Sabtu, 09 Februari 2013

Milinda Panha Bab XII Pemecah Dilema Bagian 5

 on  with No comments 
In ,  
  1. Mengenai Tempat Tinggal
    “Dikatakan oleh Sang Buddha: ‘Rasa takut lahir dari keintiman, Debu berasal dari rumah yang didirikan. Tidak berumah, bebas dari keintiman, Inilah visi orang bijak.’[1] “Tetapi Beliau juga berkata: Biarkanlah orang bijak membangun tempat tinggal dan menampung orang terpelajar di situ.’[2]

    “Jika pernyataan yang pertama diucapkan oleh Sang Buddha, maka yang kedua pasti salah.” “Kedua pernyataan itu memang diucapkan oleh Sang Tathagata, O baginda, tetapi pernyataan yang pertama mempunyai pengertian khusus berkenaan dengan sifat alami segala hal, dan berkenaan dengan apa yang layaknya diinginkan oleh seorang petapa. Sedangkan pernyataan kedua dikatakan hanya mengenai dua persoalan. Pemberian berupa tempat tinggal telah mendapatkan pujian tinggi dari para Buddha karena mereka yang telah memberikan persembahan semacam itu akan terbebas dari kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian. Dan yang kedua, jika ada tempat tinggal maka akan lebih mudah bagi mereka yang ingin mendengarkan Dhamma untuk mengunjungi para bhikkhu, dibandingkan jikalau para bhikkhu tinggal di hutan. Tetapi hal ini tidak lalu diikuti oleh kerinduan para bhikkhu untuk mempunyai tempat tinggal.”

  2. Pengendalian Perut
    “Sang Buddha berkata, ‘Jangan kehilangan perhatian sewaktu berdiri mengumpulkan dana makanan, milikilah pengendalian terhadap perutmu.’[3] Tetapi Beliau juga berkata, ‘Adakalanya, Udayi, aku makan semangkuk penuh atau bahkan lebih.’[4] Ini juga merupakan masalah yang bersisi dua.”

    “Kedua pernyataan ini benar, O baginda, tetapi pernyataan yang pertama mempunyai pengertian khusus dan tidak akan terbukti salah. Orang yang tidak mempunyai pengendalian terhadap perutnya akan membunuh makhluk hidup atau mencuri demi perutnya. Dengan dasar pemikiran seperti inilah Sang Buddha berkata ‘Jangan kehilangan perhatian sewaktu berdiri mengumpulkan dana makanan, milikilah pengendalian terhadap perutmu.’ Sedangkan orang yang memiliki pengendalian diri mendapat pandangan terang mengenai Empat Kesunyataan Mulia dan memenuhi kehidupan sebagai petapa. Bukankah seekor beo biasa, O baginda, melalui pengendalian terhadap perutnya telah mengguncang Surga Tiga Puluh Tiga dan membuat Sakka turun untuk melayaninya?[5] Tetapi ketika Sang Buddha berkata, ‘Adakalanya, Udayi, aku makan semangkuk penuh, atau bahkan lebih’, hal itu berhubungan dengan diri Beliau sendiri yang telah mencapai apa yang harus dicapai melalui pengendalian diri. Dan bagaikan permata sempurna yang tidak lagi perlu digosok, Beliau tidak memerlukan latihan lagi.

  3. Manusia yang Terbaik
    “Sang Buddha berkata, ‘Para bhikkhu, aku adalah seorang Brahmana, tempat orang meminta pertolongan, yang selalu siap memberi; tubuh yang kutanggung ini adalah yang terakhir. Aku adalah tabib dan dokter tertinggi.’[6] Tetapi pada kesempatan lain Beliau berkata, ‘Di antara siswaku, Bakkulalah yang paling baik kesehatannya.’[7] Telah dikatakan bahwa Sang Buddha beberapa kali terkena penyakit sedangkan Bakkula selalu sehat. Jika pernyataan yang pertama benar, mengapa Sang Buddha kalah sehat dibandingkan Bakkula?”

    “Memang benar bahwa Bakkula melebihi Sang Buddha di bidang kesehatan, dan beberapa murid lain juga melebihi Beliau di bidang lain. Akan tetapi Sang Buddha melebihi mereka semua di dalam nilai-nilai kemoralan, konsentrasi, dan kebijaksanaan. Dan mengenai hal-hal inilah Beliau berkata, ‘Para bhikkhu, aku adalah seorang Brahmana, tempat orang meminta pertolongan, yang selalu siap memberi; tubuh yang kutanggung ini adalah yang terakhir. Aku adalah tabib dan dokter tertinggi’.”

    “Sang Buddha, O baginda, tak peduli apakah sedang sakit atau tidak; apakah sedang menjalankan praktek sebagai petapa atau tidak – tak tertandingi oleh makhluk lain. Hal ini, O baginda, dikatakan di dalam Samyutta Nikaya, ‘O para bhikkhu, dari semua makhluk; baik yang tidak berkaki atau yang berkaki dua atau empat atau banyak; yang mempunyai bentuk maupun yang tidak; yang sadar, atau yang tidak, atau yang bukan-sadar-pun – bukan-tak-sadar; dari mereka semua itu Sang Tathagata, Sang Arahat, Yang Tercerahkan Sepenuhnya, dianggap sebagai pemimpin…’.”[8]

  4. Jalan Kuno
    “Dikatakan oleh Sang Buddha, ‘Sang Tathagata adalah penemu jalan yang sebelumnya tidak diketahui.’[9] Tetapi Beliau juga berkata, ‘Sekarang aku telah memahami, O para bhikkhu, jalan kuno yang telah ditempuh oleh para Buddha sebelumnya.’[10] Ini juga merupakan masalah yang bersisi dua.” “Jalan kuno yang ditunjukkan oleh para Buddha sebelumnya itu telah lama hilang dan tidak diketahui oleh siapa pun, baik manusia maupun dewa. Karena itulah Sang Buddha berkata, ‘Sang Tathagata adalah penemu jalan yang sebelumnya tidak diketahui.’ Meskipun jalan tersebut telah hancur, tidak lagi dapat dilalui dan hilang dari pandangan- tetapi Sang Tathagata; setelah memperoleh pengetahuan yang mendalam, melihat dengan mata kebijaksanaan-Nya bahwa itulah jalan yang juga telah digunakan oleh para Buddha sebelumnya. Dan karena itulah Sang Buddha berkata, ‘Sekarang aku telah memahami, O para bhikkhu, jalan kuno yang telah ditempuh oleh para Buddha sebelumnya.’ Sama seperti jika ada orang yang telah membuka hutan dan membebaskan sebidang tanah, tanah itu disebut tanahnya meskipun dia tidak membuat tanah itu.”

  5. Kelemahan Sang Bodhisatta
    “Dikatakan oleh Sang Buddha, ‘Di dalam semua kelahiranku sebagai manusia, aku telah memiliki kebiasaan tidak menyakiti makhluk hidup.’[11] Tetapi ketika Beliau menjadi seorang petapa yang bernama Lomasa Kassapa, Beliau menyuruh membunuh ratusan binatang untuk dipersembahkan sebagai korban.[12] Mengapa waktu itu Beliau tidak penuh welas asih?”

    “Persembahan itu, O baginda, dilakukan ketika Lomasa Kassapa kehilangan ingatan karena tergila-gila pada Putri Candavati; pada waktu itu beliau tidak sadar pada apa yang diperbuatnya. Seperti halnya orang gila yang kehilangan akal sehatnya akan menapak di api, atau menangkap ular berbisa, atau berlari-lari telanjang bulat di jalanan, demikian juga Sang Bodhisatta yang sedang hilang ingatan, sehingga Beliau melakukan persembahan korban itu. Nah, suatu kejahatan yang dilakukan orang gila tidak bisa dianggap sebagai pelanggaran yang serius, begitu juga mengenai buah yang dihasilkan di dalam kehidupannya yang akan datang. Misalkan saja, O baginda, ada orang gila yang bersalah melakukan pelanggaran hukum yang berat, hukuman apakah yang akan baginda jatuhkan kepadanya?” “Hukuman apa yang patut bagi orang gila? Kami akan memerintahkan agar dia dipukuli dan kemudian dibebaskan, begitu saja.”

    “Jadi, O baginda, sebuah pelanggaran yang dilakukan oleh orang gila dapat diampuni.[13] Demikian juga dalam kasus Lomasa Kassapa. Setelah sadar kembali, beliau meninggalkan kehidupan duniawi dan kemudian terlahir di alam Brahma.”

  6. Rasa Hormat Pada Jubah
    “Bahkan ketika Sang Bodhisatta terlahir sebagai seekor gajah, Beliau mempunyai rasa hormat pada jubah kuning.[14] Tetapi Anda mengatakan bahwa ketika Beliau terlahir sebagai seorang brahmana muda yang bernama Jotipala, meskipun terlahir sebagai manusia dengan tanda-tanda khusus, dia mencerca dan mencaci maki Buddha Kassapa, menyebut Beliau bhikkhu gundul yang tidak berguna.[15] Bagaimana kedua pernyataan ini dapat benar adanya?”

    “O baginda, kekasaran Sang Bodhisatta ketika menjadi brahmana muda Jotipala itu disebabkan oleh karena kelahiran dan pendidikan beliau. Semua keluarga beliau bukan orang yang memiliki keyakinan pada Dhamma, dan mereka memuja Brahma. Mereka berpikir bahwa kaum Brahmana adalah manusia yang paling tinggi. Seperti halnya, O baginda, air yang sangat dingin pun akan menjadi hangat bila kena api, demikian juga Jotipala. Meskipun penuh dengan nilai-nilai luhur, tetapi karena dilahirkan di dalam keluarga yang tidak percaya beliau seakan-akan buta dan mencerca Sang Tathagata. Walaupun demikian, ketika pergi menghadap Sang Buddha Kassapa, Jotipala menyadari nilai-nilai luhurnya dan menjadi siswa yang setia.”

  7. Kebajikan Si Pembuat Tembikar
    “Dikatakan oleh Sang Buddha, ‘Selama tiga bulan penuh, tempat tinggal Ghatikara si pembuat tembikar tetap berada di alam terbuka, tetapi air hujan tidak akan turun di situ.’[16] Tetapi air hujan membasahi pondok Buddha Kassapa.[17] Mengapa pondok Sang Tathagatha basah? Jika hujan turun di pondok Buddha yang mempunyai banyak kebajikan, maka pastilah bohong jika dikatakan bahwa hujan tidak turun di pondok, Ghatikara karena perbuatan bajiknya yang besar.”

    “O baginda, Ghatikara adalah orang baik yang penuh dengan nilai-nilai luhur, dan kaya akan kebajikan. Dia merawat orang tuanya yang buta dengan segala kerendahan hati. Ketika Ghatikara sedang pergi, beberapa bhikkhu mengambil sejumlah ilalang dari atap rumahnya untuk memperbaiki pondok Buddha Kassapa, karena yakin akan kemurahan hati Ghatikara. Waktu Ghatikara kembali, dia tidak marah maupun kecewa. Dia bahkan merasa sangat gembira karena telah melakukan kebajikan besar dengan memberikan sesuatu kepada Sang Tathagata. Dia berpikir dengan suka cita, ‘Sang Tathagata menaruh kepercayaan yang besar kepadaku.’ Begitu besar kebajikannya sehingga buahnya langsung dapat dipetik di dalam kehidupan itu juga. Sebaliknya, Sang Tathagata tidak kekurangan kebajikan karena hujan membasahi pondok Beliau. Sang Tathagata telah mempertimbangkan demikian, ‘Biarlah orang-orang tidak mencari-cari kesalahan dengan mengatakan bahwa para Buddha menjalani kehidupan dengan menggunakan kekuatan supra-normal-Nya.’ Maka dari itu hujan turun di pondok Beliau, sama seperti di tempat-tempat lain, kecuali pondok Ghatikara ”

  8. Raja atau Brahmana?
    “Sang Buddha berkata, ‘Para bhikkhu, aku adalah seorang brahmana, tempat orang minta pertolongan.’[18] Tetapi pada kesempatan lain Beliau berkata, ‘Sela, aku adalah seorang raja.’[19] Nagasena, jika Sang Buddha adalah seorang raja, maka Beliau pasti berbohong ketika mengatakan bahwa diri-Nya adalah seorang brahmana. Kalau bukan seorang Khattiya (prajurit), Beliau pasti brahmana. Tidak mungkin Beliau termasuk di dalam dua golongan kasta.”

    “Bukan karena kelahiran-Nya maka Beliau menyebut diri-Nya sebagai brahmana, tetapi karena Beliau telah terbebas dari kegelapan batin, dan telah mencapai kepastian pengetahuan, dan karena Beliau-lah yang menjaga tradisi kuno dalam hal mengajar dan belajar di luar kepala, dalam hal pengendalian diri, dan dalam hal disiplin.[20] Dan sebagaimana seorang raja mengatur rakyatnya dengan hukum, Sang Buddha mengatur para siswa-Nya dengan mengajarkan Dhamma, membawa sukacita bagi mereka yang hidup dengan benar, serta mencela mereka yang melanggar hukum yang mulia itu. Dan sebagaimana seorang raja yang memerintah dengan adil akan bertahan lama, demikian juga Sang Buddha dengan sifat-sifat kebajikan-Nya yang khusus membuat ajaran-Nya bertahan lama.”

  9. Cara Hidup yang Benar
    “Anda mengatakan bahwa Sang Buddha tidak menerima persembahan makanan yang diberikan karena membacakan paritta.[21] Tetapi ketika berkhotbah kepada umat awam, terlebih dahulu Beliau biasanya berbicara tentang manfaat berdana dan Beliau menerima persembahan yang diberikan.[22] Jika yang pertama benar, mengapa Beliau menerima persembahan yang diperoleh lewat berkhotbah?” “Adalah kebiasaan Sang Tathagata untuk terlebih dahulu berkhotbah tentang manfaat berdana, dengan tujuan untuk melembutkan hati orang-orang, sebelum melanjutkan berkhotbah tentang moralitas dan hal-hal yang lebih tinggi. Tetapi bukan karena itu lalu para bhikkhu bisa dituduh memberi isyarat, menginginkan persembahan. Ada isyarat yang tidak layak, dan ada isyarat yang tidak tercela. Dalam hal ini, jika seorang bhikkhu yang mengumpulkan dana makanan berdiri di tempat yang tidak tepat atau memberi isyarat, itu merupakan isyarat yang salah.[23] Tetapi jika dia berdiri di tempat yang layak di mana ada orang-orang yang ingin memberi dan dia berjalan terus ketika mereka tidak memberinya, ini tidak salah dan bukan berarti pengisyaratan. Makanan dari si pembajak tanah itu dipersembahkan sebagai usaha membuktikan bahwa masalah mengenai pembacaan paritta itu salah, maka Sang Tathagata menolaknya.”

  10. Keengganan Sang Buddha
    “Anda mengatakan bahwa selama empat maha kalpa dan 100.000 siklus dunia ini Sang Bodhisatta telah melatih kesempurnaan agar mencapai kemahatahuan. Tetapi setelah Beliau mencapai kemahatahuan pikiran-Nya berubah tidak ingin mengajarkan Dhamma.[24] Bagaikan seorang pemanah yang telah berlatih berhari-hari lalu ragu-ragu ketika hari peperangan tiba, demikian juga Sang Buddha ragu-ragu untuk mengajarkan Dhamma. Apakah hal itu disebabkan oleh rasa takut, atau kurangnya kejernihan, atau kelemahan, atau karena Beliau tidak mahatahu sehingga keraguan itu timbul.”

    “Tidak, raja yang agung, hal itu bukan disebabkan oleh alasan-alasan tersebut. Karena sifat Dhamma yang mendalam, dan karena begitu kuatnya kemelekatan serta kegelapan batin para makhluklah maka Sang Buddha menjadi ragu-ragu dan mempertimbangkan kepada siapa Beliau harus mengajarkan Dhamma, serta bagaimana caranya agar mereka dapat mengerti. Seperti halnya, O baginda, ketika seorang raja mengingat-ingat betapa banyaknya orang yang kehidupannya bergantung padanya -para pengawal, anggota istana, pedagang, prajurit, pesuruh, menteri, dan para bangsawan- dia mungkin terbebani oleh pikiran: ‘Bagaimana aku dapat mengambil hati mereka semua?’ Demikian juga, ketika Tathagata mengingat bagaimana kuatnya kemelekatan dan kegelapan batin para makhluk, maka Beliau cenderung untuk tidak bertindak daripada membabarkan ajaran-Nya. Dan juga memang sudah menjadi aturan alam bahwa Sang Buddha harus membabarkan Dhamma atas permohonan Brahma karena pada saat itu semua orang adalah pemuja Brahma dan sangat bergantung pada Brahma. Maka dari itu, jika dewa yang begitu tinggi dan berkuasa seperti Brahma ingin mendengarkan Dhamma, maka seluruh alam dewa dan manusia cenderung akan begitu juga. Karena alasan itu maka sebelum membabarkan Dhamma, Sang Buddha menunggu agar diminta.”

  11. Guru-guru Sang Buddha
    “Sang Buddha berkata, ‘Aku tidak mempunyai guru.’ Tidak ada yang seperti aku. Di dunia ini, dengan para dewanya, tak seorang pun yang menyamaiku.’[25] Tetapi Beliau juga berkata ‘Karena itulah, O para bhikkhu, Alara si Kalama yang menjadi guruku, menempatkan aku, muridnya, pada tingkat yang seperti dirinya dan menghormati aku dengan penghormatan tertinggi.’[26] Ini juga merupakan masalah yang bersisi dua.”

    “O baginda, ketika Sang Buddha berbicara mengenai Alara si Kalama sebagai guru-Nya, Beliau mengacu pada saat Beliau masih menjadi Bodhisatta dan belum mencapai kebuddhaan. Alara si Kalama semata-mata hanyalah guru untuk kebijaksanaan duniawi. Untuk masalah-masalah yang luar biasa tingginya -seperti pengetahuan tentang Empat Kesunyataan Mulia dan nibbana- Beliau berkata, ‘Aku tidak mempunyai guru. Tidak ada yang seperti aku. Di dunia ini, dengan para dewanya, tak seorang pun yang menyamaiku.’”
Catatan:
[1]. Sn. syair 207.
[2]. Vin. ii. 147; S. i. 100.
[3]. Dhp. syair 168. Ketika Sang Buddha kembali ke kota kelahirannya, Beliau pergi mengumpulkan dana makanan setelah sanak saudaranya tidak juga mengundang Beliau untuk makan.
[4]. M. ii. 7.
[5]. Ja. No. 429.
[6]. Iti. 101.
[7]. A. i. 24.
[8]. S. syair 41.
[9]. S. iii. 66; bandingkan S. i. 190.
[10]. Yaitu, Jalan menuju nibbana. S. ii. 105.
[11]. D. iii. 166.
[12]. Ja. iii. 30 dst., 514 dst.: dalam cerita Jataka, Kassapa memerintahkan membantai amat banyak binatang, namun ketika semua binatang telah diikat pada tiang, dia tersadar dan kemudian membebaskan semuanya. [13]. Bandingkan Vin. iii. 32, tidak ada pelanggaran bila pelakunya gila.
[14]. Ja. syair 49.
[15]. M. ii. 47, Sta. 81.
[16]. M. ii. 53.
[17]. M. ii. 54.
[18]. Iti. 101.
[19]. Sn. syair 554.
[20]. Lihat Dhp. Brahmanavagga.
[21]. S. i. 167, Sn. syair 81.
[22]. Bandingkan D. i. Sta. 5.
[23]. Vism. 28.
[24]. Vin. i. 5; bandingkan S. i. 136.
[25]. Vin. i. 8; M. i. 171
[26]. M. i. 165.
Share:

0 Komentar:

Posting Komentar