Sabtu, 09 Februari 2013

Milinda Panha Bab VI Kemelektan

 on  with No comments 
In ,  
  1. “Apakah tubuh jasmani ini, Nagasena, berharga bagi para petapa?” “Tidak, baginda.” “Kalau begitu, mengapa para petapa merawat dan memberikan perhatian pada tubuh jasmani?” “Kami merawat dan menjaga tubuh jasmani ini sama seperti kita merawat luka. Bukan karena luka itu berharga bagi kita, melainkan hanya supaya daging baru dapat tumbuh kembali. Demikian ini telah dikatakan oleh Sang Buddha: “Tubuh jasmani yang kotor ini berbau busuk Seperti tinja, seperti kakus; Tubuh jasmani yang oleh para bijaksana Dikutuk ini, adalah sumber kesukaan bagi si tolol. Sebuah tumor di mana sembilan lubang berdiam Terbungkus di dalam mantel kulit yang berkeringat[1] Dan meneteskan kotoran pada tiap sisinya, Mencemari udara dengan bau busuk ke mana-mana. Seandainya saja secara kebetulan harus terjadi Apa yang tersimpan di dalam berada di luar, Tentu orang akan membutuhkan cambuk Untuk menghalau anjing dan gagak’.”[2]

  2. “Jika Sang Buddha itu Maha Tahu, mengapa Beliau baru menetapkan peraturan Sangha setelah suatu peristiwa terjadi?” “Beliau baru menetapkan peraturan ketika dibutuhkan, sama seperti seorang dokter ahli baru menuliskan resep bagi pasiennya ketika dibutuhkan, walaupun dia telah mengetahui semua obat sebelum suatu penyakit menyerang.”

  3. “Jika Sang Buddha memiliki tiga puluh dua tanda manusia agung,[3] mengapa orangtua Beliau tidak memilikinya juga?” “Sama halnya seperti bunga teratai yang terlahir di lumpur dan menjadi sempurna di air tidak menyerupai lumpur dan air, demikian juga Sang Buddha tidak sama dengan orangtua Beliau.”

  4. “Apakah Sang Buddha seorang Brahmacari, seorang yang tidak menikah?” “Ya.” “Kalau begitu Beliau pengikut Brahma!” “Meskipun suara gajah sama seperti suara bangau, gajah bukanlah pengikut bangau. Katakanlah, baginda, apakah Brahma itu mempunyai kecerdasan (buddhi)?” “Ya.” “Kalau begitu pastilah dia pengikut Sang Buddha!”

  5. “Apakah pentahbisan bhikkhu itu sesuatu yang baik?” “Ya.” “Tetapi apakah Sang Buddha menjalaninya, atau tidak?” “Baginda, ketika Sang Buddha mencapai Pencerahan Sempurna di kaki pohon Bodhi, itulah pentahbisan Beliau. Tidak ada penganugerahan pentahbisan bagi Beliau dari orang lain seperti yang Beliau berikan kepada siswa-siswa-Nya.”

  6. “Bagi siapakah air mata itu merupakan penyembuhan: bagi orang yang menangis karena kematian ibunya, atau bagi orang yang menangis karena cintanya pada kebenaran?” “Air mata yang pertama, O baginda, ternoda dan panas oleh kemelekatan, tetapi air mata yang kedua itu tidak ternoda serta sejuk. Terdapat penyembuhan di dalam kesejukan dan ketenangan, tetapi di dalam panas dan nafsu tidak akan mungkin ada penyembuhan.”

  7. “Apakah perbedaan antara orang yang dipenuhi kemelekatan dengan orang yang telah terbebas dari kemelekatan?” “Yang pertama diperbudak, O baginda, sedangkan yang kedua tidak diperbudak.” “Apa maksudnya?” “Yang pertama dipenuhi nafsu keinginan, sedangkan yang kedua tidak.” “Tetapi kedua-duanya menyukai makanan yang enak, dan kedua-duanya tidak menyukai makanan yang tidak enak.” “Orang yang melekat, O baginda, makan dengan mengalami cita rasa makanan itu serta mengalami kemelekatan pada cita rasa itu. Tetapi, orang yang tidak melekat mengalami cita rasa makanan itu saja dan tidak mengalami kemelekatan yang timbul dari cita rasa makanan tersebut.”

  8. “Di manakah kebijaksanaan berdiam?” “Tidak di mana pun, O baginda.” “Kalau begitu kebijaksanaan itu tidak ada.” “Di manakah angin berdiam?” “Tidak di mana pun.” “Kalau begitu angin itu tidak ada!” “Anda sangat cerdik dalam menjawab, Nagasena.”

  9. “Apa yang dimaksud dengan lingkaran tumimbal lahir (samsara)?” “Seseorang yang dilahirkan di sini, mati di sini dan dilahirkan di tempat lain. Setelah dilahirkan di sana, dia mati dan dilahirkan di tempat lain.”

  10. “Dengan apakah kita mengingat perbuatan yang telah dilakukan di masa lalu?” “Dengan ingatan (sati).” “Apakah bukan dengan pikiran (citta) kita mengingat kembali?” “Apakah baginda ingat sesuatu urusan yang pernah baginda lakukan tetapi kemudian terlupakan?” “Ya. “Apakah waktu itu baginda tanpa pikiran?” “Tidak. Tetapi ingatan saya yang tak mampu.” “Kalau begitu mengapa baginda katakan bahwa dengan pikiran kita mengingat kembali?”

  11. “Apakah ingatan selalu timbul dengan sendirinya, ataukah dipengaruhi oleh sugesti dari luar?” “Kedua-duanya, O baginda.” “Tetapi apakah bukan berarti bahwa pada dasarnya semua ingatan itu bersifat subjektif?”[4] “Baginda, seandainya tidak ada bagian ingatan yang ditanamkan maka para ahli tidak perlu berlatih atau bersekolah, dan guru tidak akan ada gunanya. Tetapi keadaan sebaliknyalah yang terjadi.”
Catatan:
[1]. Hanya dua baris terakhir ini ada di Miln.
[2]. Vism. 196. Terjemahan Bhikkhu Ñanamoli.
[3]. Ciri fisik yang diramalkan oleh astrologi. Lihat D.ii. 17; M.ii. 136; Miln.17.
[4]. Bagi saya tidak jelas apa yang dimaksudkan di sini. Mungkin Raja Milinda beranggapan bahwa karena suatu ingatan yang dipancing oleh ingatan lain sesudah itu muncul karena usaha mental orang itu sendiri, maka asal mula ingatan itu bersifat subjektif.
Share:

0 Komentar:

Posting Komentar