    “Telah dikatakan oleh Sang Buddha, ‘O bhikkhu, dari pengetahuan yang lebih tinggilah aku mengajarkan Dhamma.’[1] Tetapi Beliau juga berkata: ‘Setelah aku tidak ada lagi, Ananda, bila diinginkan oleh Sangha, biarlah Sangha menghapus peraturan yang minor dan tidak begitu penting.’[2] Apakah itu berarti bahwa peraturan-peraturan itu ditetapkan secara salah dan tanpa sebab yang tepat?” “O baginda, ketika Sang Buddha berkata, ‘Biarlah Sangha menghapus peraturan yang minor dan tidak begitu penting’, itu dikatakan untuk menguji para bhikkhu. Seperti halnya seorang raja ketika akan mangkat akan menguji putra-putranya dengan berkata: ‘Daerah-daerah di luar kerajaanku akan terancam bahaya keruntuhan setelah aku mangkat.’ Nah, setelah ayahandanya mangkat, apakah para putra raja itu akan mau begitu saja kehilangan daerah-daerah di luar kerajaan?” “Tentu saja tidak, Yang Mulia. Para raja mempunyai keinginan menguasai. Karena nafsu akan kekuasaan, para pangeran mungkin justru akan memperluas daerah kekuasaannya dua kali lipat dari apa yang telah mereka miliki. Mereka tidak akan pernah mau begitu saja kehilangan apa yang telah mereka miliki.” “Begitu pula, baginda, karena semangat Dhamma, para siswa Sang Buddha mungkin akan mempertahankan bahkan lebih dari seratus lima puluh peraturan,[3] tetapi mereka tidak akan pernah mau begitu saja kehilangan apa yang ditetapkan.” “Yang Mulia Nagasena, ketika Sang Buddha mengacu pada ‘Peraturan yang Minor dan Tidak Begitu Penting’ orang mungkin merasa ragu-ragu, yang mana peraturan dimaksud itu.” “Tindakan yang berkenaan dengan perbuatan-salah[4] merupakan peraturan yang tidak begitu penting, dan ucapan-salah[5] mengacu pada peraturan minor. Para sesepuh yang bertemu dalam Konsili Buddhis Pertama juga tidak satu pendapat mengenai hal ini.”

  2. Ajaran Rahasia
    “Sang Buddha berkata kepada Ananda, ‘Sehubungan dengan Dhamma, Sang Tathagata bukanlah seorang guru yang merahasiakan sesuatu di dalam genggamannya sendiri.’[6] Tetapi ketika Beliau ditanya oleh Malunkyaputta, Beliau tidak menjawab.[7] Apakah Beliau tidak menjawab karena ketidaktahuan, ataukah Beliau hendak menyembunyikan sesuatu?” “O baginda, bukan karena ketidaktahuan dan juga bukan karena ingin menyembunyikan sesuatu maka Beliau tidak menjawab. Suatu pertanyaan dapat dijawab dengan satu dari empat cara:
    1. Secara langsung,
    2. Dengan analisa,
    3. Dengan pertanyaan balik, dan
    4. Dengan mengabaikannya.
    “Pertanyaan macam apa yang harus dijawab secara langsung? ‘Apakah materi itu kekal? Apakah perasaan tubuh itu kekal? Apakah pencerapan itu kekal?’ Pertanyaan-pertanyaan itu harus dijawab secara langsung. “Dan apa yang harus dijawab dengan analisa?” ‘Apakah yang tidak kekal itu materi?’ “Dan apa yang harus dijawab dengan pertanyaan balik?” ‘Apakah mata dapat mencerap segala sesuatu?’ “Dan apa yang harus diabaikan?” ‘Apakah dunia itu abadi? Apakah dunia itu tidak abadi? Apakah Sang Tathagata ada setelah kematian? Apakah Sang Tathagata tidak ada setelah kematian? Apakah jiwa sama dengan tubuh? Apakah tubuh itu satu hal dan jiwa itu hal lain?’ Pada pertanyaan-pertanyaan demikianlah Sang Buddha tidak menjawab Malunkyaputta. Tidak ada alasan untuk menjawabnya. Para Buddha tidak berbicara tanpa alasan.”

  3. Rasa Takut terhadap Kematian
    “Sang Buddha berkata, ‘Semuanya gemetar akan hukuman, semuanya takut akan kematian.’[8] Tetapi Beliau juga berkata, ‘Arahat telah melewati semua rasa takut.’[9] Jadi bagaimana? Apakah para Arahat juga gemetar karena ketakutan akan kematian? Apakah para makhluk di neraka takut akan kematian, padahal lewat kematian itu mereka mungkin akan terbebas dari siksaan?” “O baginda, tidaklah termasuk para Arahat ketika Sang Buddha berkata, ‘Semuanya gemetar akan hukuman, semuanya takut akan, kematian.’ Seorang Arahat merupakan perkecualian dari pernyataan itu karena semua penyebab rasa takut telah dihilangkan olehnya. Misalnya saja, O baginda, seorang raja mempunyai empat menteri utama yang setia dan dapat dipercaya; apakah mereka akan merasa takut bila raja mengeluarkan perintah yang mengatakan, ‘Semua orang daerahku harus membayar pajak’?” ‘Tidak, Nagasena. Mereka tidak akan merasa takut karena pajak tidak berlaku untuk mereka. Mereka berada di luar perpajakan.” “Begitu juga, O baginda, pernyataan, ‘Semuanya gemetar akan hukuman, semuanya takut akan kematian’, tidak berlaku bagi para Arahat karena mereka berada di luar rasa takut akan kematian. Ada lima cara, O baginda, di mana arti suatu pernyataan harus ditegaskan:
    1. Membandingkannya dengan teks yang dikutip;
    2. Melalui ‘selera’, yaitu: apakah sesuai dengan teks-teks lain?;
    3. Apakah sesuai dengan ajaran para guru?;
    4. Setelah menimbang pendapatnya sendiri, yaitu apakah sesuai dengan pengalamanku sendiri?;
    5. Dengan gabungan semua cara itu.”
    “Baiklah, Nagasena, saya menerima bahwa para Arahat merupakan perkecualian bagi pernyataan itu, tetapi tentunya semua makhluk di neraka tak mungkin merasa takut akan kematian karena lewat kematian itu mereka akan terbebas dari siksaan.” “Mereka yang berada di neraka tetap merasa takut akan kematian, O baginda, karena kematian merupakan kondisi di mana mereka yang belum melihat Dhamma merasa takut. Seandainya, O baginda, seorang tawanan yang disekap di ruang bawah tanah harus menghadap raja yang sebenarnya berkehendak akan membebaskannya, apakah tawanan itu merasa takut menghadap raja?” “Ya, dia akan merasa takut.” “Begitu juga, O baginda, semua makhluk di neraka merasa takut akan kematian walaupun mereka akan terbebas dari siksaan.”

  4. Perlindungan dari Kematian
    “Dikatakan oleh Sang Buddha, ‘Tidak di langit, tidak di tengah samudera, tidak di celah gunung yang paling terpencil, tidak di seluruh dunia yang luas ini dapat ditemukan tempat di mana orang dapat lolos dari jerat kematian.”[10] Tetapi sebaliknya, syair perlindungan (Paritta) diberikan oleh Sang Buddha untuk melindungi mereka yang berada di dalam bahaya. Jika tidak ada jalan untuk menghindari kematian maka upacara Paritta itu tidak ada gunanya.” “Syair-syair Paritta, O baginda, dimaksudkan bagi mereka yang masih mempunyai sisa porsi kehidupan. Tidak ada upacara maupun sarana buatan yang dapat memperpanjang kehidupan seseorang yang jangka waktu kehidupannya telah habis.” “Tetapi, Nagasena, jika orang yang faktor-faktor kehidupannya masih ada akan tetap hidup, dan orang yang tidak rnemiliki faktor-faktor itu tadi akan mati, maka baik obat maupun Paritta sama-sama tidak ada gunanya.” “Apakah baginda telah pernah melihat atau mendengar kasus suatu penyakit yang dapat disembuhkan oleh obat?” “Ya, ratusan kali.” “Kalau demikian, pernyataan baginda tentang tidak-mujarabnya Paritta dan obat pastilah salah.” “Yang Mulia Nagasena, apakah Paritta merupakan perlindungan bagi setiap orang?” “Hanya bagi beberapa, bukan bagi setiap orang. Ada tiga alasan di mana Paritta tidak bekerja:
    1. Halangan karena karma masa lalu;
    2. Halangan karena kekotoran batin masa kini, dan
    3. Halangan karena kurangnya keyakinan.
    Paritta yang merupakan perlindungan bagi para makhluk akan kehilangan kekuatannya karena cacat mereka sendiri.”

  5. Kekuatan Mara
    “Walaupun Yang Mulia mengatakan bahwa Sang Tathagata selalu mendapat makanan sewaktu mengumpulkan dana makanan[11] tetapi ketika memasuki desa Pañcasala Beliau tidak menerima apa-apa karena adanya gangguan Mara.[12] Apakah kekuatan Mara lebih besar daripada kekuatan Sang Buddha, ataukah kekuatan perbuatan tercela lebih kuat daripada kekuatan perbuatan bajik?” “Baginda, walaupun apa yang baginda katakan itu benar adanya, tetapi itu belum cukup kuat untuk menegaskan pernyataan baginda. Misalnya saja ada seorang penjaga gerbang di suatu istana kerajaan. Dia mungkin mencegah orang agar tidak membawakan hadiah untuk raja karena iri hati, tetapi toh sang raja tidak akan menjadi kalah berkuasa dibandingkan dengan penjaga gerbang itu. Ada empat cara untuk menghalangi suatu pemberian:
    1. Menghalangi pemberian yang belum dimaksudkan untuk orang tertentu;
    2. Menghalangi pemberian yang sudah disisihkan untuk orang tertentu;
    3. Menghalangi pemberian yang sudah disiapkan untuk seseorang, dan
    4. Menghalangi rasa gembira yang timbul karena memberi seseorang.
    Dalam hal yang baginda sebutkan, pemberian itu bukanlah dimaksudkan khusus untuk Sang Buddha, karena bila memang sudah ditujukan khusus, tak ada seorang pun yang dapat menghalanginya.” “O baginda, sehubungan dengan Sang Tathagata, tak seorang pun mampu menghalangi empat hal ini:
    1. Pemberian makanan yang sudah dimaksudkan untuk Beliau;
    2. Sinar aura yang mengelilingi Beliau sejauh sedepa;
    3. Kemahatahuan Beliau; dan
    4. Kehidupan Beliau. 
    Hal-hal itu terbebas dari cacat, tidak dapat diserang makhluk lain dan tidak dapat diganggu. Ketika Mara menguasai para perumahtangga di desa Pañcasala, hal itu bagaikan perampok-perampok yang mengepung jalan besar sambil bersembunyi di tempat-tempat yang tidak dapat dicapai. Tetapi jika raja melihat mereka, menurut baginda apakah mereka akan selamat?” “Tidak, Yang Mulia. Raja mungkin menyuruh agar mereka dicincang hancur.” “Begitu pula, O baginda, jika Mara menciptakan penghalang bagi makanan yang telah dikhususkan untuk Sang Buddha, kepalanya akan hancur menjadi ribuan keping.”

  6. Pengetahuan akan Kelakuan Yang Salah
    “Dikatakan oleh Sang Buddha, “Siapa pun yang karena kebodohannya menghilangkan kehidupan makhluk lain, berarti menumpuk perbuatan tercela yang besar.’[13] Tetapi di dalam peraturan latihan untuk para bhikkhu tentang pembunuhan makhluk hidup, Beliau mengatakan, ‘Tidak ada pelanggaran kalau dia tidak tahu.’[14] Bagaimana mungkin kedua pernyataan ini benar?” “Ada pelanggaran-pelanggaran yang tidak memiliki celah untuk lolos bagi orang yang tidak tahu, dan ada pelanggaran-pelanggaran yang memiliki celah untuk lolos.[15] Pelanggaran yang kedualah yang dimaksudkan Sang Buddha ketika Beliau berkata bahwa tidak ada pelanggaran jika dia tidak mengetahuinya.”

  7. Sang Buddha Tidak Mempunyai Sifat Ingin Memiliki
    “Sang Buddha mengatakan, ‘Sang Tathagata tidak berpikir bahwa Beliau seharusnya memimpin Sangha atau bahwa Sangha bergantung kepada Beliau.’[16] Tetapi mengenai Buddha Metteyya Beliau mengatakan, ‘Dia akan menjadi pemimpin suatu Sangha yang terdiri dari beberapa ribu seperti halnya Aku sekarang pemimpin Sangha beberapa ratus’.”[17] “Oh, baginda, suatu pengertian kadang-kadang sudah tercakup di satu bagian, sedangkan di bagian yang lain tidak. Bukan Sang Tathagata yang mencari pengikut, tetapi para pengikutlah yang mencari Beliau. ‘Ini adalah milikku’ hanya merupakan pendapat umum, bukan kebenaran tertinggi. Kecintaan adalah bentuk pikiran yang sudah disingkirkan oleh Sang Tathagata. Beliau telah menyingkirkan sifat memiliki, Beliau telah terbebas dari pandangan salah tentang ‘Ini adalah milikku’. Beliau hidup hanya untuk membantu orang lain. Seperti halnya awan besar yang membawa hujan, O baginda; ia mencurahkan hujan dan memberikan makanan kepada rumput dan pohon, kepada ternak dan manusia, dan semua makhluk hidup bergantung kepadanya. Tetapi awan itu tidak mempunyai perasaan rindu akan ide ‘Ini adalah milikku’. Begitu juga Sang Tathagata mengajarkan kepada semua makhluk mengenai sifat-sifat bajik dan mempertahankan mereka di dalam kebajikan, dan semua makhluk bergantung kepada Beliau, tetapi Beliau tidak mempunyai konsep kepemilikan karena Beliau telah meninggalkan semua pandangan salah mengenai diri.”

  8. Kesatuan Sangha
    “Anda katakan bahwa Sangha Sang Tathagata tidak akan pernah bisa dipecah-belah.[18] Tetapi Devadatta dapat membawa pergi lima ratus orang bhikkhu dari Sang Buddha.”[19] “Perpecahan itu terjadi karena kekuatan memecah-belah. Seorang ibu pun dapat terpisah dari anaknya bilamana ada orang yang membuat keretakan. Tetapi bahwa Sangha Sang Tathagata tidak dapat dipecahkan itu dikatakan di dalam pengertian khusus. Belum pernah terdengar bahwa pengikut Beliau dapat dipecah-belahkan oleh sesuatu yang dilakukan Sang Tathagata, atau oleh kata yang tidak bajik, tindakan yang salah atau ketidakadilan apa pun dari Sang Tathagata sendiri. Di dalam pengertian itulah pengikut Beliau tidak tergoyahkan.”
Catatan:
[1]. A. i. 276 bandingkan dengan M. ii. 9
[2]. D. ii. 154; Vin. ii. 287.
[3]. Ada 152 sila di luar 75 peraturan latihan minor.
[4]. Dukkata- pelanggaran terhadap 75 peraturan latihan dan peraturan lain yang relatif minor.
[5]. Dubbhasita- ucapan seorang bhikkhu yang berupa omong kosong atau sindiran tajam yang belum sampai pada dusta atau caci maki.
[6]. D. ii. 100; S. syair 153.
[7]. M. ii. Sta. 63.
[8]. Dhp. syair 129.
[9]. Bandingkan A. ii. 172.
[10]. Dhp. syair 128.
[11]. Bandingkan A. ii. 878. – “Aku, para bhikkhu, menikmati cukup banyak dana makanan ketika diundang.”
[12]. S. i. 113 dst; DhA. iii. 257. Mara, sebagai makhluk yang menjadi personifikasi kejahatan, adalah musuh Sang Buddha dan muncul beberapa kali di dalam kehidupan Beliau untuk menggoda.
[13]. Kutipan yang diberikan diambil di luar konteks. Tidak ada perbuatan tercela sama sekali dalam membunuh mahkluk hidup karena tidak tahu (misalnya orang buta yang menginjak semut). Jadi yang dimaksudkan dengan ‘karena kebodohannya’ adalah dia membunuh tanpa tahu bahwa membunuh itu adalah perbuatan tidak bajik yang menghasilkan akibat jahat. Lihat pertanyaan 8 di atas hal. 54.
[14]. Vin. iii. 78; iv. 49, dll.
[15]. Bandingkan, misalnya Pacittiya 51- di situ minum minuman keras merupakan pelanggaran walaupun orang tidak mengetahuinya; Pacittiya 62- mempergunakan air yang mengandung makhluk hidup merupakan pelanggaran hanya bila dia telah mengetahui sebelumnya.
[16]. D. ii. 100; bandingkan M. i. 459 (MLS. ii. 132).
[17]. D. iii. 76.
[18]. D. iii. 172.
[19]. Vin. ii. 198.
Share:

0 Komentar:

Posting Komentar