Sabtu, 09 Februari 2013

Bab XVIII Perumpamaan

 on  with No comments 
In ,  
Perumpamaan[1]
“Yang Mulia Nagasena, apakah sifat-sifat yang harus dimiliki seorang bhikkhu agar dapat mencapai tingkat Arahat?”
1. Keledai
“Seperti halnya, O baginda, seekor keledai, tidak akan beristirahat lama di mana pun ia berbaring; demikian juga seorang bhikkhu yang berniat mencapai tingkat Arahat tidak akan beristirahat lama.”

2. Ayam
“Seperti halnya ayam bertengger pada saat yang tepat; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya segera melaksanakan tugas-tugasnya[2] setelah mengumpulkan dana makanan dan pergi ketempat yang sunyi untuk bermeditasi. “Seperti halnya seekor ayam bangun pagi; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya bangun pagi. “Seperti halnya seekor ayam terus-menerus mengais tanah mencari makan; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya terus-menerus merenungkan makanan yang dimakannya dengan berpikir: ‘Saya makan bukan untuk kenikmatan dan bukan untuk penampilan, melainkan hanya untuk menepis rasa sakit karena lapar dan agar saya dapat menjalankan kehidupan suci. Dengan demikian saya akan mengakhiri penderitaan’.

“Seperti halnya seekor ayam meskipun mempunyai mata namun buta di waktu malam; demikian juga seorang bhikkhu seolah-olah buta ketika sedang bermeditasi, tidak memperhatikan objek-objek indera yang mungkin akan mengganggu konsentrasinya.

“Dan seperti halnya seekor ayam meskipun diusir dengan tongkat dan batu tidak meninggalkan tempatnya bertengger; demikian juga seorang bhikkhu tidak meninggalkan kewaspadaannya, tidak peduli apakah dia sedang sibuk membuat jubah, membangun, mengajar, mempelajari kitab suci, atau melakukan apa pun.

4. Harimau Kumbang Betina
“Seperti halnya seekor harimau kumbang betina hanya hamil sekali dan tidak akan berpaling lagi pada yang jantan; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu. Karena melihat penderitaan yang menjadi sifat kelahiran ulang, seorang bhikkhu memutuskan untuk tidak memasuki kelahiran yang mana pun di masa mendatang. Demikian ini telah dikatakan oleh Sang Buddha, O baginda, di dalam Dhaniya Sutta di Sutta Nipata: Setelah mematahkan belenggu-belenggu seperti banteng, dan seperti gajah yang telah mematahkan tanaman-tanaman menjalar, maka tidak akan ada lagi kelahiran bagiku. Jadi, curahkan hujan, O awan, jika engkau mau!’[3]

7. Pohon Bambu
“Seperti halnya pohon bambu berayun ke mana angin bertiup; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu, fleksibel dan menyesuaikan diri pada ajaran.

10. Monyet
“Seperti halnya seekor monyet tinggal di pohon besar yang rindang dan tertutup rapat oleh dahan-dahan; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya tinggal dengan guru yang terpelajar, yang patut dihormati dan mampu membimbingnya.

12. Teratai
“Seperti halnya teratai tidak ternoda oleh air di mana ia dilahirkan dan tumbuh; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak ternoda oleh dukungan, persembahan dan penghormatan umatnya. “Seperti halnya teratai terangkat di atas air; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu berada jauh di atas keduniawian.

“Dan seperti halnya teratai bergetar terkena hembusan angin sepoi; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu gemetar walaupun hanya berpikir ingin melakukan kejahatan, karena melihat adanya bahaya di dalam kesalahan yang sekecil apa pun.

20. Samudera
“Seperti halnya samudera melemparkan mayat ke pantai; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya menyingkirkan kekotoran batin dari pikirannya.

“Seperti halnya samudera meskipun menyimpan banyak kekayaan tidak akan mengangkatnya ke atas; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya memiliki permata pencapaian tetapi tidak memamerkannya. “Seperti halnya samudera berhubungan dengan makhluk-makhluk yang besar; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu berhubungan dengan sesama siswa yang hanya mempunyai sedikit keinginan, yang berbudi luhur, terpelajar dan bijaksana.

“Seperti halnya samudera tidak pernah membanjiri pantainya; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak pernah melanggar moralitas sekalipun demi kehidupannya. “Dan seperti halnya samudera tidak meluap meskipun semua sungai mengalir ke dalamnya; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya tidak pernah bosan mendengarkan ajaran dan instruksi Dhamma, Vinaya dan Abhidhamma.

21. Bumi
“Seperti halnya bumi besar ini tidak tergoyahkan oleh benda-benda -yang baik maupun buruk- yang dilemparkan kepadanya; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tetap tidak tergoyahkan bila dipuji atau dicaci, didukung atau diabaikan.

“Seperti halnya bumi besar ini tidak berhias tetapi mempunyai aroma sendiri; demikian juga seorang bhikkhu tidak berhias dengan wangi-wangian tetapi memiliki keharuman moralitasnya.

“Seperti halnya bumi besar ini tidak kenal lelah walaupun ia menanggung banyak hal; demikian juga seorang bhikkhu tidak kenal lelah memberikan petunjuk, peringatan dan dorongan. “Dan seperti halnya bumi besar ini tidak mempunyai rasa benci atau rasa suka; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak mempunyai kedengkian atau kesukaan.

22. Air
“Seperti halnya air secara alami tetap tenang; demikian juga seorang bhikkhu memiliki sifat tidak munafik, tidak suka berkeluh kesah, tidak berbicara dengan maksud untuk memperoleh keuntungan, tidak berperilaku yang tercela, tetap tenang tak terganggu dan murni secara alami.

“Seperti halnya air selalu menyegarkan; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu penuh kasih sayang, selalu mencari yang baik dan bermanfaat bagi semuanya.

“Dan seperti halnya air tidak pernah mencelakakan siapa pun; demikian juga seorang bhikkhu yang sungguh-sungguh berusaha, tidak pernah melakukan kesalahan apa pun yang menyebabkan pertengkaran, atau perselisihan, atau kemarahan, atau ketidakpuasan. Demikian ini telah dikatakan oleh Sang Buddha dalam Kanha Jataka:

‘O Sakka, raja seluruh dunia, sebuah pilihan kau nyatakan:
Tidak seharusnya ada makhluk yang dilukai untukku,
O Sakka, di mana pun, Tidak di tubuh tidak pula di pikiran:
ini, Sakka, adalah harapanku.’[4]

27. Bulan
“Seperti halnya bulan berubah semakin besar dari hari ke hari sampai purnama; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya meningkatkan sifat-sifatnya yang baik dari hari ke hari.

30. Raja Semesta
“Seperti halnya raja semesta disenangi rakyatnya karena empat landasan ketenaran [kemurahan hati, keramah-tamahan, keadilan dan sifatnya yang tidak memihak]; demikian juga seharusnya bhikkhu itu disenangi oleh para bhikkhu dan umat awam.

“Seperti halnya raja semesta tidak mengizinkan para perampok berdiam di daerahnya; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya tidak mengizinkan pikiran yang jahat, yang bernafsu atau yang kejam berdiam di dalam pikirannya. “Dan seperti halnya raja semesta berkelana ke seluruh dunia memeriksa yang baik dan jahat; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya memeriksa dirinya dengan seksama sehubungan dengan buah-pikirnya, ucapannya, dan perbuatannya.

40. Gajah
“Seperti halnya seekor gajah memutar seluruh tubuh ketika memandang sekeliling; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya memutar tubuh ketika memandang sekeliling, tidak memandang sekilas ke sana sini melainkan mengendalikan pandangannya dengan baik.

“Seperti halnya seekor gajah mengangkat kakinya dan melangkah dengan hati-hati; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya selalu waspada dan sepenuhnya menyadari gerak jalannya.

46. Bangau India
“Seperti halnya seekor bangau India memperingatkan orang-orang tentang nasib mereka di masa mendatang dengan suaranya; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya memperingatkan orang-orang tentang nasib mereka di masa mendatang dengan mengajarkan Dhamma.

47. Kelelawar
“Seperti halnya seekor kelelawar akan segera meninggalkan rumah orang yang terkadang dimasukinya; demikian juga seorang bhikkhu akan segera meninggalkan rumah orang yang memberinya dana makanan. “Dan seperti halnya seekor kelelawar tidak merugikan bila mengunjungi rumah seseorang; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak merugikan bila mengunjungi rumah seseorang karena mudah dilayani dan memikirkan kesejahteraan mereka.

48. Lintah
“Seperti halnya seekor lintah yang menghisap sepuas-puasnya sebelum melepas; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu kukuh memegang objek meditasinya dan minum sepuas-puasnya nektar kebebasan yang lezat.

50. Ular Batu
“Seperti halnya seekor ular batu dapat bertahan hidup selama beberapa hari tanpa makan; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya dapat terus bertahan meskipun dia hanya menerima sedikit makanan. Demikian ini telah dikatakan oleh Yang Mulia Sariputta:

‘Tak peduli makanan basah atau kering yang dia makan, tidak pernah dia membiarkan dirinya kekenyangan. Petapa yang baik meninggalkan keduniawian di dalam kekosongan, dan tetap makan secukupnya saja. Jika dia hanya mendapat empat atau lima suap, biarlah dia minum air, karena hal itu bukan masalah bagi orang yang pikirannya terpusat untuk menuju ke tingkat Arahat.’[5]

60. Tukang Kayu
“Seperti halnya seorang tukang kayu membuang bagian kayu yang lunak dan hanya menggunakan bagian kerasnya saja; demikian juga seorang bhikkhu seharusnya membuang pandangan-pandangan salah seperti misalnya keabadian, kenihilan, jiwa adalah tubuh, jiwa adalah satu hal sedangkan tubuh adalah hal lain, semua ajaran sama baiknya, yang tidak terkondisi adalah tidak mungkin, tindakan manusia tidak ada gunanya, tidak ada kehidupan suci, ketika satu makhluk mati maka lahirlah satu makhluk baru, ada hal-hal yang terkondisi secara abadi ada, seseorang yang bertindak akan langsung mengalami buah perbuatannya, seseorang bertindak namun orang lainlah yang akan menerima akibatnya, serta segala macam pandangan salah lain mengenai akibat karma (niat) dan kiriya (perbuatan). Setelah membuang berbagai jalan seperti itu, dia harus memahami ide tentang kekosongan yang merupakan sifat sejati dari hal-hal yang terkondisi.[6]

61. Pot air
“Seperti halnya pot air yang penuh tidak menimbulkan suara; demikian juga seharusnya seorang bhikkhu tidak banyak mulut meskipun banyak yang dia ketahui. Demikian ini telah dikatakan oleh Sang Buddha: ‘Dengarkanlah suara air. Dengarkan air yang mengalir melalui celah jurang dan bebatuan. Sungai yang kecillah yang menimbulkan suara keras. Sungai yang besar mengalir tanpa suara.

Yang kosong bersuara sedangkan yang penuh tenang. Ketololan seperti pot yang setengah berisi; orang bijaksana bagaikan danau yang penuh air.’[7]

Pada akhir perdebatan antara bhikkhu thera dan raja ini, bumi yang besar ini bergetar enam kali, kilat menyambar di langit dan para dewa menaburkan bunga dari surga. Milinda dipenuhi oleh sukacita di dalam hatinya dan semua kesombongan lenyap dari dalam dirinya. Dia tidak lagi meragukan Tiga Permata dan tidak lagi keras kepala. Bagaikan seekor ular kobra yang tidak lagi memiliki taring, raja kemudian berkata, “Luar biasa, Yang Mulia Nagasena! Teka-teki, yang layaknya dipecahkan oleh seorang Buddha, telah Yang Mulia pecahkan. Tidak ada seorang pun seperti Anda di antara pengikut Sang Buddha, kecuali Yang Mulia Sariputta. Maafkanlah segala kesalahanku, Nagasena. Semoga Yang Mulia sudi menerimaku sebagai pengikut, sebagai orang yang telah menemukan perlindungan selama hidupnya.” Dan raja Milinda, beserta para prajuritnya, menopang bhikkhu thera itu beserta sejumlah besar pengikutnya. Raja membangun tempat tinggal yang diberi nama Vihara Milinda. Kemudian dia menyerahkan tahta kerajaan kepada putranya. Setelah meninggalkan kehidupan berumah tangga, Milinda mengembangkan pandangan terang dan mencapai tingkat Arahat.

Catatan:
[1]. Dalam Kitab Pali 67 perumpamaan diberikan tetapi beberapa diulang-ulang, dan lainnya menggantungkan efektifitasnya pada permainan kata-kata Pali yang sulit untuk diterjemahkan. Jadi saya hanya mencakupkan satu kumpulan di sini.
[2]. Suatu hal yang menarik, salah satu tugas yang disebutkan adalah menyapu sekeliling tempat yang menuju cetiya atau pagoda. Di zaman Asoka sekitar 84.000 cetiya atau pagoda dibangun di India tetapi di dalam dilema 25 di atas, menghormat sisa Sang Tathagatha bukanlah tugas para bhikkhu. Di dalam Vinaya Mahayana terdapat banyak peraturan pelatihan minor tambahan yang berhubungan dengan perilaku yang pantas berkenaan dengan cetiya.
[3]. Sn. syair 29. Terjemahan Hammalawa Saddhatissa.
[4]. Ja. iv. 14. Terjemahan PTS.
[5]. Thag. syair 982, 983.
[6]. Lihat Kutipan.
[7]. Sn. syair 720, 721, terjemahan Hammalawa Saddhatissa. Hanya syair kedua yang dikutip di Miln. Lihat Kutipan.
Share:

0 Komentar:

Posting Komentar