Sabtu, 09 Februari 2013

Milinda Panha Bab III Permulaan Waktu

 on  with No comments 
In ,  
  1. “Nagasena, apakah akar dari masa lalu, masa kini, dan masa mendatang itu?” “Kebodohan batin. Kebodohan batin mengkondisikan bentuk-bentuk pikiran; bentuk-bentuk pikiran mengkondisikan kesadaran yang menghubungkan kembali; kesadaran mengkondisikan batin dan jasmani; batin dan jasmani mengkondisikan enam landasan indera; enam landasan indera mengkondisikan kontak; kontak mengkondisikan perasaan; perasaan mengkondisikan nafsu keinginan; nafsu keinginan mengkondisikan kemelekatan; kemelekatan mengkondisikan dumadi; dumadi mengkondisikan kelahiran; kelahiran mengkondisikan usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, kepedihan, kesengsaraan, dan keputusasaan.”

  2. “Anda katakan bahwa asal mula yang pertama dari segala sesuatu adalah tidak jelas. Berikanlah ilustrasi.” “Sang Buddha berkata, ‘Karena adanya landasan indera dan objek indera maka timbullah kontak; karena adanya kontak, timbullah perasaan; karena adanya perasaan, timbullah nafsu keinginan; dan karena adanya nafsu keinginan, timbullah tindakan (karma). Lalu dari tindakan ini sekali lagi landasan indera dihasilkan.’ Nah, bisakah ada akhir dari rangkaian ini?” “Tidak.” “Demikian pula, O baginda, asal mula yang pertama dari segala sesuatu itu tidak dapat dipahami.”[1]

  3. Apakah asal mula yang pertama dari segala sesuatu itu tidak diketahui?” “Sebagian dapat diketahui, sebagian lagi tidak.” “Kalau begitu, manakah yang dapat diketahui dan manakah yang tidak?” “Kondisi apa pun yang mendahului kelahiran ini, bagi kita tampaknya tidak pernah ada. Berkenaan dengan hal itu, asal mula pertamanya tidaklah diketahui. Namun kondisi yang tadinya belum ada kemudian ada, dan segera sesudah kondisi itu muncul, ia lenyap lagi. Berkenaan dengan hal itu, asal mula pertamanya dapat diketahui.”

  4. “Apakah ada bentukan-bentukan yang dihasilkan?” “Tentu saja, O baginda. Di mana ada mata serta bentuk maka ada penglihatan; di mana ada penglihatan maka ada kontak; di mana ada kontak maka ada perasaan; di mana ada perasaan maka ada nafsu keinginan; di mana ada nafsu keinginan maka ada kemelekatan; di mana ada kemelekatan maka ada dumadi; dan di mana ada dumadi maka ada kelahiran, usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, kepedihan, kesengsaraan dan keputusasaan. Tetapi bilamana tidak ada mata dan bentuk maka tidak ada penglihatan, tidak ada kontak, tidak ada perasaan, tidak ada nafsu keinginan, tidak ada kemelekatan, tidak ada dumadi; dan bilamana tidak ada dumadi maka tidak akan ada kelahiran, usia tua, kematian, kesedihan, ratap tangis, kepedihan, kesengsaraan dan keputusasaan.”

  5. “Apakah ada bentukan-bentukan yang tidak dihasilkan?” “Tidak ada, O baginda, karena hanya dengan proses dumadilah mereka dihasilkan.” “Berikanlah ilustrasi.” “Apakah rumah yang baginda tempati ini dihasilkan dari proses dumadi?” “Semuanya, tidak ada yang tidak. Kayu ini dahulu berada di hutan, dan tanah liat ini dahulu ada di tanah. Hanya melalui usaha para pekerjalah rumah ini terwujud.” “Demikian juga, O baginda, tidak ada bentukan-bentukan yang tidak dihasilkan.”

  6. “Adakah, Nagasena, sesuatu yang disebut ‘Sang Yang Mengetahui’ (vedagu) ?”[2] “Apakah itu?” “Suatu inti yang hidup di dalam diri, yang dapat melihat, mendengar, mencicip, membau, merasakan dan memahami segala sesuatu; sama seperti halnya kita yang saat ini duduk di sini dapat melihat keluar lewat jendela mana pun yang kita inginkan.” “Jika, O baginda, inti yang hidup di dalam diri itu dapat melihat, mendengar, mencicip, membau dan merasakan benda-benda seperti yang baginda katakan, dapat jugakah ia melihat benda-benda melalui telinga dan sebagainya?” “Tidak, Yang Mulia.” “Kalau demikian, baginda, inti yang hidup itu tidak dapat menggunakan indera semaunya sendiri seperti kata baginda. O baginda, hanya karena adanya mata dan bentuklah maka penglihatan dan kondisi-kondisi lainnya muncul, yaitu: kontak, perasaan, pencerapan, niat, pemusatan pikiran, semangat dan perhatian. Secara sekaligus semuanya timbul bersama dengan penyebabnya, dan karena itu ‘Sang Yang Mengetahui’ tidak dapat ditemukan.”

  7. “Apakah kesadaran-pikiran muncul setiap kali kesadaran mata muncul?” “Ya, baginda, bila ada yang satu maka ada juga yang lainnya.” “Yang mana muncul terlebih dahulu?” “Pertama kesadaran-mata, baru kemudian kesadaran-pikiran.” “Apakah kesadaran-mata mengeluarkan perintah kepada kesadaran-pikiran, atau sebaliknya?” “Tidak, tidak ada komunikasi di antara keduanya itu.” “Kalau begitu, Nagasena, mengapa kesadaran-pikiran muncul di mana pun ada kesadaran mata?” “Karena, O baginda, ada kecenderungan, pintu, kebiasaan dan asosiasi.” “Berikanlah ilustrasi.” “Jika kota perbatasan raja memiliki tembok yang kuat tetapi hanya ada satu pintu gerbang dan seseorang akan meninggalkan kota, lewat manakah dia?” “Melalui pintu gerbang itu.” “Dan jika ada orang lain yang akan pergi, lewat manakah dia?” “Melalui gerbang yang sama.” “Apakah orang pertama tadi memerintah orang kedua dengan mengatakan, ‘Keluarlah dengan cara yang sama denganku’, atau apakah orang kedua mengatakan kepada orang pertama, ‘Saya akan keluar dengan cara seperti anda’?” “Tidak Yang Mulia, tidak ada komunikasi di antara mereka berdua.” “Dengan cara seperti itulah kesadaran-pikiran muncul di mana ada kesadaran-mata, namun tidak ada komunikasi di antara mereka.”

  8. Di mana ada kesadaran-pikiran, Nagasena, apakah selalu ada kontak dan perasaan?” “Ya, di mana ada kesadaran-pikiran, ada kontak dan perasaan. Juga pencerapan, niat, pikiran pemicu dan pikiran yang bertahan.”

  9. “Apakah ciri khas dari kontak?” “Sentuhan.” “Berikanlah ilustrasi.” “Bagaikan dua rusa yang berbenturan kepala; mata adalah bagaikan rusa yang satu, sedangkan objek yang terlihat bagaikan rusa lainnya. Benturan yang terjadi itu adalah kontak.”

  10. “Apakah ciri khas dari perasaan?” “Yang dialami, O baginda, dan dinikmati.” “Berikanlah ilustrasi.” “Seperti halnya seseorang yang telah melayani rajanya dan diberi kedudukan, dia kemudian akan menikmati keuntungan karena jabatannya.”


  11. “Apakah ciri khas dari persepsi (pencerapan)?” “Mengenali[3] kebiruan, kekuningan, atau kemerahan.” “Berikanlah ilustrasi.” “Seperti halnya bendahara raja mengenali barang-barang milik rajanya dengan cara melihat bentuk dan warnanya.”

  12. “Apakah ciri khas dari niat?” “Dikandung, O baginda, dan dipersiapkan.” “Berikanlah ilustrasi.” “Seperti halnya seseorang yang menyiapkan racun dan setelah meminumnya dia akan menderita kesakitan, demikian pula seseorang yang memikirkan suatu kejahatan dan kemudian melaksanakannya, dia akan menderita di neraka.”

  13. “Apakah ciri khas dari kesadaran?” “Mengetahui, O baginda.” “Berikanlah ilustrasi.” “Seperti halnya penjaga di alun-alun kota akan mengetahui orang yang datang dan dari mana arah datangnya; begitu pula ketika seseorang melihat suatu objek, mendengar suatu suara, mencium suatu aroma, mencicipi suatu cita rasa, merasakan suatu sentuhan atau mengetahui sebuah gagasan; dengan kesadaranlah dia mengetahui hal itu.”

  14. “Apakah ciri khas dari buah-pikir pemicu?” “Memasang, O baginda.” “Berikanlah ilustrasi.” “Seperti halnya tukang kayu memasang kayu yang sudah ditakik dengan cermat ke dalam takik lainnya agar pas demikianlah pemasangan merupakan ciri buah-pikir pemicu”

  15. “Apakah ciri khas dari buah-pikir yang bertahan?” “Memeriksa berulang-ulang.” “Berikanlah ilustrasi.” “Buah-pikir pemicu bagaikan pukulan pada gong; sedangkan buah-pikir yang bertahan bagaikan gaungnya.”

  16. “Apakah kondisi-kondisi ini dapat dipisahkan dan dikatakan; ‘Ini adalah kontak, ini perasaan, ini persepsi, ini niat, ini kesadaran, ini buah-pikir pemicu, dan ini buah-pikir yang bertahan’?” “Tidak, baginda, hal itu tidak dapat dilakukan. Jika seseorang menyiapkan sup yang berisikan dadih, garam, jahe, biji lada, dia tidak dapat mengeluarkan cita rasa dadih itu dan menunjukkan ‘Inilah cita rasa dadih’ atau mengeluarkan cita rasa garam dan mengatakan ‘Inilah cita rasa garam’. Walaupun demikian, semua cita rasa itu ada di dalam sup dengan ciri-cirinya sendiri.”

  17. Lalu Bhikkhu Nagasena bertanya, “Apakah garam, O baginda, dapat dikenali oleh mata?” “Ya, Yang Mulia.” “Berhati-hatilah dengan apa yang baginda katakan.” “Kalau begitu, garam dikenali oleh lidah.” “Ya, itu betul.” “Tetapi, Nagasena, apakah hanya dengan lidah saja setiap jenis garam dapat dikenali?” “Ya, setiap jenis.” “Kalau demikian, mengapa sapi membawa segerobak penuh garam?” “Garam itu sendiri tidaklah mungkin dibawa. Sebagai contoh, garam juga mempunyai massa, tetapi orang tidak mungkin dapat menimbang garam. Yang dapat ditimbang hanyalah massanya.” “Nagasena, Anda sungguh lincah di dalam perdebatan.”
Catatan:
[1]. Mencari asal mula kehidupan di dalam Super Nova atau di dalam D.N.A. adalah pencarian yang sia-sia, karena penyebab akarnya terdapat di dalam pikiran. Sang Buddha berkata:–
“Selama kelahiran yang tak terhitung banyaknya
Aku telah mengembara di dalam samsara,
Aku mencari, tetapi tidak menemukan pembangun rumah ini.
Sungguh menyakitkan kelahiran yang berulang-ulang!
Pembangun rumah, kini engkau telah terlihat!
Engkau tak akan membangun rumah lagi.
Semua kasau [kekotoran batin] telah patah.
Tiang bubungan [kebodohan] telah hancur berserakan.
Pikiranku telah pergi ke nibbana.
Telah tercapai akhir dari nafsu keinginan.” Dhp. syair 153-154.

[2]. Di tempat lain vedagu digunakan sebagai sebutan untuk Sang Buddha yang berarti ‘Seseorang yang telah mencapai Pengetahuan’.

[3]. Sañña, viññana, dan pañña berturut-turut dapat dibandingkan sebagai seorang anak, seorang dewasa, dan seorang pedagang uang yang melihat koin emas. Si anak kecil mengetahui bahwa koin itu bulat dan bersinar. Hanya itu saja. Si orang dewasa mengetahui bahwa koin itu juga memiliki nilai yang berharga. Si pedagang uang mengetahui segala sesuatu tentang koin itu. Lihat Vism. 437.
Share:

0 Komentar:

Posting Komentar