Sabtu, 09 Februari 2013

Milinda Panha Bab XV Pemecah Dilema Bagian 8

 on  with No comments 
In ,  
  1. Pemberian Vessantara[1]
    “Yang Mulia Nagasena, apakah semua Bodhisatta memberikan istri dan anaknya atau hanya Vessantara saja?” “Semuanya.” “Tetapi apakah semua isteri dan anaknya setuju?” “Para isteri menyetujuinya, tetapi anak-anaknya tidak setuju, karena usia mereka yang masih muda.” “Tetapi apakah tindakan itu bajik, karena anak-anaknya ketakutan dan menangis ketika mereka ditinggalkan?” “Ya. Seperti halnya seseorang yang ingin berbuat kebajikan mungkin akan mengajak orang cacat di dalam keretanya ke mana pun dia pergi sehingga membuat kerbaunya menderita; atau seperti halnya seorang raja mungkin menarik pajak untuk dapat berbuat kebajikan yang besar; demikian juga tindakan memberi. Meskipun hal itu dapat menyebabkan kesedihan yang mendalam bagi beberapa orang, tetapi akan membawa kelahiran kembali di alam surga. Apakah ada, O baginda, pemberian yang seharusnya tidak diberikan?”

    “Ya, Nagasena, ada sepuluh macam pemberian yang seharusnya tidak diberikan, pemberian yang akan menyebabkan kelahiran kembali di alam yang menyedihkan:
    1. Pemberian yang dapat membuat mabuk,
    2. Pemberian pesta,
    3. Pemberian wanita,
    4. Pemberian pria,[2]
    5. Pemberian dengan maksud-maksud tertentu,
    6. Pemberian senjata,
    7. Pemberian racun,
    8. Pemberian rantai atau alat penyiksaan,
    9. Pemberian unggas dan babi,
    10. Pemberian timbangan dan alat ukur palsu.”
    “Saya tidak bertanya tentang pemberian yang tidak disetujui secara duniawi. Saya bertanya tentang pemberian yang tidak boleh diberikan sewaktu ada orang yang patut menerimanya.” “Kalau begitu, Nagasena, tidak ada pemberian yang tidak seharusnya diberikan. Bilamana keyakinan pada Dhamma telah muncul, beberapa orang memberikan uang sejumlah seratus ribu, atau sebuah kerajaan, atau bahkan kehidupan mereka.”

    “Kalau begitu, mengapa baginda mengkritik pemberian Vessantara dengan begitu sengitnya? Bukankah terkadang ada kasus di mana seseorang yang terlilit utang mungkin menjual anaknya atau menanggungkannya sebagai agunan? Demikian juga, Vessantara memberikan anaknya sebagai tekad bagi pencapaian kemahatahuannya di masa depan.” “Tetapi mengapa dia tidak memberikan dirinya sendiri saja?”

    “Karena bukan itu yang diminta. Menawarkan sesuatu yang lain akan menjadi rendah nilainya. Lagipula, O baginda, Vessantara tahu bahwa Brahmana tersebut tidak akan mampu mempekerjakan anak-anaknya sebagai budak dalam jangka waktu yang lama karena dia telah lanjut usia dan kakek mereka akan menebus mereka kembali.” “Dengan baik sekali, Nagasena, teka-teki ini telah tersingkap dan jaring klenik telah terobek-robek. Betapa indahnya kata-kata kitab suci dipertahankan ketika Anda menjelaskan makna yang tersirat. Demikianlah adanya, dan aku menerimanya seperti kata Anda.”

  2. Latihan yang Amat Keras
    “Apakah semua Bodhisatta berlatih amat keras, atau hanya Bodhisatta Gotama?” “Hanya Bodhisatta Gotama.[3] Ada empat perbedaan di antara para Bodhisatta, yaitu tentang:
    1. Keluarga (yaitu kasta ksatria atau kasta brahmana),
    2. Lamanya waktu untuk mengembangkan kesempurnaan,
    3. Masa hidup, dan
    4. Ketinggiannya.
    Tetapi tidak ada perbedaan di antara para Buddha dalam hal moralitas atau kebijaksanaan. Untuk membawa pengetahuannya menuju kematanganlah maka beliau harus berlatih amat keras.” “Kalau begitu, Nagasena, mengapa beliau pergi ketika pengetahuannya masih belum matang? Mengapa beliau tidak mematangkan pengetahuannya terlebih dahulu dan kemudian baru meninggalkan kehidupan duniawi?” “Ketika Bodhisatta, O baginda, melihat wanita di haremnya tidur dengan tidak keruan, beliau merasa muak dan tidak puas. Ketika melihat bahwa pikiran beliau dipenuhi ketidakpuasan, Mara berkata, ‘Tujuh hari dari sekarang engkau akan menjadi Bangsawan Penguasa Dunia.’ Tetapi Sang Bodhisatta malahan merasa seolah-olah sepotong besi panas masuk ke telinganya, dan beliau dipenuhi kekhawatiran dan ketakutan. Lebih jauh lagi, O baginda, Sang Bodhisatta berpikir, ‘Jangan sampai aku dicela oleh para dewa dan manusia karena tidak memiliki pekerjaan atau sarana. Biarlah aku menjadi orang yang mau bertindak dan tetap tulus.’ Jadi Sang Bodhisatta menggunakan latihan keras tersebut untuk mematangkan pengetahuannya.”

    “Yang Mulia Nagasena, ketika Sang Bodhisatta sedang menjalani latihan keras, hal ini muncul di dalam benaknya, ‘Tidakkah mungkin ada jalan lain menuju pengetahuan yang lebih tinggi yang dapat dicapai orang mulia?’ Apakah kemudian beliau bingung mengenai jalan yang benar itu?”

    “Ada dua puluh lima kondisi, O baginda, yang menyebabkan lemahnya pikiran:
    1. kemarahan;
    2. permusuhan;
    3. kemunafikan;
    4. kecongkakan;
    5. keirihatian;
    6. ketamakan;
    7. kebohongan;
    8. pengkhianatan;
    9. kekeraskepalaan;
    10. suka melawan;
    11. kesombongan;
    12. suka pujian;
    13. pandangan yang berlebihan mengenai kesehatan, kelahiran, kekayaan;
    14. ketidakpedulian;
    15. keengganan;
    16. rasa mengantuk dan malas;
    17. teman yang jahat;
    18. objek yang terlihat;
    19. suara;
    20. bau;
    21. cita rasa;
    22. sensasi sentuhan;
    23. rasa lapar;
    24. rasa haus; dan
    25. ketidakpuasan.
    Pada saat itu rasa lapar serta rasa hauslah yang menguasai tubuhnya sehingga pikirannya menjadi tidak terarah dengan benar untuk memusnahkan banjir (asava). Sang Bodhisatta telah mencari penembusan Empat Kesunyataan Mulia selama beberapa mahakalpa, jadi bagaimana mungkin dapat muncul kebingungan di dalam pikirannya tentang Sang Jalan? Meskipun demikian, beliau berpikir, ‘Tidakkah mungkin ada jalan lain untuk mencapai kebijaksanaan?’ Sebelumnya, ketika masih berusia beberapa tahun Sang Bodhisatta telah mencapai empat pencerapan (jhana) ketika sedang bermeditasi di bawah pohon apel-mawar ketika ayahnya sedang membajak.”[4] “Bagus sekali, Nagasena, aku menerimanya seperti apa yang Anda katakan. Ketika sedang membawa pengetahuannya menuju kematangan itulah Sang Bodhisatta berlatih amat keras.”

  3. Kekuatan Kejahatan
    “Manakah yang lebih kuat, kebajikan atau ketidakbajikan?”[5] “Kebajikan lebih kuat, O baginda.” “Hal itu tidak dapat aku percaya. Orang-orang yang melakukan kejahatan sering mengalami hasil perbuatannya pada kehidupan sekarang ini juga ketika mereka dihukum karena kejahatannya.[6] Tetapi apakah ada orang yang -karena memberikan persembahan bagi Sangha atau menjalankan Uposatha- menerima manfaatnya pada kehidupan sekarang ini juga?”

    “Ada, O baginda, enam[7] kasus seperti itu.
    1. Si budak, Punnaka,[8] dengan memberikan dana makanan kepada Sariputta, pada hari yang sama diangkat menjadi bendahara.
    2. Kemudian ada juga ibu kandung Gopala, yang menjual rambutnya agar dapat memberikan makanan kepada Maha Kaccayana, dan sebagai hasilnya menjadi permaisuri Raja Udena.
    3. Si wanita saleh Suppiya, yang memotong daging di pahanya untuk memberi makan seorang bhikkhu yang sakit dan keesokan harinya luka di pahanya sembuh.
    4. Mallika -ketika masih menjadi seorang budak wanita memberikan makanannya sendiri kepada Sang Buddha dan pada hari itu juga menjadi permaisuri di Kosala.
    5. Sumana, tukang bunga, yang memberikan delapan ikat bunga melati kepada Sang Buddha, memperoleh kemakmuran yang melimpah.
    6. Ekasataka si Brahmana yang memberikan satu-satunya pakaian luarnya kepada Sang Buddha, dan pada hari itu juga menerima pemberian ‘Serba Delapan’.”[9]
    “Jadi Nagasena, dari semua penyelidikan Anda, hanya enam kasuskah yang ditemukan?” “Demikianlah, O baginda.”

    “Kalau begitu, ketidakbajikan lebih kuat daripada kebajikan. Karena aku telah melihat banyak orang ditusuk dengan senjata tajam sebagai hukuman atas perbuatan jahat mereka. Dan di dalam peperangan yang dipimpin oleh Jenderal Bhaddasala mewakili keluarga kerajaan Nanda melawan Chandagutta ada delapan puluh Tarian Mayat. Dikatakan bahwa ketika terjadi pembantaian besar-besaran, mayat-mayat tanpa kepala tersebut bangkit kembali dan menari di medan perang. Dan semua orang itu hancur sebagai buah dari perbuatan jahat mereka. Tetapi ketika Raja Pasenadi -raja Kosala- memberikan persembahan dana makanan yang tidak tertandingi, apakah di kehidupan itu juga dia menerima kekayaan atau keagungan atau kebahagiaan?” “Tidak, O baginda, tidak.”

    “Kalau begitu, Nagasena, tentu saja ketidakbajikan lebih kuat daripada kebajikan.” “Seperti halnya, O baginda, padi yang jelek akan masak dalam waktu satu atau dua bulan, tetapi padi yang baik akan masak baru setelah lima atau enam bulan; demikian juga perbuatan bajik akan berbuah setelah jangka waktu yang lama. Lebih jauh lagi, O baginda, hasil dari perbuatan bajik maupun perbuatan jahat akan dialami di dalam kehidupan yang akan datang; tetapi karena kejahatan itu tercela, maka ditetapkan bahwa mereka yang berbuat jahat akan dihukum sesuai undang-undang. Sebaliknya, mereka yang berbuat bajik tidak mendapat hadiah. Jika seandainya ditetapkan suatu hukum untuk memberikan hadiah kepada pelaku perbuatan bajik, maka perbuatan-perbuatan bajik juga akan menghasilkan buah di dalam kehidupan ini juga.”

    “Bagus sekali, Nagasena, hanya oleh orang sebijaksana Anda teka-teki semacam ini dapat diselesaikan. Pertanyaan yang kuajukan dari sudut pandang yang biasa telah Anda jelaskan dengan pengertian yang luar biasa.”

  4. Membagikan Jasa
    “Apakah ada kemungkinan bagi keluarga yang telah meninggal untuk ikut menerima jasa dari suatu perbuatan bajik?” “Tidak. Hanya mereka yang dilahirkan sebagai setan kelaparan yang makanannya adalah perbuatan bajik orang lainlah yang dapat ikut menerima jasa. Mereka yang dilahirkan di neraka, surga, terlahir sebagai binatang, setan kelaparan yang makanannya muntahan, atau setan yang selalu lapar dan haus, atau setan kelaparan yang dipenuhi nafsu keinginan, tidak akan mendapatkan manfaat.” “Kalau begitu, persembahan di dalam kasus-kasus itu tidak ada gunanya, karena mereka yang diberi tidak mendapat manfaat.”

    “Tidak demikian, O baginda. Persembahan-persembahan itu bukannya tidak berbuah atau tanpa hasil, karena si pemberi sendiri mendapat manfaat darinya.”

    “Yakinkanlah aku dengan alasan.” “Bila beberapa orang telah menyiapkan hidangan dan mengunjungi sanak saudaranya, tetapi sanak saudara mereka tidak menerima pemberian itu, apakah pemberian tersebut menjadi sia-sia?” “Tidak, Yang Mulia, si pemilik sendiri dapat memakannya.” “Demikian juga, O baginda, si pemberi persembahan mendapatkan mafaat dari persembahan dana tersebut.” “Kalau begitu, apakah juga mungkin membagikan ketidakbajikan?”

    “Ini bukanlah pertanyaan yang patut diajukan, O baginda. Anda kemudian akan bertanya kepada saya mengapa ruang angkasa tidak berbatas dan mengapa manusia dan burung berkaki dua sedangkan rusa berkaki empat!” “Aku tidak bertanya begitu untuk menjengkelkan Anda, tetapi ada banyak orang di dunia ini yang bertujuan jahat[10] atau tidak dapat melihat.”[11] “Meskipun air dari dalam tangki dapat digunakan untuk membuat tanaman tumbuh dan berbuah, tetapi air laut tidak mungkin digunakan. Perbuatan jahat tidak dapat dibagikan kepada siapa pun yang tidak melakukannya dan tidak menyetujuinya. Orang dapat mengalirkan air ke tempat yang jauh dengan mengunakan pipa tetapi mereka tidak dapat mengalirkan batu yang padat dengan cara yang sama. Ketidakbajikan adalah sesuatu yang jahat, sedangkan kebajikan adalah sesuatu yang luar biasa.”

    “Berikanlah ilustrasi.” “Jika setetes air jatuh ke tanah, apakah air itu dapat mengalir sepanjang lima puluh atau enam puluh kilometer?” “Tentu saja tidak, Yang Mulia. Titik air itu hanya akan mempengaruhi tanah di mana ia jatuh.” “Mengapa demikian?”

    “Karena sifat sedikitnya.” “Demikian juga, O baginda, ketidakbajikan adalah sesuatu yang jahat dan karena sifat sedikitnya, ia hanya dapat mempengaruhi si pelaku saja dan tidak dapat dibagikan. Tetapi jika ada hujan badai yang sangat hebat, apakah airnya akan sampai ke mana-mana?” “Tentu saja, Yang Mulia, bahkan bisa sejauh lima puluh atau enam puluh kilometer.” “Demikian juga, O baginda, kebajikan adalah sesuatu yang hebat dan karena sifat melimpahnya, ia dapat dibagikan baik kepada manusia maupun dewa.” “Yang Mulia Nagasena, mengapa ketidakbajikan begitu terbatas sifatnya, sedangkan kebajikan dapat menjangkau lebih jauh?”

    “Siapa pun, O baginda, yang memberikan persembahan, menjalankan moralitas dan mempraktekkan Uposatha, dia akan merasa gembira dan damai. Karena damai, kebajikannya bahkan menjadi makin melimpah. Bagaikan kolam yang segera terisi penuh lagi dari segala arah setelah air mengalir keluar dari satu sisi. Demikian juga, O baginda, jika seseorang mengirimkan kebajikan yang telah dilakukannya kepada orang lain, bahkan selama seratus tahun pun kebajikannya akan semakin bertumbuh. Itulah sebabnya kebajikan begitu hebat. Tetapi dengan perbuatan jahat, O baginda, orang akan dipenuhi oleh penyesalan dan pikirannya tidak akan dapat terlepas dari buah pikir tentang hal itu. Dia akan merasa tertekan dan tidak memperoleh kedamaian, karena merasa sengsara dan putus asa dia menjadi tersia-sia. Seperti halnya, O baginda, setetes air yang jatuh di sungai yang kering tidak akan menambah isi sungai itu melainkan langsung tertelan di tempat itu juga. Itulah sebabnya ketidakbajikan sangat jahat dan mempunyai sifat sedikit.”

  5. Mimpi
    “Apakah sesuatu yang disebut mimpi itu dan siapakah yang bermimpi?” “Mimpi adalah tanda yang datang melintasi jalur pikiran. Dan ada enam jenis orang yang bermimpi, yaitu orang yang dipengaruhi:
    1. oleh angin;
    2. oleh empedu,
    3. oleh lendir,
    4. oleh dewa,
    5. oleh kebiasaannya sendiri, dan
    6. oleh firasat.
    Hanya yang terakhir inilah yang benar, sedang yang lain semuanya tidak benar.” “Ketika orang bermimpi, apakah dia sedang terjaga atau tidur?” “Tidak kedua-duanya. Dia bermimpi ketika sedang ‘tidur-tidur ayam’, yaitu keadaan antara tidur dan sadar.”

  6. Kematian Prematur
    “Yang Mulia Nagasena, apakah semua makhluk hidup mati ketika jangka waktu hidup mereka telah berakhir, atau apakah beberapa di antaranya mati prematur?” “Keduanya, O baginda. Seperti buah di pohon yang terkadang jatuh ketika telah masak dan terkadang sebelum masak karena pengaruh angin, atau serangga, atau tongkat. Demikian juga beberapa makhluk mati ketika jangka waktu hidup mereka telah berakhir, tetapi ada juga yang mati prematur.” “Tetapi Nagasena, semua yang mati sebelum waktunya tersebut, baik yang tua atau muda, telah mencapai akhir dari jangka waktu hidup yang telah ditentukan sebelumnya. Jadi tidak ada yang dinamakan mati prematur.”

    “O baginda, ada tujuh macam kematian prematur bagi mereka yang mati secara prematur, walaupun mereka itu sebenarnya masih mempunyai sisa waktu hidup:
    1. karena kelaparan,
    2. kehausan,
    3. gigitan ular,
    4. racun,
    5. api,
    6. tenggelam,
    7. senjata.
    Dan kematian datang melalui delapan cara:
    1. melalui angin,
    2. empedu,
    3. lendir,
    4. campuran cairan tubuh,
    5. perubahan temperatur,
    6. tekanan keadaan lingkungan,
    7. pengaruh luar, dan
    8. karma.[12]
    Dan dari semua tadi, hanya yang melalui karma saja yang disebut akhir dari jangka waktu hidupnya. Yang lain semuanya prematur.”

    “Yang Mulia Nagasena, Anda mengatakan ada kematian prematur. Berikanlah alasan lain untuk itu.” “Api besar, O baginda, yang kehabisan tenaga dan mati ketika bahan bakarnya telah habis -bukan sebelumnya karena berbagai penyebab lain- dikatakan telah mati pada waktunya. Demikian juga dengan orang yang mati dalam usia tua -tanpa ada kecelakaan apa pun- dikatakan telah mencapai akhir jangka waktu hidupnya. Tetapi di dalam kasus api yang dipadamkan oleh hujan deras, tidak dapat dikatakan bahwa api itu telah mati pada waktunya. Demikian juga, siapa pun yang mati sebelum waktunya karena penyebab selain karma dikatakan mati prematur.”

  7. Mukjizat di Tempat Pemujaan Para Arahat
    “Apakah ada mukjizat di tempat pemujaan (cetiya) semua Arahat atau hanya pada cetiya beberapa Arahat saja?” “Hanya pada beberapa. Dengan tekad kemauan keras dari tiga macam individu maka akan terjadi mukjizat:
    1. oleh seorang Arahat ketika beliau masih hidup,
    2. oleh para dewa, atau
    3. oleh seorang siswa bijaksana yang mempunyai keyakinan.
    Jika tidak ada tekad kemauan keras maka tidak akan ada mukjizat, sekalipun di tempat pemujaan para Arahat yang mempunyai kekuatan supra-normal. Tetapi meskipun tidak ada mukjizat, orang harus mempunyai keyakinan terhadap mereka setelah mengetahui perilaku mereka yang murni tanpa cela.”

  8. Dapatkah Semua Memahami Dhamma?
    “Apakah semua yang berlatih dengan benar mencapai pandangan terang mengenai Dhamma, atau adakah beberapa yang tidak mencapainya?”

    “Tidak akan ada pencapaian pandangan terang bagi mereka yang -meskipun telah berlatih dengan benar- merupakan binatang, setan kelaparan, para penganut pandangan salah, penipu, pembunuh ibu, pembunuh ayah, pembunuh Arahat, pemecah belah Sangha, yang melukai seorang Tathagata, yang memakai jubah dengan mencurinya,[13] yang berpindah ke sekte lain, yang bertindak kejam kepada bhikkhuni, menyembunyikan pelanggaran yang menyebabkan perlunya pertemuan Sangha,[14] orang kasim atau banci. Demikian juga anak yang berusia di bawah tujuh tahun tidak akan mampu mewujudkan Dhamma.” “Apakah alasannya sehingga anak yang berusia di bawah tujuh tahun tidak dapat mencapai pandangan terang? Bukankah pikiran seorang anak itu murni dan seharusnya siap untuk mewujudkan Dhamma?”

    “Jika seandainya saja, baginda, seorang anak di bawah tujuh tahun dapat merasakan nafsu untuk hal-hal yang menyebabkan nafsu, dapat merasakan kebencian untuk hal-hal yang menimbulkan kebencian, dapat dibodohi oleh hal-hal yang menyesatkan dan dapat membedakan antara kebajikan dan ketidakbajikan, maka pandangan terang adalah mungkin baginya. Tetapi, baginda, pikiran anak yang berusia di bawah tujuh tahun masih lemah sedangkan unsur nibbana yang tak-terkondisi itu berat dan dalam. Oleh karenanya, O baginda, meskipun berlatih dengan benar, anak yang berusia di bawah tujuh tahun tidak dapat mewujudkan Dhamma.”

  9. Kebahagiaan Nibbana
    “Apakah nibbana itu sepenuhnya membahagiakan ataukah sebagian menyakitkan?” “Sepenuhnya membahagiakan.” “Hal itu tidak dapat aku terima. Mereka yang mencarinya harus berlatih amat keras dan berjuang amat keras dengan tubuh dan pikiran, tidak makan kecuali pada saat yang tepat, mengurangi tidur, mengendalikan indera, dan mereka harus meninggalkan kekayaan, keluarga, dan teman-temannya. Mereka yang menikmati kesenangan-kesenangan indera merasa bahagia tetapi Anda mengendalikan diri dan mencegah kenikmatan semacam itu sehingga mengalami ketidaknyamanan dan rasa sakit secara fisik maupun mental.”

    “O baginda, nibbana tidak mempunyai rasa sakit. Apa yang baginda sebut rasa sakit itu bukanlah nibbana. Memang benar bahwa mereka yang sedang mencari nibbana akan mengalami rasa sakit dan ketidaknyamanan, tetapi sesudah itu mereka akan mengalami kebahagiaan nibbana yang tidak ternoda. Saya akan memberikan alasan untuk itu. Apakah ada, O baginda, suatu kebahagiaan tertentu yang diperoleh karena kedaulatan raja?” “Ya, ada.” “Apakah hal itu bercampur dengan rasa sakit?” “Tidak.”

    “Kalau begitu, O baginda, mengapa bila prajurit daerah-daerah di perbatasan memberontak, raja-raja harus meninggalkan istananya dan menempuh perjalanan di tanah yang tidak rata, menderita akibat gigitan nyamuk dan angin yang panas, dan terlibat pertempuran sengit yang membahayakan nyawa mereka?” “Itu, Yang Mulia Nagasena, bukanlah kebahagiaan dari kedaulatan raja. Itu hanyalah tahap awal dari pencarian kebahagiaan tersebut. Baru sesudah memenangkan pertempuran maka mereka dapat menikmati kebahagiaan suatu kedaulatan. Dan kebahagiaan itu, Nagasena, tidak bercampur dengan rasa sakit.” “Demikian juga, O baginda, nibbana adalah kebahagiaan yang tidak ternoda, dan tidak ada rasa sakit yang tercampur di dalamnya.”

  10. Gambaran tentang Nibbana
    “Apakah mungkin, Nagasena, menunjukkan ukuran, bentuk, atau jangka waktu nibbana dengan menggunakan perumpamaan?” “Tidak, hal itu tidak mungkin. Tidak ada hal lain yang menyerupainya.” “Apakah ada sifat nibbana yang terdapat pada hal-hal lain yang dapat ditunjukkan dengan perumpamaan?” “Ya, itu dapat dilakukan.

    “Bagaikan teratai yang tidak basah oleh air, nibbana tidak tercemar oleh kegelapan batin. “Bagaikan air, nibbana mendinginkan panasnya kegelapan batin dan meredakan nafsu keinginan. “Bagaikan obat, nibbana melindungi makhluk yang terkena racun kegelapan batin, menyembuhkan penyakit penderitaan, dan memberi gizi seperti nektar.

    “Bagaikan samudera yang kosong dari mayat, nibbana sama sekali kosong dari kegelapan batin; seperti samudera yang tidak bertambah walaupun semua air sungai mengalir ke dalamnya, demikian juga nibbana tidak akan bertambah dengan semua makhluk yang mencapainya; nibbana adalah tempat bagi para makhluk agung (para Arahat), dan ia dihiasi oleh gelombang pengetahuan dan kebebasan.

    “Bagaikan makanan yang menopang kehidupan, nibbana menyingkirkan usia tua dan kematian; nibbana meningkatkan kekuatan spiritual para makhluk; nibbana memberikan keindahan moralitas, nibbana menghilangkan tekanan kegelapan batin, nibbana menghalau kelelahan semua penderitaan. “Bagaikan ruang, nibbana tidak dilahirkan, tidak lapuk ataupun hancur, nibbana tidak berlalu di sini dan muncul di tempat lain, nibbana tidak terkalahkan, pencuri tidak dapat mengambilnya, nibbana tidak terikat pada apa pun, nibbana adalah lingkup bagi para Ariya ibarat burung-burung di angkasa, nibbana tidak terhalangi dan tidak terhingga.

    “Bagaikan permata yang bisa mengabulkan segala permintaan, nibbana memenuhi semua keinginan, menyebabkan sukacita dan berkilau. “Bagaikan kayu cendana merah, nibbana sulit didapat, keharumannya tak ada bandingnya dan nibbana dipuji orang-orang bajik. “Bagaikan ghee yang dikenal karena sifat khasnya, begitu juga nibbana mempunyai sifat khas sendiri; seperti ghee yang beraroma harum, begitu juga nibbana memiliki keharuman moralitas; seperti ghee yang mempunyai cita rasa yang lezat, begitu juga nibbana mempunyai kelezatan cita rasa kebebasan.” “Bagaikan puncak gunung, nibbana sangat tinggi, tidak tergoyahkan, tidak ada jalan masuk bagi kegelapan batin; nibbana tidak mempunyai ruang bagi kegelapan untuk dapat tumbuh, dan nibbana tidak memihak atau berprasangka.”

  11. Perwujudan Nibbana
    “Anda mengatakan, Nagasena, bahwa nibbana itu bukan masa lalu, bukan masa kini, dan bukan masa mendatang, bukan timbul dan bukan pula tidak-timbul, dan tidak dapat dihasilkan.[15] Dalam hal itu, apakah orang yang mewujudkan nibbana berarti mewujudkan sesuatu yang telah dihasilkan, atau dia sendiri yang pertama-tama menghasilkannya dan baru kemudian mewujudkannya?” “Bukan itu semua O baginda, tetapi nibbana itu benar-benar ada.” “Nagasena, janganlah menjawab pertanyaan ini dengan membuatnya semakin kabur. Jelaskanlah dan babarkanlah. Nibbana merupakan titik yang membuat banyak orang menjadi bingung dan tersesat di dalam keraguan. Patahkanlah anak panah ketidakpastian ini.”

    “Unsur nibbana itu benar-benar ada, O baginda. Bila orang telah berlatih dengan benar dan sungguh-sungguh mengerti bentukan-bentukan menurut apa yang telah diajarkan oleh Sang Penakluk, maka dengan kebijaksanaannya dia mewujudkan nibbana.

    “Dan bagaimanakah nibbana ditunjukkan? Dengan terbebasnya dari rasa tertekan dan bahaya, dengan kemurnian dan kesejukan. Seperti halnya seseorang, yang ketakutan dan ngeri karena telah terjatuh ke tangan musuh, akan merasa lega dan sangat berbahagia ketika dia dapat meloloskan diri ke tempat yang aman; atau seperti halnya seseorang yang terjatuh di lubang yang penuh kotoran akan merasa lega dan gembira setelah keluar dari lubang itu dan membersihkan diri; seperti halnya seorang yang terjebak api di hutan akan menjadi tenang dan merasakan kesejukan setelah dia mencapai daerah yang aman. Baginda seharusnya menganggap kecemasan yang timbul terus-menerus karena kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian itu sebagai sesuatu yang menakutkan dan mengerikan. Baginda seharusnya menganggap keuntungan, kehormatan dan ketenaran itu sebagai kotoran. Baginda seharusnya menganggap api berunsur tiga -lobha (keserakahan), dosa (kebencian) dan moha (kegelapan batin)- sebagai sesuatu yang panas dan menusuk.

    “Dan bagaimana orang yang berlatih dengan benar dapat mewujudkan nibbana? Dengan benar dia memahami sifat bentukan yang terus berputar dan di sana dia hanya melihat kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian; dia tidak melihat sesuatu yang menyenangkan atau yang serasi di bagian mana pun juga. Karena melihat bahwa tidak ada yang dapat dilekati di sana, bagaikan berada di atas bola besi yang panas membara, pikirannya dipenuhi dengan ketidakpuasan, dan panas menjalar di seluruh tubuhnya; karena merasa putus asa dan tanpa perlindungan, dia menjadi muak dengan kehidupan yang berulang-ulang. Dan bagi orang yang melihat ngerinya rantai kehidupan yang terus berjalan, timbullah pemikiran: ‘Roda kehidupan ini berada di atas api dan menyala, penuh dengan penderitaan dan keputusasaan. Jika saja ada akhir dari semua ini, akhir itu akan penuh dengan kedamaian, dan hal itu luar biasa; berhentinya semua bentukan mental, lepasnya kemelekatan, musnahnya keserakahan, hancurnya nafsu keinginan, berhentinya penderitaan, nibbana!

    “Dari situ pikirannya melompat ke depan menuju keadaan di mana tidak ada lagi dumadi. Pada saat itulah dia menemukan kedamaian, kemudian dia bersyukur dan bersukacita pada pemikiran: ‘Sebuah perlindungan akhirnya ditemukan!’ Dia terus berusaha keras di dalam Sang Jalan untuk menghentikan segala bentukan, menemukan caranya, mengembangkannya, dan memanfaatkan sebaik-baiknya. Untuk tujuan itulah dia membangkitkan kewaspadaan, semangat dan sukacitanya; dan dengan berulang-ulang memperhatikan pemikiran itu [muak pada bentukan-bentukan mental], setelah melampaui rantai kehidupan yang terus berjalan, dia dapat memutuskan lingkaran itu. Orang yang telah memutuskan rantai kehidupan yang terus berjalan ini dikatakan telah mewujudkan nibbana.”[16]

  12. Di manakah Nibbana?
    “Apakah ada tempat, Nagasena, di mana nibbana tersimpan?” “Tidak, tidak ada, tetapi nibbana itu sungguh-sungguh ada. Seperti halnya tidak ada tempat di mana api disimpan tetapi api dapat dihasilkan dengan menggosokkan dua batang kayu kering.” “Tetapi adakah tempat di mana orang bisa berdiri dan mewujudkan nibbana?” “Ya, ada; moralitas adalah tempatnya;[17] dengan berdiri di atas moralitas, dan dengan penalaran, di mana pun dia berada, bisa di Sychtia atau di Bactria, di China atau Tibet,[18] di Kashmir atau Gandhara, di puncak gunung atau surga tertinggi, orang yang berlatih dengan benar dapat mewujudkan nibbana.”

    “Bagus sekali, Nagasena, Anda telah mengajarkan nibbana, telah menjelaskan tentang perwujudan nibbana, telah memuji kualitas moralitas, menunjukkan cara berlatih yang benar, menjunjung tinggi panji-panji Dhamma, memantapkan Dhamma sebagai prinsip utama. Tidak akan sia-sia atau tanpa buah usaha orang-orang yang mempunyai tujuan yang benar.”
Catatan:
[1]. Ja. vi. 479 dst.
[2]. Usabha, menurut PED, adalah seekor banteng yang menjadi pemimpin kelompok, atau pria yang amat kuat. YM Ledi Sayadaw menggambarkan usabha sebagai banteng amat istimewa yang dapat melindungi seluruh kelompok, bahkan seluruh desa, dari penyakit. Mungkin inilah alasan mengapa dia tidak boleh diberikan. Tetapi dalam konteks di atas, pemberian berupa seorang pria lebih konsisten artinya dengan pemberian berupa seorang wanita, keduanya tidaklah pantas.
[3]. M. Sta. 81, Ap. 301 – sebagai akibat mencaci maki Buddha Kassapa di dalam kehidupan yang lampau. Lihat Dilema 46 hal. 123.
[4]. M. i. 246, Ja. i. 57.
[5]. Bandingkan Pertanyaan No. 7 di atas, hal. 53
[6]. Raja menarik kesimpulan dengan berkata bahwa para penjahat mengalami akibat perbuatan jahatnya ketika mereka dihukum. Lihat Dilema 8; “Tanpa penglihatan seorang Buddha, tidak ada orang yang mampu memastikan jangkauan jalannya karma”.
[7]. Tujuh, termasuk 5 dari 6 ini, diacu sebelumnya dari Dilema 4 hal. 69; tambahannya adalah Punna si pekerja dan Punna si budak wanita. Yang tidak termasuk di atas adalah Punnaka si budak.
[8]. Daso dan dasi mengacu pada’budak’; bhatako adalah seseorang yang bekerja dan menerima gaji.
[9]. Delapan gajah, 8 kuda, 8000 kahapana, 8 wanita, 8 budak, dan hasil penjualan dari 8 desa.
[10]. Vamagamino; papagahino -berpikiran jahat, memiliki pandangan salah.
[11]. Vicakkhuka – tak bermata, atau mungkin sekadar ‘benar-benar bodoh’.
[12]. Lihat Dilema 8, hal. 73.
[13]. Vin. i. 86 -mengenakan jubah sendiri dan berpura-pura sebagai bhikkhu.
[14]. Anehnya, tidak disebutkan di dalam daftar ini mereka yang bersalah melanggar Parajika, tetapi mereka dapat dianggap penipu.
[15]. Tidak terlacak, tetapi bandingkan Dilema 65, hal. 148.
[16]. Seluruh bacaan telah diatur ulang untuk membuatnya lebih padat.
[17]. Bandingkan Pertanyaan no. 9 hal.11.
[18]. Cilata mungkin adalah Tibet. Lihat Geography of Early Buddhism, B.C. Law.
Share:

0 Komentar:

Posting Komentar