Sabtu, 09 Februari 2013

Milinda Panha Bab XI Pemecah Dilema Bagian 4

 on  with No comments 
In ,  
  1. Terbunuhnya Yang Ariya Moggallana
    “Telah dikatakan oleh Sang Buddha, ‘Di antara Para siswaku yang mempunyai kekuatan kesaktian, Moggallana adalah yang paling hebat.’[1] Akan tetapi beliau dipukuli sampai mati dengan tongkat.[2] Mengapa kesaktian beliau tidak berfungsi?” “Hal itu, O baginda, disebabkan karena pada waktu itu beliau dikuasai kekuatan karma yang lebih hebat. Bahkan di antara hal-hal yang tidak dapat dibayangkan pun, ada satu yang mungkin lebih kuat daripada yang lain. Dan di antara yang tidak dapat dibayangkan itu, karmalah yang terkuat. Tepatnya, akibat karmalah yang mengalahkan dan mengatur hal-hal lainnya. Tidak ada pengaruh lain pada manusia yang dapat menghalangi karma yang telah saatnya berbuah. Ini tidak dapat dihindari. Sama halnya seperti orang yang telah terbukti bersalah karena melakukan tindakan kriminal akan dihukum. Tidak ada yang dapat dilakukan oleh sanak-saudaranya untuk mencegahnya.”

  2. Kerahasiaan Vinaya
    “Telah dikatakan oleh Sang Buddha, ‘Dhamma dan Vinaya yang telah dinyatakan oleh Sang Tathagata bersinar terang kalau ditunjukkan, dan tidak akan bersinar kalau tidak diungkap.’[3] Nah, mengapa pembacaan Patimokkha dilakukan hanya di hadapan para bhikkhu,[4] dan mengapa Vinaya Pitaka tertutup dan hanya khusus untuk para bhikkhu saja?”[5] “O baginda, alasan pertama mengapa Patimokkha hanya terbuka bagi para bhikkhu adalah karena memang demikianlah kebiasaan semua Buddha. Alasan kedua adalah untuk menghormati Vinaya, dan alasan ketiga adalah untuk menghormati para bhikkhu. Seperti halnya, O baginda, tradisi prajurit diajarkan turun-temurun hanya di antara para prajurit, demikian juga tradisi Tathagata adalah bahwa pembacaan Patimokkha harus berada di antara para bhikkhu saja. Vinaya itu patut dihormati dan bersifat sangat mendalam. Mereka yang telah mencapai penguasaan Vinaya mungkin berpesan dengan sungguh-sungguh demikian ini, ‘Jangan biarkan Ajaran yang sangat mendalam itu jatuh ke tangan mereka yang tidak bijaksana yang kemudian mungkin akan menghina dan mengutuknya, memperlakukannya dengan tidak tahu malu, mencemoohkannya dan mencari-cari kesalahan di dalamnya.’[6] Sama halnya seperti kekayaan raja yang sangat berharga tidak boleh digunakan oleh sembarang orang, demikian juga latihan dan tradisi Sang Buddha adalah kekayaan yang tak ternilai harganya bagi para bhikkhu. Itulah sebabnya mengapa pembacaan Patimokkha hanya dilakukan di antara para bhikkhu.”

  3. Kebohongan yang Disengaja
    “Telah dikatakan oleh Sang Buddha, ‘Kebohongan yang disengaja adalah suatu pelanggaran yang berakibat bhikkhu dikeluarkan secara paksa.[7] Tetapi Beliau juga berkata, ‘Kebohongan yang disengaja adalah pelanggaran ringan yang harus diakui di hadapan bhikkhu lain.’[8] Bagaimana kedua pernyataan ini dapat benar?” “Jika ada orang yang memukul orang lain dengan tangannya, hukuman apa yang akan baginda berikan padanya?” “Jika si korban menolak berdamai dalam masalah ini, maka kami akan mendenda si penyerang.” “Tetapi jika ada orang yang memukul baginda, hukuman apa yang akan baginda berikan padanya?” “Kami akan memotong tangan dan kakinya, membesit kulit kepalanya, menyita seluruh kekayaannya dan menghukum keluarganya sampai tujuh turunan.”

    “Demikianlah juga, O baginda, pelanggaran bisa ringan atau berat tergantung dari pokok masalahnya. Kebohongan dengan sengaja tentang pencapaian keadaan di luar kamampuan manusia biasa, seperti misalnya pencapaian jhana, kekuatan supra-normal atau pencapaian Sang Jalan, adalah pelanggaran yang berakibat si bhikkhu dikeluarkan dengan paksa. Tetapi kebohongan dengan sengaja tentang masalah-masalah lainnya hanya merupakan pelanggaran yang berakibat harus mengakuinya.”

  4. Penyelidikan Bodhisatta
    “Dikatakan oleh Sang Buddha di dalam khotbah-Nya tentang hukum alam, ‘Semenjak dahulu kala, orang tua Bodhisatta, para siswa utama Sang Bodhisatta dan sebagainya, telah ditentukan terlebih dahulu untuk Sang Bodhisatta.’[9] Tetapi dikatakan juga, ‘Ketika masih di surga Tusita, Sang Bodhisatta melakukan delapan penyelidikan: apakah sudah tiba waktu yang tepat baginya untuk dilahirkan kembali, tentang benuanya, negaranya, keluarganya, ibunya, waktu di dalam rahim, bulan kelahirannya, dan waktu untuk meninggalkan kehidupan duniawi.’[10] Jika orang tuanya telah ditentukan sebelumnya, mengapa Beliau perlu mempertimbangkan hal-hal tesebut?”

    “Kedua pernyataan itu, O baginda, benar adanya. Berkenaan dengan delapan hal itu, masa mendatang harus diselidiki terlebih dahulu sebelum masa itu datang untuk berlalu. Seorang pedagang harus memeriksa barang sebelum membelinya, seekor gajah harus menjajagi jalan dengan belalainya sebelum melewati jalan itu, seorang sais kereta harus menyelidiki arungan sebelum menyeberanginya, seorang pemandu harus mempelajari daratan yang belum pernah dia lihat sebelumnya, seorang tabib harus menafsirkan sisa usia pasiennya sebelum mulai merawatnya, seorang pengembara harus memeriksa jembatan sebelum berjalan melaluinya, seorang bhikkhu harus tahu waktu sebelum mulai makan, dan seorang Bodhisatta harus menyelidiki keluarganya sebelum dilahirkan.”

  5. Bunuh Diri
    “Telah dikatakan oleh Sang Buddha, ‘Seorang bhikkhu tidak boleh mencoba untuk bunuh diri (terjun dari ngarai); siapa pun yang melakukan hal seperti itu akan ditindak sesuai dengan aturan yang ada.’[11] Tetapi sebaliknya Anda mengatakan bahwa apa pun topik yang dipilih Sang Buddha untuk berbicara kepada para bhikkhu, Beliau selalu menggunakan berbagai perumpamaan untuk mendorong mereka mengusahakan lenyapnya kelahiran, usia tua, penyakit dan kematian. Dan kepada siapa pun yang melakukan hal itu, Beliau memberikan pujian yang tinggi.”

    “O baginda, karena seorang Arahat mempunyai banyak manfaat bagi makhluk hidup, maka Beliau menentukan larangan itu. Orang yang telah mencapai tujuan adalah bagaikan perahu yang dapat membawa penumpang melampaui banjir nafsu indera, bebas dari keinginan untuk dilahirkan kembali, bebas dari kepercayaan adanya diri, dan bebas dari kebodohan batin. Bagaikan awan hujan yang luar biasa, seorang Arahat mengisi pikiran mereka dengan rasa puas, dan dia membimbing orang yang tersesat. Karena kasih sayang terhadap makhluk hiduplah maka Sang Buddha berkata, ‘Seorang bhikkhu tidak boleh bunuh diri.’ Dan apa alasan Sang Buddha mendorong kita untuk mengakhiri kelahiran, usia tua dan kematian? Karena tidak terbatasnya sifat alami penderitaan yang disebabkan oleh lingkaran tumimbal lahir, maka Sang Buddha -yang begitu besar welas asihnya terhadap makhluk hidup- mendorong mereka, dengan banyak cara dan banyak perumpamaan, agar membebaskan diri dari lingkaran tumimbal lahir.”

  6. Perlindungan dari Cinta Kasih
    “Telah dikatakan oleh Sang Buddha, ‘Sebelas manfaat ini boleh diharapkan oleh orang yang mempraktekkan dan mempunyai kebiasaan menyebarkan cinta kasih terhadap semua makhluk:
    1. Dia tidur dengan kedamaian;
    2. Dia bangun dengan kedamaian;
    3. Dia tidak bermimpi buruk;
    4. Dia disayangi oleh sesama manusia;
    5. Dia disayangi oleh makhluk yang bukan manusia;
    6. Dia dilindungi para dewa;
    7. Dia tidak dapat terluka baik oleh api, racun, atau senjata;
    8. Pikirannya mudah terkonsentrasi;
    9. Air mukanya tenang;
    10. Dia mati dalam keadaan tidak bingung;
    11. Dan dia akan terlahir setidak-tidaknya di alam Brahma, jika tidak mencapai yang lebih tinggi lagi.’[12]
    Kalau begitu mengapa si pemuda Sama yang hidup dengan penuh metta terluka oleh panah beracun yang dilepaskan oleh Raja Piliyakkha?”[13] “O baginda, sebelas nilai luhur cinta kasih ini bergantung pada cinta kasih itu sendiri, dan bukan pada watak orang yang mempraktekkannya. Pemuda Sama memang senantiasa berlatih meditasi cinta kasih. Akan tetapi ketika dia sedang mengambil air, pikirannya melenceng dari meditasi, dan persis pada saat itulah Raja Piliyakkha memanahnya, sehingga panah itu dapat melukainya.”

  7. Mengapa Devadatta Makmur?
    “Anda mengatakan bahwa perbuatan bajik akan membawa kelahiran di surga atau kelahiran sebagai manusia yang beruntung, serta bahwa perbuatan jahat membawa penderitaan atau kelahiran sebagai manusia yang tidak beruntung. Akan tetapi, Devadatta yang penuh dengan sifat-sifat jahat, sering terlahir dengan kedudukan yang lebih baik dibanding Sang Bodhisatta,[14] yang penuh dengan sifat-sifat yang bajik.” “Nagasena, ketika Devadatta menjadi pendeta keluarga Brahmadatta- raja Benares, pada saat itu Sang Bodhisatta adalah kasta yang tersingkir. Ini adalah satu kasus di mana Sang Bodhisatta lebih rendah dibandingkan dengan Devadatta, di dalam kelahiran maupun reputasi.

    “Begitu juga, ketika Devadatta menjadi seorang raja besar yang berkuasa di dunia ini, pada waktu itu Sang Bodhisatta menjadi gajah. Di dalam kasus itu juga, lagi-lagi Sang Bodhisatta lebih rendah dibandingkan dengan Devadatta. Demikian juga di banyak kasus lainnya.”

    “Memang benar apa yang baginda katakan itu.” “Kalau begitu berarti kebajikan dan kejahatan menghasilkan buah yang sama.” “Tidak. Bukan demikian, O baginda. Devadatta dimusuhi oleh siapa saja, tetapi tidak ada yang memusuhi Bodhisatta. Dan ketika menjadi raja, Devadatta melindungi dan melayani rakyatnya serta memberikan persembahan kepada para petapa dan para brahmana sesuai dengan kecenderungannya. Baginda, tak ada seorang pun yang dapat mencapai kemakmuran tanpa kemurahan hati, pengendalian diri, serta mempraktekkan moralitas dan nilai-nilai luhur lainnya. Meskipun demikian, semua makhluk yang terhanyut di dalam arus lingkaran tumimbal lahir yang tak ada hentinya selalu akan bertemu dengan rekan yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan. Sama halnya seperti air yang mengalir di sungai selalu akan menemui benda yang bersih maupun yang tidak bersih. Tetapi perbandingan antara Sang Bodhisatta dan Devadatta harus dipertimbangkan dari sudut pandang panjangnya lingkaran tumimbal lahir yang tak terbayangkan, dan juga harus diingat bahwa Sang Bodhisatta berada di surga selama kurun waktu berkalpa-kalpa, sementara Devadatta mendidih di neraka.”

  8. Kelemahan Wanita
    “Dikatakan bahwa wanita akan selalu berselingkuh bila ia mendapat kekasih yang sesuai.[15] Tetapi istri Mahasodha menolak melakukan tindakan yang salah, meskipun dia ditawari seribu keping emas.”[16] “Amaradevi adalah wanita yang luhur. Dia takut dikecam dunia ini. Dia takut menderita di dalam api neraka. Dia juga mencintai suaminya. Dan dia memandang rendah pelanggaran susila dan menghargai nilai luhur. Karena semua alasan itulah maka baginya kesempatan seperti itu tidak pantas adanya. Dan suaminya, Mahasodha, adalah laki-laki ideal. Maka bagi Amaradevi tidak ada orang yang sebanding dengan Mahasodha. Karena alasan ini pulalah maka Amaradevi tidak melakukan tindakan yang salah.”

  9. Keberanian Ananda
    “Dikatakan oleh Sang Buddha bahwa para Arahat telah menyingkirkan segala rasa takut.[17] Akan tetapi ketika Dhanapalaka si gajah mabuk akan menyerang Sang Buddha, lima ratus Arahat, meninggalkan Ananda sendirian untuk melindungi Sang Buddha.[18] Jika para Arahat sudah terbebas dari rasa takut, mengapa mereka menyingkir?” “Mereka tidak menyingkir karena rasa takut, O baginda. Para Arahat sudah terbebas dari rasa takut. Tetapi mereka menyingkir agar pengabdian Ananda pada Sang Buddha dapat terwujud. Mereka menyadari bahwa jikalau mereka tidak minggir, maka gajah itu tidak akan bisa mendekat. Ananda, yang pada waktu itu belum menjadi Arahat, tetap berada di samping Sang Buddha untuk melindungi Beliau. Dengan demikian maka keberanian dan pengabdiannya terlihat. Oleh karena kejadian ini, banyak sekali orang yang terbebas dari belenggu kekotoran batin. Karena sebelumnya telah melihat manfaat-manfaat itulah, maka para Arahat menyingkir.”

  10. Perubahan Hati Sang Buddha
    “Anda mengatakan bahwa Sang Buddha itu mahatahu. Akan tetapi setelah Sang Buddha menyuruh serombongan bhikkhu yang dipimpin oleh Sariputta dan Moggallana pergi ke tempat lain, orang-orang Sakya dari Catuma dan Brahma Sahampati berusaha meyakinkan Sang Buddha melalui perumpamaan-perumpamaan.[19] Apakah Beliau tidak mengetahui tentang perumpamaan tersebut? Jika tahu, mengapa Beliau perlu diyakinkan?” “Sang Tathagata, O baginda, adalah mahatahu. Akan tetapi Beliau tetap merasa puas oleh perumpamaan-perumpamaan itu. Dengan perumpamaanlah Beliau pertama kali membabarkan ajaran-Nya dan merasa puas karenanya. Dan karena merasa puas maka Beliau menyetujuinya. Seperti halnya, O baginda, ketika seorang samanera melayani gurunya dengan makanan yang diperoleh sang guru sendiri dari mengumpulkan dana makanan, demikianlah dia menyenangkan sang guru dan mengambil hatinya.”
Catatan:
[1]. A. i. 23.
[2]. DhA. iii. 65 dst. Komentar Dhp. syair 137-140.
[3]. A. i. 283.
[4]. Vin. i. 115, 135.
[5]. Tidak ada larangan dalam mengajarkan Vinaya pada umat awam.
[6]. T.W. Rhys Davids mengatakan demikian tentang Buddhisme rahasia (hanya dipahami oleh beberapa orang saja); “Kenyataannya adalah bahwa tidak pernah ada ajaran rahasia di dalam Buddhisme, dan bahwa Buddhisme modern yang disebut rahasia bukan rahasia dan juga bukan Buddhisme. Ajaran-ajaran itu, sejauh yang berasal dari India, seluruhnya dapat diakses dan dikenal baik oleh mereka yang ingin mempelajari buku-buku mistik India, dan itu adalah Hindu, bukan Buddhis. Sebenarnya ajaran-ajaran itu sangat bertentangan dengan Buddhisme, yang oleh para pengarang secara salah disebut Buddhisme rahasia, dan sebenarnya mereka pun hanya tahu sedikit tentang hal itu – yang sedikit itu hanya sebagian dari kepercayaan-kepercayaan yang sudah menjadi landasan umum bagi para guru agama di India. Jika ada satu ajaran, yang khas Buddhisme, itu adalah ajaran yang mengabaikan kepercayaan pada suatu jiwa – yaitu dalam arti kuno, kepercayaan kepada suatu makhluk yang terpisah di dalam tubuh ini, yang terbang keluar dari dalam tubuh ini, bagaikan seekor burung keluar dari sangkarnya, ketika tubuh itu mati. Tetapi saya diberi, tahu, para Theosof yang percaya kepada tujuh jiwa di dalam tubuh manusia (menurut Buddhisme ini lebih buruk daripada tujuh setan), masih tetap menyebut dirinya Buddhis, dan tidak melihat keganjilan posisi mereka.
[7]. Vin. iii. 94 dst.
[8]. Vin. 59, 66; Vin. iv. 2.
[9]. Mahapadhana Sutta, D. ii.17-20.
[10]. A. i. 48; DA. 428, (hanya 5 yang disebutkan).
[11]. Vin. iii. 74, 82 (pelanggaran dalam hal perbuatan salah).
[12]. A. syair 342, Ja. ii. 61; Vism. 311 dst.
[13]. Ja. vi. 76.
[14]. Bandingkan Ja. No. 122, 474, 514, 516.
[15]. Ini berarti bahwa pria juga demikian. Ja syair 435 cerita itu menggambarkan wanita yang tidak luhur.
[16]. Ja. vi. 367.
[17]. Dhp. syair 351; Sn. 621.
[18]. Vin. ii. 194; Ja. syair 333 dst. Gajah yang ganas itu dikenal sebagai Nalagiri tetapi setelah dijinakkan oleh metta Sang Buddha dia merunduk dan menyembah Beliau. Kerumunan orang yang ada sangat gembira melihat perubahan ini dan menumpuk hiasan di punggung gajah itu. Sejak itu dia disebut Dhanapalaka, pembawa kesejahteraan.
[19]. M. ii. Sta. 67.
Share:

0 Komentar:

Posting Komentar