Pertanyaan yang Diselesaikan dengan Kesimpulan
“Apakah bunga di kota kebenaran itu?”
Catatan:
[1]. Bandingkan D. i. Sta. 13.
[2]. Lihat Apendiks.
[3]. Dhp. syair 54.
[4]. Orang dengan tekad besar merenungkan ketidak-kekalan dan mencapai keadaan-tanpa-tanda, orang dengan ketenangan yang besar merenungkan ketidak-puasan dan mencapai keadaan tanpa nafsu keinginan, orang dengan kebijaksanaan yang besar merenungkan tiadanya ‘aku’ dan mencapai kekosongan.
[5]. A. i. 45.
[6]. Dijelaskan secara terperinci dalam Samañña Phala Sutta dari Digha Nikaya, ketiga bab ini menjelaskan semua jenis mata pencaharian yang salah bagi para bhikkhu, seperti meramal dan ikut campur dalam urusan perumahtangga, dan kelakuan salah lain seperti misalnya ikut bermain di dalam suatu permainan.
Raja Milinda menemui Nagasena di tempat kediamannya, dan setelah memberi hormat, raja duduk di satu sisi. Karena ingin mengetahui, mendengar dan mengingat di dalam pikiran, serta ingin menghalau kebodohan batinnya, raja mengumpulkan keberanian dan semangatnya, memantapkan pengendalian diri dan kewaspadaannya, dan kemudian berbicara kepada Nagasena:
“Sudah pernahkah Yang Mulia melihat Sang Buddha?”[1]
“Belum, baginda.”
“Sudah pernahkah guru-guru Anda melihat Sang Buddha?”
“Belum, baginda.”
“Kalau begitu, Nagasena, Sang Buddha itu tidak ada; tidak ada bukti yang jelas tentang keberadaan Sang Buddha.”
“Tapi, apakah para ksatria yang merupakan pendiri garis keturunan raja yang menurunkan baginda itu ada?”
“Tentu saja, Yang Mulia, tidak ada keraguan tentang hal itu.”
“Sudah pernahkah baginda melihat mereka?”
“Belum, Yang Mulia.”
“Apakah para guru dan menteri negara yang menetapkan undang-undang sudah pernah melihat mereka?”
“Belum, Yang Mulia.”
“Kalau begitu, tidak ada bukti yang jelas tentang keberadaan para ksatria di zaman dahulu itu.”
“Tetapi Nagasena, lencana kerajaan yang mereka gunakan masih dapat dilihat, dan dari situ kita dapat menyimpulkan dan mengetahui bahwa para ksatria di zaman dahulu itu benar-benar ada.”
“Demikian juga, O baginda, kita dapat mengetahui bahwa Sang Buddha pernah hidup dan kita dapat mempercayai Beliau. Lencana kerajaan yang dipakai Sang Buddha masih dapat dilihat. Ada empat landasan kewaspadaan, empat usaha benar, empat landasan keberhasilan, lima kekuatan moral, lima kemampuan yang mengendalikan, tujuh faktor pencerahan dan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dari semua itu kita dapat menyimpulkan dan mengetahui bahwa Sang Buddha benar-benar ada.”
“Berikanlah ilustrasi.” “Seperti halnya orang yang melihat kota yang indah dan terencana dengan baik akan mengetahui bahwa kota itu ditata oleh arsitek yang ahli; demikian juga kota kebenaran yang dibangun oleh Sang Buddha dapat dilihat. Kota itu memiliki kewaspadaan yang tak terputus sebagai jalan utamanya, dan di jalan utama itu terdapat kios-kios pasar yang menjual bunga, wangi-wangian, buah, penawar, obat, nektar, permata tak ternilai, dan segala macam barang dagangan. Demikianlah, O baginda, kota kebenaran Sang Buddha direncanakan dengan baik, dibangun dengan kuat dan terlindung dengan baik sehingga kota itu tak dapat ditembus musuh; dan dengan metode menyimpulkan ini baginda dapat mengetahui bahwa Sang Buddha pernah ada.”
“Sudah pernahkah Yang Mulia melihat Sang Buddha?”[1]
“Belum, baginda.”
“Sudah pernahkah guru-guru Anda melihat Sang Buddha?”
“Belum, baginda.”
“Kalau begitu, Nagasena, Sang Buddha itu tidak ada; tidak ada bukti yang jelas tentang keberadaan Sang Buddha.”
“Tapi, apakah para ksatria yang merupakan pendiri garis keturunan raja yang menurunkan baginda itu ada?”
“Tentu saja, Yang Mulia, tidak ada keraguan tentang hal itu.”
“Sudah pernahkah baginda melihat mereka?”
“Belum, Yang Mulia.”
“Apakah para guru dan menteri negara yang menetapkan undang-undang sudah pernah melihat mereka?”
“Belum, Yang Mulia.”
“Kalau begitu, tidak ada bukti yang jelas tentang keberadaan para ksatria di zaman dahulu itu.”
“Tetapi Nagasena, lencana kerajaan yang mereka gunakan masih dapat dilihat, dan dari situ kita dapat menyimpulkan dan mengetahui bahwa para ksatria di zaman dahulu itu benar-benar ada.”
“Demikian juga, O baginda, kita dapat mengetahui bahwa Sang Buddha pernah hidup dan kita dapat mempercayai Beliau. Lencana kerajaan yang dipakai Sang Buddha masih dapat dilihat. Ada empat landasan kewaspadaan, empat usaha benar, empat landasan keberhasilan, lima kekuatan moral, lima kemampuan yang mengendalikan, tujuh faktor pencerahan dan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dari semua itu kita dapat menyimpulkan dan mengetahui bahwa Sang Buddha benar-benar ada.”
“Berikanlah ilustrasi.” “Seperti halnya orang yang melihat kota yang indah dan terencana dengan baik akan mengetahui bahwa kota itu ditata oleh arsitek yang ahli; demikian juga kota kebenaran yang dibangun oleh Sang Buddha dapat dilihat. Kota itu memiliki kewaspadaan yang tak terputus sebagai jalan utamanya, dan di jalan utama itu terdapat kios-kios pasar yang menjual bunga, wangi-wangian, buah, penawar, obat, nektar, permata tak ternilai, dan segala macam barang dagangan. Demikianlah, O baginda, kota kebenaran Sang Buddha direncanakan dengan baik, dibangun dengan kuat dan terlindung dengan baik sehingga kota itu tak dapat ditembus musuh; dan dengan metode menyimpulkan ini baginda dapat mengetahui bahwa Sang Buddha pernah ada.”
“Apakah bunga di kota kebenaran itu?”
“Ada beberapa objek meditasi yang diperkenalkan oleh Sang Buddha: persepsi tentang ketidakkekalan, tentang ketidakpuasan, tidak adanya jiwa, sifat yang menjijikkan, bahaya, melepas, hilangnya nafsu, kekecewaan terhadap semua alam kehidupan, ketidakkekalan semua bentukan mental; meditasi dengan memperhatikan napas, persepsi mengenai sembilan macam mayat dalam proses pembusukan yang berlangsung, meditasi cinta kasih, kasih sayang, suka cita dengan simpati dan ketenang-seimbangan batin; serta kewaspadaan terhadap kematian dan kewaspadaan terhadap tiga puluh dua bagian tubuh.[2] Siapa pun yang ingin terbebas dari usia tua dan kematian dapat memilih salah satu objek tersebut. Maka dia akan dapat terbebas dari nafsu keserakahan, kebencian dan kebodohan batin, kesombongan dan pandangan salah. Dia dapat menyeberangi lautan samsara, membendung derasnya aliran nafsu keinginan, dan menghancurkan semua penderitaan. Dia kemudian dapat memasuki kota nibbana di mana terdapat rasa aman, ketenangan dan kebahagiaan.”
“Apakah wangi-wangian di kota kebenaran itu?”
“Wangi-wangian itu ada dalam bentuk pelaksanaan pengendalian diri lewat Tiga Perlindungan, lima sila, delapan sila, sepuluh sila, serta Patimokkha bagi para. bhikkhu. Demikian ini dikatakan oleh Sang Buddha:
“Apakah buah di kota kebenaran itu?”
“Buah itu adalah buah pemenang-arus, buah yang-kembali-sekali-lagi, buah yang-tidak-kembali-lagi, dan buah Arahat, pencapaian kekosongan, pencapaian keadaan tanpa-tanda dan pencapaian hilangnya nafsu.”[4]
“Apakah obat penawar di kota kebenaran itu?”
“Empat Kesunyataan Mulia adalah penawar bagi racun kegelapan batin. Siapa pun yang merindukan pandangan terang yang tertinggi dan mendengar Ajaran ini akan terbebas dari kelahiran, usia tua, kematian, kesusahan, penderitaan, duka cita, ratap-tangis dan keputusasaan.”
“Apakah obat di kota kebenaran itu?”
“Obat-obat tertentu, O baginda, telah diberikan oleh Sang Buddha untuk menyembuhkan para dewa dan manusia. Inilah obat-obat itu: Empat Landasan Kewaspadaan, Empat Usaha Benar, Empat Landasan Keberhasilan, Lima Kemampuan Pengendali, Lima Kekuatan Moral, Tujuh Faktor Pencerahan dan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dengan obat-obat ini Sang Buddha menyembuhkan orang dari pandangan salah, pikiran salah, ucapan salah, tindakan salah, mata pencaharian salah, usaha salah, kewaspadaan salah dan konsentrasi salah. Beliau membebaskan mereka dari keserakahan, kebencian dan kegelapan batin, kesombongan, kepercayaan tentang adanya diri, keraguan, kegelisahan, kemalasan dan kelambanan, tidak tahu malu dan kesembronoan serta semua kekotoran batin lainnya.”
“Wangi-wangian itu ada dalam bentuk pelaksanaan pengendalian diri lewat Tiga Perlindungan, lima sila, delapan sila, sepuluh sila, serta Patimokkha bagi para. bhikkhu. Demikian ini dikatakan oleh Sang Buddha:
‘Tak ada keharuman bunga yang dapat melawan arah angin,
Baik itu cendana, sari wewangian, atau bunga melati’.
Tetapi harumnya kebajikan dapat melawan angin,
Ke segala arah menyebar harumnya nama orang yang bajik.’[3]
Baik itu cendana, sari wewangian, atau bunga melati’.
Tetapi harumnya kebajikan dapat melawan angin,
Ke segala arah menyebar harumnya nama orang yang bajik.’[3]
“Apakah buah di kota kebenaran itu?”
“Buah itu adalah buah pemenang-arus, buah yang-kembali-sekali-lagi, buah yang-tidak-kembali-lagi, dan buah Arahat, pencapaian kekosongan, pencapaian keadaan tanpa-tanda dan pencapaian hilangnya nafsu.”[4]
“Apakah obat penawar di kota kebenaran itu?”
“Empat Kesunyataan Mulia adalah penawar bagi racun kegelapan batin. Siapa pun yang merindukan pandangan terang yang tertinggi dan mendengar Ajaran ini akan terbebas dari kelahiran, usia tua, kematian, kesusahan, penderitaan, duka cita, ratap-tangis dan keputusasaan.”
“Apakah obat di kota kebenaran itu?”
“Obat-obat tertentu, O baginda, telah diberikan oleh Sang Buddha untuk menyembuhkan para dewa dan manusia. Inilah obat-obat itu: Empat Landasan Kewaspadaan, Empat Usaha Benar, Empat Landasan Keberhasilan, Lima Kemampuan Pengendali, Lima Kekuatan Moral, Tujuh Faktor Pencerahan dan Jalan Mulia Berunsur Delapan. Dengan obat-obat ini Sang Buddha menyembuhkan orang dari pandangan salah, pikiran salah, ucapan salah, tindakan salah, mata pencaharian salah, usaha salah, kewaspadaan salah dan konsentrasi salah. Beliau membebaskan mereka dari keserakahan, kebencian dan kegelapan batin, kesombongan, kepercayaan tentang adanya diri, keraguan, kegelisahan, kemalasan dan kelambanan, tidak tahu malu dan kesembronoan serta semua kekotoran batin lainnya.”
“Apakah nektar di kota kebenaran itu?”
“Kewaspadaan terhadap tubuh adalah bagaikan nektar, karena semua makhluk yang dipenuhi nektar kewaspadaan terhadap tubuh ini akan terbebas dari segala penderitaan. Demikian ini dikatakan oleh Sang Buddha:
“Moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, pengetahuan dan visi kebebasan, pengetahuan untuk membedakan, dan faktor-faktor pencerahan adalah permata tak ternilai dari Sang Buddha.
“Dan apakah permata tak ternilai dari moralitas? Yaitu nilai-nilai luhur pengendalian lewat peraturan Patimokkha; nilai-nilai luhur pengendalian kemampuan indera; nilai-nilai luhur mata pencaharian benar; nilai-nilai luhur perenungan terhadap penggunaan empat kebutuhan pokok secara benar, makanan yang dikumpulkan, obat-obatan, jubah, dan tempat tinggal; nilai-nilai luhur pengendalian sesuai dengan peraturan disiplin yang pokok, menengah dan kecil,[6] serta nilai-nilai luhur yang sudah menjadi kebiasaan manusia mulia.” “Dan apakah permata tak ternilai dari konsentrasi? Yaitu jhana pertama dengan buah-pikir pemicu dan buah-pikir yang bertahan, jhana kedua tanpa buah-pikir pemicu tetapi dengan buah-pikir yang bertahan, jhana ketiga tanpa buah-pikir pemicu maupun buah-pikir yang bertahan tetapi dengan sukacita yang murni, kebahagiaan dan pemusatan pikiran; dan ini merupakan konsentrasi pada kekosongan, pada keadaan-tanpa-tanda dan pada tiadanya nafsu keinginan. Ketika seorang bhikkhu mengenakan permata konsentrasi ini, maka buah-buah pikir yang jahat dan tidak bermanfaat akan terlepas dari pikirannya bagaikan air di daun teratai.
“Dan apakah permata tak ternilai dari kebijaksanaan? Yaitu pengetahuan tentang apa yang bajik dan apa yang tidak bajik, apa yang tercela dan apa yang terpuji, serta pengetahuan tentang Empat Kesunyataan Mulia. “Dan apakah permata tak ternilai dari kebebasan? Tingkat Arahat adalah permata dari segala permata, permata tak ternilai dari kebebasan. Jika seorang bhikkhu mengenakannya, dia lebih cemerlang daripada yang lain. “Dan apakah permata tak ternilai dari pengetahuan dan visi kebebasan? Yaitu pengetahuan yang digunakan para Arya untuk meninjau lagi Sang Jalan, buah-buahnya dan nibbana, dan merenungkan kekotoran batin yang telah dapat dihilangkan dan kekotoran batin yang masih ada.
“Dan apakah permata tak ternilai dari pengetahuan untuk membedakan? Yaitu pandangan terang analitis terhadap makna, hukum, bahasa dan kecerdasan. Siapa pun yang mengenakan permata ini tidak akan takut menghadapi berbagai macam pertemuan dan percaya diri karena tahu bahwa dia dapat menjawab segala pertanyaan yang diajukan kepadanya. “Dan apakah permata tak ternilai dari faktor-faktor pencerahan? Yaitu permata kewaspadaan, penyelidikan akan kebenaran, semangat, sukacita, ketenangan, konsentrasi dan ketenang-seimbangan batin. Jika dihiasi dengan permata-permata ini, seorang bhikkhu akan menerangi dunia dengan keluhurannya.”
“Kewaspadaan terhadap tubuh adalah bagaikan nektar, karena semua makhluk yang dipenuhi nektar kewaspadaan terhadap tubuh ini akan terbebas dari segala penderitaan. Demikian ini dikatakan oleh Sang Buddha:
‘Mereka yang memanfaatkan kewaspadaan terhadap tubuh akan menikmati nektar keadaan tanpa-kematian.’[5]
“Apakah permata tak ternilai di kota kebenaran itu?”“Moralitas, konsentrasi, kebijaksanaan, kebebasan, pengetahuan dan visi kebebasan, pengetahuan untuk membedakan, dan faktor-faktor pencerahan adalah permata tak ternilai dari Sang Buddha.
“Dan apakah permata tak ternilai dari moralitas? Yaitu nilai-nilai luhur pengendalian lewat peraturan Patimokkha; nilai-nilai luhur pengendalian kemampuan indera; nilai-nilai luhur mata pencaharian benar; nilai-nilai luhur perenungan terhadap penggunaan empat kebutuhan pokok secara benar, makanan yang dikumpulkan, obat-obatan, jubah, dan tempat tinggal; nilai-nilai luhur pengendalian sesuai dengan peraturan disiplin yang pokok, menengah dan kecil,[6] serta nilai-nilai luhur yang sudah menjadi kebiasaan manusia mulia.” “Dan apakah permata tak ternilai dari konsentrasi? Yaitu jhana pertama dengan buah-pikir pemicu dan buah-pikir yang bertahan, jhana kedua tanpa buah-pikir pemicu tetapi dengan buah-pikir yang bertahan, jhana ketiga tanpa buah-pikir pemicu maupun buah-pikir yang bertahan tetapi dengan sukacita yang murni, kebahagiaan dan pemusatan pikiran; dan ini merupakan konsentrasi pada kekosongan, pada keadaan-tanpa-tanda dan pada tiadanya nafsu keinginan. Ketika seorang bhikkhu mengenakan permata konsentrasi ini, maka buah-buah pikir yang jahat dan tidak bermanfaat akan terlepas dari pikirannya bagaikan air di daun teratai.
“Dan apakah permata tak ternilai dari kebijaksanaan? Yaitu pengetahuan tentang apa yang bajik dan apa yang tidak bajik, apa yang tercela dan apa yang terpuji, serta pengetahuan tentang Empat Kesunyataan Mulia. “Dan apakah permata tak ternilai dari kebebasan? Tingkat Arahat adalah permata dari segala permata, permata tak ternilai dari kebebasan. Jika seorang bhikkhu mengenakannya, dia lebih cemerlang daripada yang lain. “Dan apakah permata tak ternilai dari pengetahuan dan visi kebebasan? Yaitu pengetahuan yang digunakan para Arya untuk meninjau lagi Sang Jalan, buah-buahnya dan nibbana, dan merenungkan kekotoran batin yang telah dapat dihilangkan dan kekotoran batin yang masih ada.
“Dan apakah permata tak ternilai dari pengetahuan untuk membedakan? Yaitu pandangan terang analitis terhadap makna, hukum, bahasa dan kecerdasan. Siapa pun yang mengenakan permata ini tidak akan takut menghadapi berbagai macam pertemuan dan percaya diri karena tahu bahwa dia dapat menjawab segala pertanyaan yang diajukan kepadanya. “Dan apakah permata tak ternilai dari faktor-faktor pencerahan? Yaitu permata kewaspadaan, penyelidikan akan kebenaran, semangat, sukacita, ketenangan, konsentrasi dan ketenang-seimbangan batin. Jika dihiasi dengan permata-permata ini, seorang bhikkhu akan menerangi dunia dengan keluhurannya.”
Catatan:
[1]. Bandingkan D. i. Sta. 13.
[2]. Lihat Apendiks.
[3]. Dhp. syair 54.
[4]. Orang dengan tekad besar merenungkan ketidak-kekalan dan mencapai keadaan-tanpa-tanda, orang dengan ketenangan yang besar merenungkan ketidak-puasan dan mencapai keadaan tanpa nafsu keinginan, orang dengan kebijaksanaan yang besar merenungkan tiadanya ‘aku’ dan mencapai kekosongan.
[5]. A. i. 45.
[6]. Dijelaskan secara terperinci dalam Samañña Phala Sutta dari Digha Nikaya, ketiga bab ini menjelaskan semua jenis mata pencaharian yang salah bagi para bhikkhu, seperti meramal dan ikut campur dalam urusan perumahtangga, dan kelakuan salah lain seperti misalnya ikut bermain di dalam suatu permainan.
0 Komentar:
Posting Komentar