Raja melihat para bhikkhu di hutan, sendirian dan jauh dari orang lain, menjalankan latihan berat sesuai dengan sumpahnya. Raja juga melihat para perumah-tangga di rumah mereka yang memetik buah manis dari Jalan Mulia. Ketika mempertimbangkan kedua hal ini, raja merasakan keraguan yang mendalam. “Jika umat awam juga mewujudkan kebenaran, maka bersumpah seperti itu tentunya sia-sia saja. Baiklah! Akan saya tanyakan pada guru yang terbaik, yang bijaksana dalam tiga kitab suci yang berisi ajaran Sang Buddha, yang terampil menyanggah argumentasi lawannya. Dia akan mampu menghalau keraguanku!”[1]
Milinda mendatangi Nagasena, memberi hormat, duduk di satu sisi dan bertanya: “Yang Mulia Nagasena, apakah ada umat awam yang telah mencapai nibbana?”
“Tidak hanya seratus atau seribu, tetapi lebih dari semilyar[2] yang telah mencapai nibbana.”
“Nagasena, jika perumah tangga yang hidup di rumahnya, yang menikmati kesenangan-kesenangan indera juga dapat mencapai nibbana, apakah gunanya sumpah tambahan tersebut? Jika musuh dapat dikalahkan hanya dengan tinju, apa gunanya mencari senjata? Jika pohon dapat dipanjat begitu saja, apa gunanya tangga? Jika berbaring di lantai sudah nyaman, apa gunanya ranjang? Demikian juga, jika orang awam sudah dapat mencapai nibbana bahkan sembari hidup di rumah, apa gunanya sumpah tambahan?”
“Tidak hanya seratus atau seribu, tetapi lebih dari semilyar[2] yang telah mencapai nibbana.”
“Nagasena, jika perumah tangga yang hidup di rumahnya, yang menikmati kesenangan-kesenangan indera juga dapat mencapai nibbana, apakah gunanya sumpah tambahan tersebut? Jika musuh dapat dikalahkan hanya dengan tinju, apa gunanya mencari senjata? Jika pohon dapat dipanjat begitu saja, apa gunanya tangga? Jika berbaring di lantai sudah nyaman, apa gunanya ranjang? Demikian juga, jika orang awam sudah dapat mencapai nibbana bahkan sembari hidup di rumah, apa gunanya sumpah tambahan?”
“O baginda, ada dua puluh delapan keluhuran sumpah yang dinilai tinggi oleh para Buddha. Menjaga sumpah adalah:
- Suatu cara hidup murni,
- Buahnya membahagiakan,
- Tidak tercela,
- Tidak membawa penderitaan bagi yang lain,
- Memberikan rasa yakin,[3]
- Tidak menekan,[4]
- Pasti menyebabkan tumbuhnya sifat-sifat yang baik,
- Mencegah kemunduran,
- Tidak mengotori batin,
- Merupakan perlindungan,
- Memenuhi keinginan,
- Menjinakkan semua makhluk,
- Baik bagi disiplin diri,
- Pantas bagi seorang petapa,
- Dia mandiri,[5]
- Dia bebas,[6]
- Menghancurkan nafsu,
- Menghancurkan kebencian,
- Menghancurkan kebodohan batin,
- Mengikis kesombongan,
- Memutus pikiran yang mengembara dan membuat pikiran terpusat,
- Mengatasi keraguan,
- Menghalau kelambanan,
- Melenyapkan ketidak-puasan,
- Membuatnya punya toleransi,
- Tak ada bandingnya,
- Tak terukur, dan
- Mengarah pada hancurnya semua penderitaan.
- Perilakunya murni,
- Prakteknya terpenuhi,
- Tindakan dan kata-katanya terjaga baik,
- Buah-buah pikirnya murni,
- Semangatnya bangkit,
- Ketakutannya berkurang,
- Pandangan tentang diri terhalau,
- Kemarahan lenyap dan
- Cinta kasih tumbuh,
- Dia makan dengan memahami sifat makanan yang menjijikkan,
- Dia dihormati oleh semua makhluk,
- Dia makan secukupnya,
- Dia penuh kewaspadaan,
- Dia tak-berumah dan
- Dapat berdiam di mana pun yang sesuai baginya,
- Dia jijik terhadap kejahatan,
- Dia bersuka cita di dalam kesendirian dan
- Dia selalu penuh perhatian.
- Orang yang penuh keyakinan,
- Orang yang tahu malu,
- Orang yang penuh keberanian,
- Orang yang tidak munafik,
- Orang yang mengandalkan diri sendiri,
- Orang yang tegar,
- Orang yang berniat untuk berlatih,
- Orang yang bertekad kuat,
- Orang yang selalu introspeksi,
- Orang yang penuh kasih sayang.
“Dan siapa pun, O baginda, yang mempunyai niat jahat, mengambil sumpah ini dengan tujuan mencari keuntungan materi, akan mendapatkan hukuman ganda: di dunia ini dia akan dipandang rendah dan dicemooh, dan sesudah mati dia akan menderita di neraka.
“Tetapi siapa pun, O baginda, yang perilakunya sesuai dengan kehidupan kebhikkhuan, yang layak menjadi bhikkhu, yang sedikit keinginannya dan berpuas hati, terbiasa dengan kesendirian, penuh semangat, tidak memiliki akal bulus, dan telah meninggalkan keduniawian bukan karena ingin memperoleh keuntungan dan ketenaran melainkan karena memiliki keyakinan terhadap Dhamma, yang menginginkan kebebasan dari usia tua dan kematian, dia pantas mendapat penghormatan ganda karena dia dicintai oleh dewa dan manusia, dan dengan cepat dia memperoleh empat buah, empat jenis kemampuan membedakan,[7] visi berunsur-tiga,[8] dan pengetahuan berunsur-enam yang lebih tinggi.[9]
“Dan apakah tiga belas sumpah tersebut?- Mengenakan jubah dari potongan-potongan kain,
- Menggunakan hanya tiga jubah,
- Hidup hanya dengan mengumpulkan dana makanan,
- Mengumpulkan dana makanan dari satu rumah ke rumah lain tanpa pilih-pilih,
- Makan sekali sehari,
- Makan hanya dari mangkuk,
- Menolak makanan yang ditawarkan sesudah itu,
- Berdiam di hutan,
- Berdiam di bawah pohon,
- Berdiam di tempat terbuka,
- Berdiam di kuburan,
- Menggunakan tempat tidur mana pun yang diberikan, dan
- Tidak berbaring untuk tidur.[10]
“Dan dengan menjalankan sumpah-sumpah inilah Upasena dapat mengunjungi Sang Buddha ketika Beliau sedang menyendiri,[11] dan karena sumpah yang sama pula Sariputta memiliki keluhuran yang begitu tinggi sehingga dia dinyatakan sebagai orang kedua yang hanya kalah oleh Sang Buddha dalam kemampuannya membabarkan Dhamma.”[12]
“Bagus sekali Nagasena, seluruh Ajaran Sang Buddha, pencapaian adiduniawi dan semua hasil terbaik di dunia ini tercakup di dalam tiga belas latihan pertapa ini.”
Catatan:
[1]. Terjemahan Rhys Davids.
[2]. Seperti halnya manusia, banyak dewa yang mencapai nibbana pada waktu mendengarkan Dhamma.
[3]. Bebas dari rasa takut terhadap perampok.
[4]. Terpaksa demi melindungi hartanya.
[5]. Tidak melekat pada keluarga.
[6]. Dan bebas pergi kemana pun juga. Vism. 59-83
[7]. Diskriminasi terhadap arti, hukum, bahasa dan kecerdasan.
[8]. Tevijja -ingatan akan kehidupan lampau, pengetahuan tentang muncul dan lenyapnya makhluk, pengetahuan akan hancurnya banjir (asava).
[9]. Abhiññana -kekuatan supra-normal seperti misalnya terbang di angkasa, memiliki telinga dewa yang luar biasa kemampuan dengarnya, penembusan pikiran, ditambah tiga hal di atas.
[10]. Lihat Vism. 59 dst, untuk detailnya.
[11]. Vin. iii. 230 dst.
[12]. A. i. 23, bandingkan S. i. 191.
0 Komentar:
Posting Komentar