Rabu, 09 Januari 2013

Kamma dan Vipāka

 on  with No comments 
In ,  
Kamma adalah aksi, dan Vipāka –berarti buah atau akibat- adalah reaksi. Bagaikan setiap benda pasti memiliki bayangan, demikian juga dengan setiap perbuatan yang disertai kehendak (kamma) pasti diikuti oleh akibat yang bersesuaian. Kamma seperti benih yang memiliki potensi untuk tumbuh. Sedangkan Vipāka dapat dianggap seperti buah yang muncul pada pohon –sebagai akibat atau hasil. Anisamsa dan adinaya adalah daun, bunga, dan sebagainya yang berhubungan dengan perbedaan-perbedaan eksternal, seperti; kesehatan, penyakit, dan kemiskinan. Hal-hal ini adalah konsekuensi yang tidak dapat dihindari yang terjad pada waktu yang sama. Dengan kata lain, baik kamma maupun Vipāka berhubungan dengan pikiran.

Seperti halnya kamma ada yang bajik dan yang jahat, demikian pula dengan Vipāka (buah atau hasil) ada yang baik ataupun buruk. Vipāka dialami sebagai kegembiraan, kebahagiaan, ketidakbahagiaan, atau kesengsaraan, sesuai dengan sifat dari benih kamma-nya. Anisamsa adalah keuntungan-keuntungan yang menyertai Vipāka, yaitu hal-hal seperti kemakmuran, kesehatan, dan umur panjang. Sedangkan hal-hal tidak menguntungkan yang menyertai Vipāka disebut adinaya, yang penuh dengan keadaan menyedihkan, misalnya kemiskinan, rupa yang jelek, penyakit, umur pendek, dan sebagainya.

Sesuai dengan yang kita tanam, maka demikianlah yang akan kita tuai, entah dimana dan entah kapan, baik dalam kehidupan sekarang maupun di kelahiran yang akan datang. Apa yang kita tuai hari ini merupakan apa yang telah kita tanam, baik di kehidupan sekarang maupun lampau. Samyutta Nikāya menyatakan: “Sesuai dengan benih yang kita tanam, Demikianlah buah yang akan kita petik, Pembuat kebajikan akan menuai kebahagiaan, Pembuat kejahatan akan menuai kesengsaraan, Taburlah benihnya dan engkau yang akan merasakan buah daripadanya.”

Kamma adalah sebuah hukum yang berdiri sendiri, yang bekerja dalam ladangnya sendiri tanpa campur tangan dari pihak luar. Kebahagiaan dan penderitaan, yang silih berganti dialami oleh manusia, adalah akibat dari suatu sebab. Dalam pandangan Buddhis, akibat-akibat ini bukan merupakan hadiah atau hukuman yang diberikan oleh ‘sesuatu’ kepada seseorang yang telah melakukan kebajikan atau kejahatan. Buddhisme dengan tegas menyatakan bahwa menurut hukum Kamma, perbuatan menghasilkan hadiah dan hukuman kepada individu pelakunya sendiri tanpa campur tangan satu pihak pun.

Ada beberapa orang yang mengkritik sebagai berikut: “Jadi, Buddhis memberikan candu kepada orang-orang dengan berkata: “Kamu terlahir miskin dalam kehidupan sekarang akibat timbunan kamma buruk kamu di masa lampau. Dia terlahir kaya karena timbunan kamma baiknya. Jadi, terimalah dan puaslah dengan keadaanmu sekarang, akan tetapi perbanyaklah perbuatan bajik agar kamu menjadi kaya di kehidupan mendatang. Kamu menderita sekarang karena kamma burukmu di masa lampau. Itu sudah menjadi nasibmu. Terimalah dan hadapi kesengsaraan dengan sabar. Lakukan kebajikan sekarang. Kamu akan memperoleh kehidupan yang lebih baik dan lebih bahagia setelah meninggal dunia.”

Doktrin Buddhis tentang kamma bukan merupakan pandangan fatalistik seperti itu. Bukan pula pandangan yang menyatakan adanya “hari pengadilan” setelah kematian. Sang Buddha, yang tidak memiliki maksud tersembunyi, tidak mengajarkan hukum Kamma untuk melindungi yang kaya dan menghibur yang miskin dengan memberikan janji menyesatkan tentang kebahagiaan setelah kematian. Karena kita terlahir di suatu kondisi yang diciptakan oleh diri kita sendiri, maka dengan kerja keras kita sendiri akan terbuka kesempatan untuk menciptakan kondisi baru yang menyenangkan, disini dan saat ini juga. Tidak hanya secara individu, tapi juga secara kolektif, kita bebas untuk menciptakan kamma baru yang dapat memimpin kita menuju kemajuan ataupun kehancuran kita dalam kehidupan sekarang ini juga.

Menurut doktrin Buddhis tentang kamma, seseorang tidak diikat oleh suatu “belenggu”, karena kamma bukanlah nasib atau takdir yang disuratkan oleh suatu kekuatan misterius, yang membuat kita harus pasrah dan berserah diri. Perbuatannya sendirilah yang mengikat dirinya, dan oleh karena itu seseorang memiliki kemampuan untuk ‘membelokkan’ kamma-nya menuju ke tingkatan atau kondisi tertentu. Sejauh mana seseorang mampu membelokkan kamma tergantung pada dirinya sendiri.

Apakah seseorang memetik hasil sesuai dengan yang ditanamnya dengan proporsi atau jumlah yang sama? Sang Buddha memberikan jawaban: “Jika ada yang menyatakan bahwa seseorang harus menuai kamma-nya di kehidupan ini berkenaan dengan perbuatannya yang sekarang, maka dalam hal ini tidak ada kehidupan religius, tidak ada pula kesempatan untuk memadamkan semua penderitaan. Tapi jika ada yang menyatakan bahwa seseorang menuai kammanya di kehidupan sekarang dan akan datang berkenaan dengan perbuatan yang telah dilakukannya baik yang sekarang maupun yang lampau, maka dalam hal ini ada kehidupan religius, dan terdapat kesempatan untuk memadamkan seluruh penderitaan.” (Ańguttara Nikāya)

Meskipun dalam Dhammapada dikatakan; “Tidak di langit, tidak juga di tengah lautan, atau di dalam guagua gunung, dapat ditemukan tempat di bumi ini dimana seseorang dapat lari dari (akibat-akibat) perbuatan jahatnya,” akan tetapi seseorang tidak harus membayar semua tunggakan kamma lampaunya. Sebab jika demikian halnya, maka “pembebasan” tidak akan mungkin dicapai. Kelahiran kembali akan terus-menerus terjadi.

Judul asli: The Teory Of Kamma in Buddhism
Oleh: Y.M. Mahasi Sayadaw
Alih Bahasa: Marlin & Bodhi Limas
Editor: Y.M. Bhikkhu Abhipañño
Share:

0 Komentar:

Posting Komentar