Sabtu, 09 Februari 2013

Milinda Panha Bab IV Landasan Indera

 on  with No comments 
In ,  
  1. “Apakah lima landasan indera dihasilkan dari berbagai karma, atau semuanya berasal hanya dari satu karma?” “Dari berbagai karma, O baginda.” “Berilah ilustrasi.” “Jika kita menanam lima jenis biji-bijian di ladang, maka hasilnya juga akan lima macam.”

  2. “Nagasena, mengapa orang tidak semuanya serupa; ada yang berumur pendek dan ada yang berumur panjang, ada yang sakit-sakitan dan ada yang sehat, ada yang buruk rupa dan ada yang rupawan, ada yang kuat dan ada yang lemah, ada yang miskin dan ada yang kaya, ada yang lahir di keluarga rendah dan ada yang di keluarga terpandang, ada yang tolol dan ada yang bijaksana?” “Mengapa tidak semua sayuran serupa?” “Karena berasal dari bibit yang berbeda.” “Demikian juga, O baginda, karena berbagai karmalah maka makhluk tidak semuanya sama. Demikian ini telah dikatakan oleh Sang Buddha, ‘Semua makhluk memiliki karma sebagai harta kekayaannya sendiri. Semua makhluk adalah pewaris dari karmanya sendiri, dilahirkan karena karmanya sendiri, merupakan saudara dari karmanya sendiri, dan memiliki karma sebagai pelindungnya; karma apa pun yang mereka perbuat itulah yang membedakan mereka berada pada tingkatan yang tinggi atau rendah.”[1]

  3. “Anda katakan bahwa Anda meninggalkan kehidupan duniawi agar supaya penderitaan dapat dilenyapkan dan tidak ada lagi penderitaan yang muncul. Apakah hal ini dihasilkan oleh usaha sebelumnya, ataukah untuk diperjuangkan sekarang ini, pada saat ini?” “Usaha sekarang ini berhubungan dengan apa yang masih harus dilakukan, usaha yang dahulu telah menyelesaikan apa yang harus dilakukannya saat itu.” “Berikanlah ilustrasi.” “Apakah baru sesudah musuh menyerang maka baginda memerintahkan para prajurit untuk menggali tempat perlindungan, mendirikan benteng, membangun menara penjagaan, mendirikan kubu, dan mengumpulkan makanan?” “Tentu saja tidak, Yang Mulia.” “Demikian juga, usaha sekarang ini berhubungan dengan apa yang masih harus dilakukan, usaha yang lalu telah menyelesaikan apa yang harus dilakukannya saat itu.”

  4. “Anda katakan bahwa api neraka dalam sekejap dapat menghancurkan batu karang sebesar rumah; tetapi Anda juga mengatakan bahwa makhluk apa pun yang terlahir di neraka tidak akan hancur, meskipun terbakar selama ratusan ribu tahun. Bagaimana aku dapat mempercayai hal ini?” “Meskipun makanan, tulang, dan bahkan batu yang dimakan oleh berbagai makhluk betina dihancurkan di dalam perut mereka, tetapi embrionya tetap tidak hancur. Demikian juga makhluk di neraka tidak dapat hancur karena pengaruh karmanya.”

  5. “Anda katakan bahwa planet bumi ini terletak di air, air terletak di udara, dan udara terletak di ruang. Hal ini juga aku tidak percaya.” Kemudian bhikkhu Nagasena menerangkan kepada raja tentang daur filter-air yang ditopang oleh tekanan atmosfer dan raja Milinda menjadi yakin.[2]

  6. “Apakah berhentinya nafsu itu nibbana?” “Ya, O baginda. Semua makhluk yang tolol memanjakan diri dalam kenikmatan indera dan objeknya; mereka menemukan kesenangan di dalamnya dan melekat padanya. Oleh karena itu mereka terhanyut oleh banjir [nafsu] dan tidak terbebas dari kelahiran dan kematian. Siswa bijaksana orang-orang suci tidak akan menyenangi kenikmatan indera dan objeknya. Dan di dalam dirinya nafsu keinginan berhenti, kemelekatan berhenti, dumadi berhenti, kelahiran berhenti, usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, kepedihan, kesengsaraan dan keputusasaan berhenti dan tidak ada lagi. Dengan demikian, berhentinya nafsu adalah nibbana.”

  7. “Apakah semua orang mencapai nibbana?” “Tidak semuanya, O baginda; tetapi siapa pun yang berperilaku benar, mengetahui apa yang seharusnya diketahui, mencerap apa yang seharusnya dicerap, meninggalkan apa yang seharusnya ditinggalkan, mengembangkan apa yang seharusnya dikembangkan, dan merealisasikan apa yang seharusnya diwujudkan, dia mencapai nibbana.”

  8. “Dapatkah orang yang belum mencapai nibbana mengetahui bahwa nibbana itu benar-benar membahagiakan?” “Ya tentu saja, O baginda. Seperti halnya orang yang belum pernah merasakan tangan dan kakinya putus dipotong dapat mengetahui betapa sakitnya kondisi itu karena mendengar jeritan kesakitan orang yang kehilangan anggota badannya; demikian juga orang yang belum pernah mengetahui betapa membahagiakannya kondisi itu karena mendengar kata-kata yang penuh sukacita dari mereka yang telah mencapainya.”
Catatan:
[1]. M. iii. 203. bandingkan dengan A. syair 87, 288.
[2]. Lihat catatan tentang gempa bumi di Apendiks.
Share:

0 Komentar:

Posting Komentar