Minggu, 10 Februari 2013

Milinda Panha Bab I Jiwa

 on  with No comments 
In ,  
Raja Milinda pergi menemui Bhikkhu Nagasena. Setelah saling mengucapkan salam persahabatan secara sopan, raja duduk dengan hormat di satu sisi. Milinda mulai bertanya:
  1. “Apa sebutan Yang Mulia dan siapakah nama Anda?”
    “Baginda, saya disebut Nagasena. Namun itu hanyalah rujukan dalam penggunaan umum, karena sebenarnya tidak ada individu permanen yang dapat ditemukan.”

    Mendengar itu, Milinda mengundang orang-orang Yunani Bactria serta para bhikkhu untuk menjadi saksi: “Nagasena ini berkata bahwa tidak ada individu permanen yang tersirat di dalam namanya. Mungkinkah hal seperti itu diterima?” Kemudian dia berbalik kepada Nagasena dan berkata, “Yang Mulia Nagasena, jika hal tersebut benar, lalu siapakah yang memberi Anda jubah, makanan dan tempat tinggal? Siapakah yang menjalani kehidupan dengan benar? Atau juga, siapakah yang membunuh makhluk hidup, mencuri, berzinah, berbohong dan mabuk-mabukan? Jika apa yang Anda katakan itu benar, maka tidak ada perbuatan yang bajik atau perbuatan yang tercela, tidak ada pelaku kebajikan atau pelaku kejahatan, dan tidak ada hasil karma. Yang Mulia, seandainya saja seseorang membunuh Anda, maka tidak akan ada pembunuh. Dan itu juga berarti tidak ada master atau guru di dalam Sangha Anda. Anda katakan bahwa Anda disebut Nagasena. Nah, apa itu Nagasena? Apakah rambutnya?”

    “Saya tidak mengatakan demikian, raja yang agung.” “Kalau begitu, apakah kukunya, giginya, kulitnya atau bagian tubuh lainnya?” “Tentu saja tidak.” “Atau apakah tubuhnya, atau perasaannya, atau pencerapannya, atau bentuk-bentuk pikirannya, atau kesadarannya?[1] Ataukah gabungan dari itu semua? Ataukah sesuatu di luar semua itu yang disebut Nagasena?” Masih saja Nagasena menjawab: “Bukan semuanya itu.” “Kalau begitu, dapat dikatakan bahwa aku tidak dapat menemukan Nagasena itu. Nagasena hanyalah omong kosong. Lalu siapakah yang kami lihat di depan mata ini? Yang Mulia telah berdusta.”

    “Baginda, tuan telah dibesarkan di dalam kemewahan sejak dilahirkan. Bagaimana tadi baginda datang kemari, berjalan kaki atau naik kereta?” “Naik kereta, Yang Mulia.”

    “Kalau begitu, tolong jelaskan apakah kereta itu? Apakah porosnya? Apakah rodanya, atau sasisnya, atau kendalinya, atau kuknya, yang disebut kereta? Ataukah gabungan dari itu semua, ataukah sesuatu di luar semua itu?” “Bukan semuanya itu, Yang Mulia.”

    “Kalau begitu, baginda, kereta ini hanyalah omong kosong. Baginda berdusta ketika berkata datang kemari naik kereta. Baginda adalah raja yang besar di India. Siapa yang baginda takuti sehingga baginda berdusta?” Kemudian Nagasena memanggil orang-orang Yunani Bactria dan para bhikkhu untuk menjadi saksi: “Raja Milinda ini telah berkata bahwa beliau datang kemari naik kereta, tetapi ketika ditanya, ‘Apakah kereta itu?’ beliau tidak dapat menunjukkannya. Dapatkah hal ini diterima?” Maka secara serempak ke-500 orang Yunani Bactria itu berteriak bersama-sama kepada raja, “Jawablah bila baginda bisa!”
    “Yang Mulia, aku telah berkata benar. Karena mempunyai semua bagian itulah maka ia disebut kereta.” “Bagus sekali. Baginda akhirnya dapat menangkap artinya dengan benar. Demikian pula, karena adanya tiga puluh dua jenis materi organik[2] di dalam tubuh manusia beserta lima unsur makhluklah maka saya disebut Nagasena. Seperti yang telah dikatakan oleh Bhikkhuni Vajira di hadapan Sang Buddha yang Agung, ‘Seperti halnya karena memiliki berbagai bagian itu maka kata ‘kereta’ digunakan, demikian juga bila ada unsur-unsur makhluk maka kata ‘makhluk’ digunakan.’”[3] “Sangat indah Nagasena, sungguh luar biasa teka-teki ini telah Anda pecahkan, meskipun sulit. Seandainya Sang Buddha berada di sini pun Beliau pasti akan menyetujui jawaban Anda.”

  2. “Berapa musim penghujan (masa vassa) yang telah Anda jalani, Nagasena?” “Tujuh, baginda.” “Tetapi bagaimana dapat Anda katakan tujuh; apakah Anda yang tujuh atau jumlahnya yang tujuh?” Lalu Nagasena menjawab, “Bayang-bayang baginda sekarang ada di tanah. Apakah baginda rajanya atau bayang-bayang itu rajanya?” “Akulah rajanya, Nagasena, tetapi bayang-bayang itu ada karena aku.” “Demikian juga, O baginda, jumlah tahunnya tujuh, saya tidaklah tujuh. Tetapi karena sayalah angka tujuh itu ada dan merupakan milik saya, sama seperti bayang-bayang itu merupakan milik baginda.” “Sungguh hebat, Nagasena, dan sangat luar biasa. Dengan baik teka-teki ini telah Anda pecahkan, meskipun sulit.”

  3. Kemudian raja berkata, “Yang Mulia, maukah Anda berdiskusi denganku lagi?” “Jika baginda ingin berdiskusi sebagai orang terpelajar, ya; tetapi jika baginda ingin berdiskusi sebagai raja, tidak.” “Bagaimana orang terpelajar berdiskusi?” “Bila orang terpelajar berdiskusi akan ada kesimpulan, dan ada penyelesaian kekusutan; yang salah ditunjukkan kesalahannya dan dia mengakui kesalahannya tanpa marah.”

    “Dan bagaimana raja berdiskusi?” “Bila raja mendiskusikan suatu masalah dan beliau mengemukakan suatu pandangan, jika ada yang berbeda pendapat dengan raja maka raja akan menghukum orang itu.”
    “Baik, kalau begitu sebagai orang terpelajarlah aku akan berdiskusi. Silakan Yang Mulia berbicara tanpa takut.”
    “Dengan senang hati, baginda.”
    “Nagasena, aku akan bertanya”, kata raja.
    “Bertanyalah, baginda.”
    “Aku telah bertanya, Yang Mulia.”
    “Kalau demikian saya telah menjawab.”
    “Apa yang telah Anda jawab?”
    “Apa yang telah baginda tanyakan?”

    Raja berpikir, “Bhikkhu ini benar-benar seorang terpelajar yang hebat, dia cukup mampu mendiskusikan apa pun juga denganku.” Maka sang raja menyuruh Devamantiya, menterinya, untuk mengundang Nagasena ke istana bersama dengan banyak bhikkhu lain. Raja lalu pergi dengan bergumam: “Nagasena, Nagasena.”

  4. Maka Devamantiya, Anantakaya dan Mankura pergi ke petapaan Nagasena untuk menjemput para bhikkhu ke istana. Di dalam perjalanan menuju ke istana, Anantakaya berkata kepada Nagasena, “Yang Mulia, bila saya mengatakan ‘Nagasena’, apakah sebenarnya Nagasena itu?” “Anda pikir apa Nagasena itu?” “Jiwa, nafas di dalam yang keluar dan masuk.” “Jika nafas itu, setelah keluar, tidak lagi kembali masuk, apakah orang itu masih akan hidup?” “Tentu saja tidak.” “Tetapi setelah para peniup trompet, misalnya, meniup trompetnya, apakah nafas mereka kembali pada mereka?” “Tidak Yang Mulia, tidak.” “Kalau begitu kenapa mereka tidak mati?” “Saya tidak mampu berbantahan dengan Anda. Tolong jelaskanlah bagaimana.” “Tidak ada jiwa di dalam nafas. Proses menarik dan menghembuskan nafas ini hanyalah tenaga unsur pokok dari kerangka tubuh.” Kemudian Nagasena Thera[4] berbicara tentang Abhidhamma dan Anantakaya merasa puas dengan penjelasan itu.

  5. Setelah para bhikkhu tiba di istana dan selesai makan, sang raja duduk di tempat rendah dan bertanya, “Apa yang akan kita diskusikan?” “Marilah kita mendiskusikan Dhamma.” Dan raja berkata, “Apa tujuan Yang Mulia meninggalkan kehidupan duniawi, dan apa tujuan akhir yang ingin dicapai?” “Kami meninggalkan kehidupan duniawi dengan tujuan melenyapkan penderitaan dan tidak ada penderitaan lain yang muncul. Lenyapnya nafsu secara total tanpa sisa adalah tujuan akhir kami.” “Yang Mulia, apakah setiap orang masuk Sangha untuk tujuan yang sangat mulia tersebut?” ‘Tidak. Ada yang masuk untuk menghindar dari kekejaman raja, ada yang untuk menghindar dari perampok, ada yang untuk menghindar dari hutangnya, dan ada yang untuk mencari nafkah. Tetapi mereka yang masuk dengan tujuan yang benar melakukannya agar nafsu dapat sepenuhnya padam.”

  6. Sang raja berkata, “Adakah orang yang tidak terlahir kembali setelah mati?” “Ya, ada. Orang yang tidak lagi mempunyai kekotoran batin tidak akan terlahir kembali setelah mati; yang masih mempunyai kekotoran batin akan terlahir kembali.” “Apakah Anda akan terlahir kembali?” “Jika saya mati dengan nafsu keinginan di dalam pikiran, ya; tetapi jika tidak, tidak.”

  7. “Apakah seseorang yang terbebas dari kelahiran kembali itu bisa terbebas karena kekuatan penalarannya?” “Dia bisa terbebas karena penalaran dan juga karena kebijaksanaan, keyakinan, moralitas, kewaspadaan, semangat, dan konsentrasi.” “Apakah penalaran sama dengan kebijaksanaan?” “Tidak. Binatang memiliki penalaran tetapi tidak memiliki kebijaksanaan.”

  8. “Bhikkhu Nagasena, apa ciri khas penalaran; dan apa ciri khas kebijaksanaan?” “Memegang adalah ciri penalaran, memotong adalah ciri kebijaksanaan.” “Berikanlah ilustrasi.” “Bagaimana petani gandum memanen gandumnya?” “Mereka memegang batang-batang gandum dengan tangan kirinya, dan dengan sabit di tangan kanannya mereka memotong gandum tersebut.” “Demikian juga halnya, O baginda, para petapa memegang pikirannya dengan penalaran dan memotong kekotoran batin dengan kebijaksanaan.”

  9. “Bhikkhu Nagasena, apakah ciri khas moralitas?” “Menopang, O baginda, karena moralitas merupakan landasan bagi semua sifat yang baik, yakni:
    • Lima kemampuan batin yang mengendalikan dan lima kekuatan moral (Catatan- yakni: keyakinan, semangat, kewaspadaan, konsentrasi, dan kebijaksanaan),
    • Tujuh faktor pencerahan (Catatan- yakni: kewaspadaan, penyelidikan, semangat, sukacita, ketenangan, konsentrasi, dan ketenang-seimbangan),
    • Delapan faktor Jalan Mulia (Catatan- yakni: pandangan benar, pikiran benar, ucapan benar, perbuatan benar, mata pencaharian benar, usaha benar, kewaspadaan benar, dan konsentrasi yang benar),
    • Empat landasan kewaspadaan (Catatan- yakni: kewaspadaan pada tubuh, pada perasaan, pada buah-pikir, pada objek pikiran),
    • Empat usaha benar (Catatan- yakni: usaha untuk mencegah dan menghilangkan keadaan yang tidak bajik serta usaha untuk mengembangkan dan mempertahankan keadaan yang bajik),
    • Empat landasan keberhasilan (Catatan- yakni: hasrat, energi, keuletan dan kebijaksanaan),
    • Empat penyerapan (Catatan- yakni: empat tahap pemusatan pikiran atau jhana ),
    • Delapan kebebasan (Catatan- yakni: delapan tingkat pelepasan pikiran oleh konsentrasi yang sangat kuat),
    • Empat metode konsentrasi (Catatan- yakni: meditasi untuk cinta kasih, kasih sayang, sukacita bersimpati, dan ketenang-seimbangan), serta
    • Delapan pencapaian yang agung (Catatan- yakni: empat jhana tanpa-bentuk dan empat jhana berbentuk).

    Semua sifat yang baik itu ditopang oleh moralitas. Di dalam diri orang yang mengembangkan batinnya dengan menggunakan moralitas sebagai fondasi, kondisi-kondisi yang baik ini tidak akan berkurang.”
    “Berikanlah ilustrasi.” “Seperti halnya semua bentuk kehidupan hewan dan tumbuhan bergantung pada tanah sebagai penopang, demikian juga seorang petapa -dengan moralitas sebagai penopangnya- mengembangkan lima kemampuan batin yang mengendalikan dan lain sebagainya itu.[5] Demikian ini yang dikatakan Sang Buddha:

    “Bila orang bijaksana, yang telah kokoh moralitasnya, Mengembangkan konsentrasi dan permahaman, Kemudian sebagai bhikkhu, dia gigih dan bijaksana, Dia berhasil menguraikan kekusutan ini.”[6]

  10. “Apakah ciri khas dari keyakinan?”
    “Kejernihan dan inspirasi. Ketika keyakinan muncul di dalam pikiran, keyakinan itu menembus cadar lima penghalang. Maka pikiran menjadi terang, tenang dan tidak terganggu. Dengan demikian keyakinan menjadi jernih. Dan inspirasi adalah tanda ketika meditator -karena memahami bagaimana pikiran orang lain telah terbebas- kemudian terinspirasi untuk mencapai apa yang masih belum dapat dicapainya, untuk mengalami apa yang masih belum pernah dirasakannya, dan untuk merealisasikan apa yang masih belum dimengertinya. Demikian ini yang dikatakan Sang Buddha: ‘Dengan keyakinan dia menyeberangi banjir, Dengan kewaspadaan melewati samudera kehidupan, Dengan ketetapan hati semua penderitaan dia tenangkan, Dengan kebijaksanaan dia dimurnikan’.”[7]

  11. “Dan apa, Yang Mulia, ciri khas dari semangat?”
    “Penguatan, O baginda, sehingga semua sifat baik yang ditopang oleh semangat tidak menjadi pudar.”
    “Berikanlah ilustrasi.”

    “Sama seperti bila bala tentaranya telah dipukul mundur oleh pasukan musuh yang lebih besar, seorang raja akan mengingat-ingat siapa sekutu yang bisa diharapkan untuk menguatkan pasukannya agar dapat mengalahkan musuh yang kuat itu. Begitulah penguatan merupakan ciri dari semangat. Demikian ini yang dikatakan Sang Buddha:

    ‘Siswa mulia yang penuh semangat, O bhikkhu, Menyingkirkan yang tidak bajik dan mengembangkan yang bajik, Menghindari yang tercela dan mengembangkan yang tak tercela, Dengan begitu dia menjaga kemurnian pikirannya’.”[8]

  12. “Nagasena, apakah ciri khas dari kewaspadaan?”
    “Mencatat dan menyimpan di dalam ingatan. Ketika kewaspadaan timbul di dalam pikiran petapa, secara berulang-ulang dia mencatat apa yang bajik dan apa yang tidak bajik, apa yang tak-tercela dan apa yang tercela, apa yang tidak penting dan apa yang penting, sifat-sifat yang gelap dan terang, dan sebagainya. Dia akan berpikir, ‘Inilah empat landasan kewaspadaan, inilah empat usaha yang benar, inilah empat landasan keberhasilan, inilah lima kemampuan batin yang mengendalikan, inilah lima kekuatan moral, inilah tujuh faktor pencerahan, inilah delapan faktor Jalan Mulia, inilah ketenangan, inilah kebijaksanaan, inilah pandangan terang, dan inilah kebebasan.’
    Demikianlah dia mengembangkan semua sifat yang bajik dan menghindari sifat-sifat yang harus dihindari.”

    “Berikanlah ilustrasi.” “Sama seperti bendahara raja yang mengingatkan tuannya tentang besarnya pasukan raja dan jumlah kekayaan yang ada.” “Bagaimana ‘menyimpan di dalam ingatan’ dapat menjadi tanda kewaspadaan?” “Ketika kewaspadaan muncul di dalam pikiran, orang akan mencari kategori tentang sifat-sifat yang baik dan yang tidak baik. Dia akan berpikir, ‘Sifat-sifat yang ini menguntungkan dan yang itu merugikan.’ Dengan demikian dia melenyapkan apa yang jelek di dalam dirinya serta mempertahankan apa yang baik.” “Berikanlah ilustrasi.” “Sama seperti perdana menteri raja yang memberikan nasihat tentang tindakan yang benar. Demikian ini yang dikatakan Sang Buddha: ‘Kunyatakan, O para bhikkhu, kewaspadaan sangatlah membantu di mana pun juga’.”[9]

  13. “Dan apa, Nagasena, ciri khas dari konsentrasi?”
    “Menjadi pemimpin, O baginda. Semua sifat yang bajik mempunyai konsentrasi sebagai pemimpinnya; sifat-sifat bajik mengarah padanya, dan menuju ke situ.” “Berikanlah ilustrasi.”
    “Seperti halnya kalau rumah miring dan menuju ke suatu titik -yaitu titik tertinggi di atap- demikian juga semua sifat yang baik mengarah dan memusat pada konsentrasi. Demikian ini yang dikatakan Sang Buddha:
    ‘Bhikkhu, kembangkanlah konsentrasi; seorang bhikkhu yang terkonsentrasi melihat segala sesuatu sebagaimana adanya’.”[10]

  14. Apa, Nagasena, ciri khas dari kebijaksanaan?”
    “Menerangi,[11] O baginda. Ketika kebijaksanaan muncul di dalam pikiran, kebijaksanaan itu mengusir kegelapan yang dimiliki kebodohan batin, membuat munculnya pancaran pandangan terang, membuat bersinarnya pengetahuan, dan membuat jelasnya Kesunyataan Mulia. Demikianlah meditator dengan kebijaksanaan yang paling terang mencerap ketidakkekalan, ketidakpuasan, dan tidak-adanya-diri di dalam segala bentuk.” “Berikanlah ilustrasi.”

  15. “Sama seperti lampu, O baginda, yang berada di ruangan gelap akan menerangi ruangan itu dan membuat objek yang ada menjadi jelas terlihat.”

  16. Sifat-sifat yang sangat berbeda ini, Nagasena, apakah membuahkan hasil yang sama?”
    “Ya, yaitu hancurnya kekotoran di dalam pikiran. Sama seperti berbagai kekuatan pasukan misalnya gajah, kavaleri kereta perang, dan pemanah membuahkan satu hasil, yaitu takluknya tentara musuh.” “Penjelasan yang baik, Nagasena. Anda pandai menjawab.”

Catatan:
[1]. Lihat catatan pada lima kelompok di Apendiks.
[2]. Lihat Apendiks.
[3]. S. i. 135.
[4]. Thera (sesepuh) biasanya digunakan untuk orang yang menjadi bhikkhu lebih dari 10 musim hujan (vassa), tetapi Nagasena baru 7 vassa. Lihat Pertanyaan no. 2 hal. 7.
[5]. Bandingkan dengan S. syair 45.
[6]. S. i. 13. 165; Vism (syair pembuka).
[7]. S. i. 214; Sn. syair 184.
[8]. A iv. 110
[9]. Tidak terlacak.
[10]. S. iii. 13, syair 414; bandingkan dengan Asl. 162.
[11]. Termasuk juga ‘memotong’ yang telah disebutkan di atas.
Share:

0 Komentar:

Posting Komentar