Debat Panadura adalah debat antara Buddhis dengan Kristen di Panadura. Perdebatan diadakan pada 24-26 Agustus di tahun 1873 di situs Vihara Rankot berdiri pada hari ini. Ahli debat paling cakap dipanggil dari sisi orang-orang Kristen. Mohottivatte Gunananda Thera atau Migettuwatte Gunananda Thera adalah pendebat dari sisi Buddhis, sementara Pendeta David De Silva dan Katekis SF Sirimanne mewakili pihak Kristen. Debat mengambil topik berkisar dari sifat Allah, Jiwa dan kebangkitan, dengan konsep Karma, kelahiran kembali, Nirvana dan prinsip Pratītyasamutpāda atau yang saling bergantungan.
Sumber yang paling mendekati mengenai Perdebatan Panadura di tahun 1873 ditemukan di perpustakaan Universitas California Berkeley, Controversy at Panadura, or Pa:nadura: Va:daya, Re-edited by Pranith Abhayasundara, Sri Lanka State Printing Company, 1990. Yang paling banyak dibahas buku ini adalah mengenai kepercayaan Buddhisme, termasuk mengenai umat buddha yang mempercayai Tuhan yg bersifat impersonal, hal yang sangat berbeda dengan Tuhan dalam konsep agama samawi.
Buku ini juga memuat beberapa gambar, lukisan dan gambar dari patung Venerable Migettuwatte/Mohottiwatte Sri Gunananda Thera. Beliau adalah seorang orator dan penulis yang banyak menyuarakan buddhisme, Beliaulah yang membangkitkan Buddhisme di Sri Lanka.
Berikut kejadiannya:
Pendeta De Silva:
Pendeta Del Silva berargumen bahwa buddhisme tidak mengenal adanya roh atau diri, mengutip dari beberapa kitab Buddha seperti:
Beliau melanjutkan dengan mengklaim bahwa ini artinya tidak ada perbedaan mendasar antara manusia dan katak, babi, atau jenis binatang lainnya. Dan dengan tidak adanya penghargaan dan hukuman setelah kematian atas apa yang mereka lakukan selama hidup, hal ini akan berakibat manusia tidak takut untuk berbuat jahat. Kembali beliau mengutip alkitab, yang isinya mengatakan bahwa manusia memilik jiwa (sedangkan binatang tidak)
Gunananda Thera:
Beliau menanggapi terjemahan bahasa Pali yang disampaikan oleh pendeta De Silva, menurut beliau seseorang yang melakukan kesalahan dasar dalam penerjemahan tentu tidak akan paham dengan baik dari pengetahuan yang terdapat di dalamnya. Kemudian Gunananda Thera menjelaskan mengenai bagaimana reinkarnasi dalam buddhisme tanpa adanya roh - ada proses berkesinambungan setelah kematian tubuh. Beliau juga menuduhkan bahwa Misionaris Kristen melakukan penipuan dengan menggunakan nama dewa lokal sebagai Tuhan nya Kristen, yang dikatakan sebagai Ishwara dalam dewa Hindu di Kalkuta dan Deiyanwahanse di Sri Lanka.
Kemudian menurut beliau, para penerjemah Alkitab juga telah melakukan berbagai kesalahan serius seperti menerjemahkan kata "jealous" menjadi "jwalita" dalam bahasa sinhalese, yang artinya berkilau atau bercahaya. Dan juga menghilangkan beberapa ayat, seperti Imamat 17:7 yang isinya: "Janganlah mereka mempersembahkan lagi korban mereka kepada setan, sebab (menyembah setan) itu adalah zinah".
Beliau menyatakan penghargaannya kepada Katolik yang tidak melakukan pengubahan seperti yang dilakukan protestan.
Pada Kejadian 6:6
(KJV) Dan menyesallah Tuhan bahwa ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.
(NASB) TUHAN menyesal bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan Dia sedih di dalam hati-Nya.
NIV) TUHAN merasa sedih karena telah menjadikan manusia di dunia, hatinya penuh dengan rasa pedih.
Gunananda Thera mempertanyakan makhluk apakah yang menyesali sesuatu yang telah diperbuat. Ini jelas menunjukkan bahwa Tuhan bukannya makhluk yang maha tahu. Kemudian, mengapa TUHAN yang maha mengetahui membutuhkan tanda, saat Tuhan hendak membunuh keturunan pertama mesir, dimana (pada saat itu) umat israel diharuskan untuk memberi tanda darah pada pintu rumah mereka sehingga Tuhan tau siapa mereka dan tidak akan membunuh keturunan pertama mereka.
Dalam keluaran 4 juga disebutkan, Tuhan meminta Musa untuk melakukan berbagai keajaiban guna memperingatkan bangsa mesir, dan jika hal tersebut gagal untuk membuat mereka sadar, Musa akan terus melakukan keajaiban sampai keajaiban ini membuat bangsa mesir sadar/takjub.
Gunananda Thera menunjuk bahwa ini adalah contoh bahwa Tuhan itu tidak maha mengetahui. Di bab selanjutnya juga disebutkan: Zippora memaksa Musa untuk mempersembahkan kulit khitan kepada Tuhan yang hendak membunuh Musa. Dan Tuhan tampak puas dengan persembahan darah itu.
(Keluaran 4:24-26) - dimana Tuhan hendak mencari dan membunuh Musa. Alasannya adalah bahwa ia tidak menyunat anaknya laki-laki seperti yang diperintahkan Abraham. Demikianlah Zipora mengambil pisau batu dan memotong kulit khatan anaknya. (Keluaran 4:24-26). Demikianlah Musa diampuni oleh darah.
Gunananda Thera mempertanyakan Tuhan seperti apakah yang ada dalam alkitab itu, ini seperti setan yang senang menerima persembahan darah.
Pada Hakim 1:19 juga, beliau mempertanyakan bagaimana mungkin seorang yang maha bisa / kuasa tidak dapat mengalahkan kereta besi. (Hakim-hakim 1:19) - Dan Tuhan menyertai suku Yehuda, sehingga mereka menduduki pegunungan itu; tetapi mereka tidak dapat menghalau penduduk yang di lembah, sebab orang-orang ini mempunyai kereta-kereta besi.
Pendeta de Silva Beliau berkilah, dan mengatakan bahwa mudah baginya untuk mengulang kembali jawaban (atas pertanyaan Gunananda Thera) yang sudah dijawab sebelum-sebelumnya, kemudian kesalahan penulisan adalah bukan kesalahannya, Dan beliau juga menolak bahwa penerjemah alkitab bermaksud menipu/memperdaya. Beliau juga menjelaskan bahwa terjemahan nama Tuhan Kristen ke dalam nama Tuhan lokal tidak bertujuan untuk menipu calon pengikutnya, namun untuk memberikan pemahaman yang mudah dipahami.
Mengenai Kejadian 6:6, beliau menyatakan bahwa dalam bahasa aslinya (ibrani) kata tersebut (NoKAM) tidak memiliki arti menyesali. Dan penggunaan darah itu hanya sebagai simbol akan kematian Yesus. Beliau berusaha menunjukan bahwa doktrin buddhisme memiliki kontradiksi, dimana bentuk X adalah berasal dari bentuk Y dan Y berasal dari X.
Gunananda Thera:
Beliau memulai perkataannya dengan menunjukan bahwa pendeta tersebut menyebutnya sebagai viruddhakaraya (musuh), walaupun pada dasarnya mereka tidak memiliki permusuhan pribadi. Dan beliau tidak memiliki jalan lain selain melakukan hal yg sama. Beliau lanjut bertanya, mengapa Pendeta De Silva tidak memberikan komentar mengenai kesalahan dalam menterjemahkan "jealous" dalam alkitab yang berbahasa sinhalese, dan mengapa Tuhan dalam alkitab bisa merasa “jealous”.
Beliau melanjutkan, bahwa tampaknya pendeta De Silva hanya mengulang kesalahan orang lain dalam memahami bahasa pali tanpa pernah bermaksud mengetahui kebenarannya didalamnya. Dan walaupun pendeta De Silva memuji kejujuran penterjemah alkitab, penyusunan kitab tersebut menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Beliau pun mempertanyakan, Iswara dalam kepercayaan hindu memiliki istri yang bernama Umayaganawa, apakah Tuhan Kristen juga memiliki istri ?
Melanjutkan argumentasinya, beliau juga mengkritik pendeta De Silva karena tidak menjawab pertanyaan mengenai ke Maha Tahu-annya Tuhan dan kesenangannya akan persembahan darah. Beliau lalu melanjutkan pembahasan mendetail mengenai reinkarnasi, membahas beberapa pandangan tentang jiwa, dan menyatakan bahwa beberapa pandangan Kristen sejalan dengan pandangan Buddhisme dalam melihat adanya kehidupan sebelum kelahiran dan setelah kematian.
Kemudian, beliau juga membahas mengenai Yefta yang diminta mengorbankan anaknya untuk dijadikan korban bakaran bagi Tuhan, menurut beliau protestan melakukan perubahan pada kitab mereka untuk menunjukkan bahwa pengorbanan ini tidak bermakna sebenarnya (harafiah). Berbeda dengan Katolik yang secara jujur menjelaskan tentang pengorbanan ini. Beliau lalu mempertanyakan tulisan mengenai lamanya Yesus berdiam di dalam kuburannya (sebelum bangkit), tertulis 3 hari dan 3 malam, namun hal tersebut tidak menunjukan kesesuaian apabila dikatakan jumat siang sampai minggu pagi.
Kemudian beliau juga berargumen bahwa kelahiran Yesus ditandai dengan hal buruk yang menyertainya, dimana Raja Herodes melakukan pembunuhan masal pada bayi lelaki. Dibandingkan dengan kelahiran seorang Buddha yang ditandai dengan hal-hal baik. Walau begitu cerita mengenai Buddha merupakan sesuatu yg pararel, dimana ayah sang Buddha mencoba membesarkan beliau untuk melanjutkan tahta kerajaannya, tidak sebagai guru spiritual.
Gunananda Thera menutup pembicaraanya dengan menyatakan bahwa beliau tentu akan meninggalkan Buddhisme, bila banyak kematian yang timbul akibat kelahiran sang Buddha.
Pendeta Sirimanne:
Beliau memulai percakapannya dengan menggambarkan bahwa penolakan Gunananda Thera sama seperti pasien yang sakit namun menolak makanan yang baik bagi tubuhnya, tak perduli betapa baiknya manfaatnya makanan tersebut Beliau berpendapat bahwa Gunananda Thera tidak menjawab argumentasinya mengenai ajaran Buddhisme tentang tidak adanya jiwa dan buddhisme juga (tampaknya) mengajarkan mengenai makhluk yang berciri-ciri seperti jiwa (makhluk yang tidak berwujud, tidak terlihat, dan sebagainya) Beliau melanjutkan bahwa Tuhan dalam alkitab menjadi "cemburu" namun tidak berarti "iri", Dia (Tuhan) hanya tidak ingin kemenangan (penghormatan akan diri Nya) dibagi dengan yang lain. Mengenai 10 kutukan di tanah mesir, beliau menyatakan bahwa Tuhan sesungguhnya tau apa yang akan terjadi, namun hal itu tetap dilakukan Nya karena raja Mesir terlalu angkuh.
Beliau melanjutkan mengenai ketidakmampuan Tuhan menghadapi kereta besi pada Hakim 1:19, itu sebenarnya karena Yehuda yang tidak memiliki cukup iman kepada-Nya. Beliau juga menyatakan bahwa Alkitab tidak hanya benar dan terbukti secara sejarah, namun juga penuh dengan pelajaran spiritual yang berharga untuk generasi mendatang. Beliau juga tertawa akan pemahaman Gunananda Thera mengenai penciptaan Adam oleh Tuhan yang dikatakan Tuhan meniup Adam.
Gunananda Thera mengartikan hal tersebut sebagai Adam menerima beberapa jiwa Tuhan. Lalu pembahasan mengenai pengorbanan yang dilakukan Yefta, menurut beliau anak tersebut tidak benar-benar bermaksud untuk dikorbankan, kemudian mengenai perbedaan waktu keberadaan Yesus di dalam kubur terjadi karena kaum Yahudi memiliki cara penghitungan tanggal/waktu yang berbeda. Beliau juga meluruskan bahwa pembantaian yang dilakukan oleh Herodes mungkin tidak pantas disebut tanda buruk, karena menurutnya mereka (korban pembantaian) akan masuk surga, dan mereka akan lebih bahagia disana.
Mengenai kelahiran Sang Buddha, Pendeta Sirimmane mengemukakan kalau ibu Sang Buddha meninggal 7 hari setelah kelahirannya dan Buddha tidak hanya dapat berjalan namun berbicara ketika dia dilahirkan, kemudian dia (Buddha) mengaum layaknya singa. Beliau menunjukkan bahwa auman singa dipercaya merupakan sesuatu yg mematikan (pertanda buruk) Beliau melanjutkan dengan membahas mengenai kitab-kitab Buddha yang ditulis 450 tahun setelah kematian sang Buddha, ini jelas menunjukkan bahwa terjemahan kitab tersebut diragukan kebenarannya. Beliau melanjutkan, menurutnya Buddha mengejar pencerahan di kehidupan terdahulunya dengan mempersebahkan mata, kepala, tulang, darah, istri dan anaknya. Hal ini tentu sangat kejam dan menimbulkan penderitaan buat anak dan istrinya.
Beliau pun meragukan kalau Buddha adalah seorang yang Maha mengetahui seperti yang dikatakan banyak orang (merujuk cerita dimana sang Buddha mengetahui kematian seseorang), karena pada awalnya sang Buddha sempat ragu kalau orang-orang akan mengerti akan ajaran yang dibawanya. Beliau pun menginterpretasikan nibanna sebagai suatu kondisi diluar eksistensi, dan Buddha adalah seseorang yang mencapai hal tersebut (tidak eksis lagi), ini berarti berlindung kepada Buddha adalah berlindung kepada sesuatu yang tidak eksis. Beliau menyimpulkan bahwa banyak Bhikkhu Buddhis adalah seorang yang jahat, sehingga membuat mereka tidak pantas dijadikan sebagai panutan moral.
Gunananda Thera:
Beliau menunjukkan kekecewaan pada kualitas argumen dari lawan debatnya, kemudian mengutip ayat. Penghotbah 3:19 NIV: "Karena nasib manusia adalah sama dengan nasib binatang, nasib yang sama menimpa mereka; sebagaimana yang satu mati, demikian juga yang lain. Kedua-duanya mempunyai nafas yang sama, dan manusia tak mempunyai kelebihan atas binatang, karena segala sesuatu adalah sia-sia".
Dimana ayat tersebut menunjuk persis seperti tuduhan De Silva atas ajaran Buddha (Yang mengatakan bahwa jika dalam ajaran Buddha, tidak ada jiwa, maka manusia dan hewan adalah tidak ada bedanya). Kemudian beliau Gunanda Thera menantang pendeta De Silva untuk menunjukkan pernyataan serupa (bila ada) dalam kitab Buddha.
Setelah menjelaskan beberapa doktrin Buddhisme, dan pembahasan mengenai "apa" yang mengalami reinkarnasi kalau tidak adanya jiwa, beliau menunjukkan beberapa kontradiksi dalam ajaran Kristiani 1 Korintus 15:22-28 Dalam Adam semua akan mati, namun Kristus membuatnya menjadi hidup .. - menunjukkan bahwa siapapun yang percaya kepada Yesus akan masuk surga 2.Matius 25:41-46 Kemudian dia mengatakan pada orang ada disebelah kirinya: pergilah daripadaku, kau yang terkutuk ke dalam api kekal yang diperuntukkan kepada iblis dan malaikatnya ...(mereka yg melakukan hal jahat" ... Kemudian mereka akan pergi menuju hukuman kekal, namun yang benar menuju kehidupan kekal - ini menunjukkan bahwa seseorang yang percaya pada Yesus pun, dapat saja masuk neraka.
Beliau lalu menanyakan, mengapa Alkitab melalukan kontradiksi serius semacam itu. Mana yang benar ? Tidak mungkin keduanya benar (karena di ayat pertama di katakan, Yesus memberikan kehidupan kekal - pada mereka yg percaya, namun di ayat kedua.. dikatakan kalau mereka melakukan hal yang tidak benar, walaupun percaya Yesus tetap saja masuk neraka / mengalami kematian kekal)
Membahas mengenai ucapan Pendeta Sirimanne, Gunananda Thera berkomentar bahwa beliau tidak berniat mendengar ucapan yang tidak jelas dan tidak ada tujuannya, maka beliau akan mengabaikan ucapan Pendeta Sirimanne (yang menganalogikan Gunananda Thera sebagai pasien yang menolak makanan sehat). Kemudian beliau juga membahas mengenai seberapa angkuhnya Firaun (sampai harus menggunakan tulah). Dan dalam kasus Yehuda dan Kereta besi, beliau menyangsikan apabila Yehuda tidak memiliki iman yang cukup kepada Tuhan, lalu mengapa Tuhan bersama nya saat itu ?
(Untuk menjawab pembantaian bayi yang dilakukan pada saat kelahiran Yesus, pendeta Sirimanne membalas dengan mengatakan Ibunda sang Buddha meninggal 7 hari setelah melahirkan sang Buddha). Gunananda Thera menjawab, bahwa ibunda Sang Buddha memang sudah ditakdirkan untuk meninggal pada saat itu, dan tidak ada hubungannya dengan melahirkan sang Buddha. Gunanada Thera menegaskan bahwa terjadinya pembunuhan masal (pada saat kelahiran Yesus) merupakan suatu pertanda buruk, dan tanda itu menunjukkan kalo dia (Yesus) merupakan pembawa bencana. Kemudian beliau menanyakan, apakah ada yg terluka ketika sang Buddha "mengaum" pada saat itu ?
Menanggapi mengenai (keaslian) ajaran Buddha yang dituliskan dalam kitab-kitab saat ini, beliau menyatakan bahwa ajaran Buddha telah ditulis di daun emas. Walau demikian, yang menulis (ulang) kitab-kitab Buddha adalah seseorang yang telah mencapai pencerahan (arahat), dan ini tidak dapat disamakan dengan para penyusun alkitab. Beliau juga menunjukkan bahwa musa sempat melakukan berbagai pembunuhan, bahkan beliau menyatakan kalau alkitab pernah dibakar seluruhnya dan kemudian ditulis kembali.
Kemudian pada saat Musa melakukan keajaiban di Mesir, penyihir Mesir pun pada saat itu dapat melakukan suatu keajaiban (mengubah tongkat menjadi ular), menurut Gunanada Thera keajaiban ini menunjukkan kalau (mungkin saja) Musa juga seorang penyihir atau memang Tuhan turut menolong penyihir tersebut (untuk melakukan keajaiban) Beliau pun menjelaskan mengapa Sang Buddha meninggalkan anak dan istrinya demi mencapai ke-Buddha-an, karena hal itu memang perlu dilakukan untuk melepaskan kemelekatan.
Mengenai pernyataan Pendeta Sirimanne atas lamanya Kristus di dalam kuburan, Gunananda Thera merasa kecewa dan menegaskan pandangannya, kalau 3 hari dan 3 malam itu jelas salah perhitungan. Beliau menyatakan, kalau beliau akan menunjukkan kesalahan doktrin Kristenn di akhir pernyataannya.
Pendeta De Silva:
Setelah mengatakan bahwa lawannya Gunananda Thera tidak objektif, beliau lalu mengambil contoh dalam kitab pengkhotbah 3:19 dan menyatakan bahwa dalam kitab penghotbah 3:21 ditunjukan bahwa manusia memiliki jiwa sedangkan hewan tidak. Setelah berkomentar bahwa jiwa manusia yang ada di surga sebagai jiwa yang kekal.
Beliau membahas mengenai kontradiksi yang Gunananda Thera bahas antara Korintus dan Matius, dengan menyatakan bahwa "membuat hidup" berbeda dengan "menyelamatkan". Mengenai kitab Buddha, Pendeta De Silva tetap berpendapat (walau dikatakan Gunananda Thera ditulis di daun emas) bahwa kitab tersebut dibuat 450 tahun setelah kematian Sang Buddha (yang akan mengalami ketidak akuratan) Membahas mengenai tuduhan Gunananda Thera tentang Musa yang melakukan pembunuhan, menurutnya Musa hanya membunuh orang Mesir yang berniat membunuh orang Isreal. Beliau melanjutkan, walau dikatakan penyusun kitab Buddha adalah orang-orang yang telah tercerahkan (Arahat), namun salah seorang Arahat ada yang pernah menjadi pencuri dan pembunuh (Angulimala) Setelah membahas mengenai beberapa skandal, seperti seseorang (murid sang buddha) yang melakukan pertaruhan dengan raja, merayu, dan membawa kabur istrinya, Pendeta De Silva juga membahas mengenai legenda Gunung Meru (Mahameru) yang disebutkan (dalam kitab Buddhis) sebagai pusat dunia dan dikatakan memiliki tinggi 84000 yojanas (1 yojanna = 16 mi / 26 km).
Beliau juga mengutip beberapa kitab Buddha, yang berisi peristiwa-peristiwa yang diramalkan sang Buddha sebelum terjadinya kehancuran dunia seperti:
*Bumi akan mengalami kekeringan (tanpa hujan) dan tanaman akan mati
*Matahari kedua akan muncul, dan sungai-sungai kecil serta danau akan mengering
*Matahari ketiga akan muncul dan sungai-sungai besar akan mengering
*Matahari keempat akan muncul dan danau besar akan mengering
*Matahari kelima akan muncul dan lautan akan mengering
*Matahari keenam akan muncul, Gunung Meru dan Bumi akan hancur.
Pendeta De Silva menujukkan globe dan bertanya dimanakah Gunung Meru? Gunung itu terus disebutkan dalam kitab Buddhis (sebagai gunung yg tertinggi), tentunya keberadaan gunung tersebut tidak akan luput dari mata para penjelajah (bila memang ada), namun dimanakah letak gunung tersebut ? Dikatakan diatas gunung Meru itu, terdapat kerajaan surga dan diatasnya lagi terdapat alam Brahma, diatas alam Brahma terdapat pula alam Arupa.
Jadi tanpa adanya gunung Meru, alam-alam ini jelas tidak dapat berdiri apalagi eksis. Lalu untuk apa berbuat baik dan benar kalau tidak ada kesempatan lahir di alam-alam ini (karena alam ini saja tidak eksis) Pendeta De Silva juga mengutip bahwa sebagian Bhikku Buddhis telah salah menafsirkan hidup selibat seperti yang telah diamanatkan, beberapa dari mereka melakukan hubungan sex dengan ibunya, beberapa dengan saudara perempuannya, dan beberapa dengan monyet betina, bahkan beberapa lagi melakukan "kesalahan besar dan tidak dapat dimaafkan", namun Buddha melihat itu hanya sebagai pelanggaran kecil. Lalu beliau membahas mengenai kematian Sang Buddha yang dianggap meninggal dengan cara yang sangat biasa, Sang Buddha meninggal karena keracunan makanan, namun tampaknya tak ada keajaiban yang membantu beliau (Sang Buddha) seperti yang (dikatakan) telah terjadi sepanjang karirnya (sebagai Buddha).
Beliau mengakhiri argumennya dengan mengatakan, hanya di dalam Yesus saja ada jalan menuju surga, Kemudian menyatakan bahwa segala pertanyaan mengenai Kekristenan (yang diajukan Gunananda Thera) telah dapat dijawab, namun segala pertanyaan mengenai Buddhisme belum semua terjawab.
Gunananda Thera:
Beliau mengulang kembali ayat Pengkhotbah 3:19 dimana tertulis manusia pun memiliki kesamaan dengan binatang, dan membantah pernyataan para pendeta yang mengatakan kalau doktrin Buddhisme menyampaikan hubungan sebab akibat yang dibuat-buat dan tidak masuk akal, karena menurut Gunananda Thera sebab akibat yang tidak masuk akal itu dtunjukkan oleh Kekristenan sendiri.
Yang ditunjukkan dalam trinitas Kekristenan dan perawan maria. Apakah Tuhan itu ayahnya? suami nya? atau anaknya sendiri? Beliau lanjut menegaskan kalau alkitab sendiri pernah dibakar dan ditulis kembali (sehingga tidak menjamin keasliannya), kitab Buddhis ditulis (kembali) oleh para Arahat yang telah mencapai pencerahan sempurna, yang walaupun seorang dari arahat itu (Angulimala) adalah seorang kriminal, namun beliau (Angulimala) telah menyesal dan mendapatkan hukuman atas perbuatan kriminalnya itu sebelum mencapai pencerahan, dibandingkan dengan Musa yang walau telah melakukan pembunuhan namun tidak merasa bersalah.
Gunananda Thera lanjut menyatakan kalau dalam kitab Buddhisme tidak ada satupun yang menuliskan kalau Buddha telah mentelantarkan istrinya, dan juga tidak pernah tertulis kalau seorang Buddha tidak mendapatkan karma atas perbuatannya di masa lalu. Mengenai gunung Meru, Gunananda Thera berpendapat bahwa Pendeta De Silva sedang membicarakan teori dari Isaac Newton yang mengatakan terjadinya malam diakibatkan matahari terhalang oleh bumi daripada gunung Meru. Beliau berpendapat kalau teori Newton belum dapat sepenuhnya diterima (pada masa itu) sambil mengutip teori R.J. Morrison dan Alkitab, kemudian beliau mengatakan kalau teori Kekristenan memiliki teori yang sama seperti Buddhisme, yang memahami kalau bumi ini bergerak secara stationer, seperti ditunjukan dalam ayat, Pengkhotbah 1:5, NIV: Matahari terbit dan matahari terbenam, dan bergegas kembali ke tempat ia terbit.
Gunananda Thera juga menunjukkan kalau jarum kompas selalu menunjuk arah utara dan tidak pada arah lainnya, ini (mungkin) berarti gunung Meru ada di kutub utara dan itu pasti menghasilkan daya magnetis. Beliau juga menegaskan kalau ukuran pasti untuk Yojanna itu masih kontroversial, mungkin saja ukuran gunung tersebut lebih kecil daripada yang Pendeta De Silva bayangkan.
Gunananda Thera juga berargumen kalau tingkah laku sebagian Bhikku Buddhis tidak dapat dijadikan alasan untuk mendiskreditkan ajaran Buddha, beliau memberikan contoh bahwa sebagian umat Kristenn pun telah melakukan hal yang tidak pantas, Bahkan dalam Alkitab sendiri terjadi hal-hal yang tidak bermoral seperti pernikahan Lot dan anak perempuannya, hubungan sesama darah (incest) ini pun dilakukan oleh Adam Hawa dan anak-anak mereka. Beliau menjelaskan kalau daging babi dan nasi yang dimakan sang Buddha bukanlah penyebab utama kematian sang Buddha, sang buddha meninggal karena waktunya telah tiba.
Pada kesempatan selanjutnya Gunananda Thera juga mengatakan kalau daging babi tersebut tidak berbeda dengan belalang yang dimakan Yohanes Pembaptis mengenai kebiasaan Yohanes pembaptis memakan belalang itu bisa dilihat di: Matius 3:4 Yohanes memakai jubah bulu unta dan ikat pinggang kulit, dan makanannya belalang dan madu hutan. ayat alkitab yang menyatakan belalang lazim dimakan : Imamat 11:22 Inilah yang boleh kamu makan dari antaranya: belalang-belalang menurut jenisnya, yaitu belalang-belalang gambar menurut jenisnya, belalang-belalang kunyit menurut jenisnya, dan belalang-belalang padi menurut jenisnya. Beliau melanjutkan, walaupun Sang Buddha telah meninggal.
Namun ada bagian lain dari Buddha yang masih hidup yaitu relik nya, yang telah ada sejak 2500 tahun yang lalu. Mereka akan berkumpul di pohon Boddhi tempat sang Buddha mencapai pencerahan, dan disana mereka akan membentuk perwujudan Buddha, memberikan ceramah sejenak lalu menghilang. Kemudian Buddha telah mencapai nibanna ketika hal tersebut terjadi. Membahas mengenai Buddha yang dikatakan maha mengetahui, beliau menjelaskan bahwa maha mengetahui-nya seorang Buddha berbeda dengan maha mengetahui-nya Tuhan Kristen, yang mengetahui apapun baik dia (Tuhan) inginkan atau tidak, tapi beliau (Buddha) hanya mengetahui apa yang ingin beliau ketahui. Yang membuat Buddha mengetahui segala penderitaan, kesedihan, dan kotornya dunia ini.
Beliau juga menanyakan, mengapa orang Kristen begitu menekankan (mendramatisir) kematian Yesus (yang dikatakan telah menebus dosa manusia), Yesus adalah seorang yang menyarankan para pengikutnya untuk mengangkat senjata (memberontak) dan mengganggap dirinya sebagai raja Yahudi. Mengenai kebangkitan Yesus, orang yang pertama melihatnya adalah Maria Magdalena, Maria sendiri sempat mengalami kesurupan, ada 7 iblis yang dikatakan bersemayam dalam tubuhnya sebelum akhirnya dilepaskan, melihat hal ini mungkin saja Maria mengalami gangguan kejiwaan sehingga apa yang dia lihat (mengenai kebangkitan Yesus) tidak dapat dipercaya.
Walau begitu, Gunananda Thera mempercayai kalau ada sesuatu yang tercipta secara spontan (tercipta tanpa penyebab) seperti udara, panas, dan air yang menciptakan makhluk hidup - seperti Brahma, Vishnu, dan Ishiwara atau Tuhan, anak, dan roh kudus. Membahas mengenai cerita Adam dan Hawa, dikatakan bahwa Hawa dihukum Tuhan karena telah memakan buah terlarang, Tuhan menghukumnya sehingga akan mengalami kesakitan ketika melahirkan. Namun, pada kenyataannya, binatang-binatang lain pun mengalami kesakitan yang sama pada saat melahirkan, apa binatang-binatang ini juga ikut makan buah terlarang?
Dalam pernyataan akhirnya, Gunananda Thera mengatakan ajaran Buddha telah diakui kebenarannya oleh para pakar baik oleh dokter, ahli astronomi, dan ahli-ahli lainnya. Beliau juga mengatakan kalau Buddhisme menanamkan moralitas murni dan mengutamakan penyangkalan diri, pengorbanan diri serta perbuatan baik. Ajaran ini mengajarkan kedamaian serta toleransi antar umat beragama. Ajaran ini membimbing tiap umatnya mengikuti jalan sang Buddha, yang telah menemukan jalan menuju kebahagiaan sejati (nibanna). Demikianlah Gunananda Thera telah membuktikan kebenaran ajaran Buddha dan mematahkan argumen pihak Nasrani, ia mendesak pendengarnya untuk berlindung kepada Buddha.
Para penonton meneriakan: Sadhu! Sadhu! Sadhu! ….. teriakan itu berhenti setelah diperintah oleh Gunananda Thera.
sumber: panapuram.blogspot.com
dhammacitta.org
catatan:
Orang-orang Kristen mungkin berpikir bahwa umat Buddha tidak berpendidikan dan karenanya dapat dengan mudah dikalahkan dalam perdebatan. Tapi hal ini bisa digambarkan sebagai salah perhitungan dari orang-orang Kristen. Para Bhikkhu Buddhis akrab dengan teks Pali dan Sansekerta seperti Nyaya Bindu yang ditulis dalam Sastra Dignāga dan Tarka oleh Dharmakirti, tentang seni berdebat, dan tidak ragu-ragu dalam menerima tantangan berdebat di depan umum.
Pendeta De Silva seorang pembicara yang ahli dalam Bahasa Pali dan Sansekerta, perdebatan dihadiri oleh sekitar 6000-7000 orang tetapi sedikit yang bisa mengerti apa yang disampaikan oleh pendeta De Silva, sebaliknya Gunananda Thera dengan menggunakan bahasa yang sederhana untuk menyanggah argumen-argumen pendeta De Silva lebih dapat di mengerti oleh audience.
Dr. Vijaya Samaraweera dalam artikelnya, "Pemerintah dan Agama: Masalah dan Kebijakan" mengatakan: "Mohottivatte Gunananda Thera membuktikan dirinya sebagai seorang pendebat dari tatanan yang tinggi, tabah, cerdas, fasih dan khususnya ilmiah. Emosi yang dihasilkan dalam perdebatan dan dampak dari kepribadian Gunananda Thera ini memiliki effek yang berlangsung pada generasi berikutnya dari kegiatan Buddhis. Kemenangan Mohottivatte Gunananda Thera di Panadura membuka kembali masa pemulihan kepercayaan diri umat Buddhis. Dalam restropeksi pendirian "Society For Propagation Of Buddishm" di Kotahena dan Lankaprakara Galle tampaknya menjadi fase awal yang positif dalam pemulihan kepercayaan umat Buddhis.
Dampak dari hasil debat ini sungguh luar biasa, berpengaruh secara lokal maupun internasional. Dalam kehidupan lokal hasil debat ini menghidupkan kembali indentitas dari komunitas kebanggan umat Buddha Sinhala. Pada kehidupan Internasional, berperan aktif terhadap kesadaran Buddhis di kehidupan barat. Editor dari "Ceylon Times Newspaper", John Cooper mengatur Edward Perera untuk menulis ringkasan hasil perdebatan, dan diterbitkan dalam jumlah ribuan kopi. Terjemahan ini juga diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul "Buddhism and Christianity Face to Face" oleh J.M. Peebles di Amerika pada tahun 1878. Setelah membaca salinan buku tersebut, Kolonel Henry Steel Olcott, pendiri "Theosopical Society" datang ke Sri Lanka pada 17 Mei 1880.
Dengan kedatangan Kolonel Henry Steel Olcott ke Sri Lanka, maka kegiatan pergerakan kebangkitan Buddhis di Sri Lanka menjadi lebih cepat. Olcott digambarkan oleh Gunananda Thera sebagai:".......seorang polemik orator yang cemerlang dari pulau, terror bagi para misionaris, dengan kepala yang sangat intelektual, paling cemerlang dan juara yang kuat dari Buddhis Sinhala.
Sumber yang paling mendekati mengenai Perdebatan Panadura di tahun 1873 ditemukan di perpustakaan Universitas California Berkeley, Controversy at Panadura, or Pa:nadura: Va:daya, Re-edited by Pranith Abhayasundara, Sri Lanka State Printing Company, 1990. Yang paling banyak dibahas buku ini adalah mengenai kepercayaan Buddhisme, termasuk mengenai umat buddha yang mempercayai Tuhan yg bersifat impersonal, hal yang sangat berbeda dengan Tuhan dalam konsep agama samawi.
Buku ini juga memuat beberapa gambar, lukisan dan gambar dari patung Venerable Migettuwatte/Mohottiwatte Sri Gunananda Thera. Beliau adalah seorang orator dan penulis yang banyak menyuarakan buddhisme, Beliaulah yang membangkitkan Buddhisme di Sri Lanka.
Berikut kejadiannya:
Pendeta De Silva:
Pendeta Del Silva berargumen bahwa buddhisme tidak mengenal adanya roh atau diri, mengutip dari beberapa kitab Buddha seperti:
(the original Pali) Rupam bhikkhave anattam, yadanattam n'etam mama n'eso 'hamismineso attati.
(English translation) Organized form, monks, is not self, that which is not self is not mind, I am not that, that is, not to me a soul.Beliau melanjutkan dengan mengklaim bahwa ini artinya tidak ada perbedaan mendasar antara manusia dan katak, babi, atau jenis binatang lainnya. Dan dengan tidak adanya penghargaan dan hukuman setelah kematian atas apa yang mereka lakukan selama hidup, hal ini akan berakibat manusia tidak takut untuk berbuat jahat. Kembali beliau mengutip alkitab, yang isinya mengatakan bahwa manusia memilik jiwa (sedangkan binatang tidak)
Gunananda Thera:
Beliau menanggapi terjemahan bahasa Pali yang disampaikan oleh pendeta De Silva, menurut beliau seseorang yang melakukan kesalahan dasar dalam penerjemahan tentu tidak akan paham dengan baik dari pengetahuan yang terdapat di dalamnya. Kemudian Gunananda Thera menjelaskan mengenai bagaimana reinkarnasi dalam buddhisme tanpa adanya roh - ada proses berkesinambungan setelah kematian tubuh. Beliau juga menuduhkan bahwa Misionaris Kristen melakukan penipuan dengan menggunakan nama dewa lokal sebagai Tuhan nya Kristen, yang dikatakan sebagai Ishwara dalam dewa Hindu di Kalkuta dan Deiyanwahanse di Sri Lanka.
Kemudian menurut beliau, para penerjemah Alkitab juga telah melakukan berbagai kesalahan serius seperti menerjemahkan kata "jealous" menjadi "jwalita" dalam bahasa sinhalese, yang artinya berkilau atau bercahaya. Dan juga menghilangkan beberapa ayat, seperti Imamat 17:7 yang isinya: "Janganlah mereka mempersembahkan lagi korban mereka kepada setan, sebab (menyembah setan) itu adalah zinah".
Beliau menyatakan penghargaannya kepada Katolik yang tidak melakukan pengubahan seperti yang dilakukan protestan.
Pada Kejadian 6:6
(KJV) Dan menyesallah Tuhan bahwa ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.
(NASB) TUHAN menyesal bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan Dia sedih di dalam hati-Nya.
NIV) TUHAN merasa sedih karena telah menjadikan manusia di dunia, hatinya penuh dengan rasa pedih.
Gunananda Thera mempertanyakan makhluk apakah yang menyesali sesuatu yang telah diperbuat. Ini jelas menunjukkan bahwa Tuhan bukannya makhluk yang maha tahu. Kemudian, mengapa TUHAN yang maha mengetahui membutuhkan tanda, saat Tuhan hendak membunuh keturunan pertama mesir, dimana (pada saat itu) umat israel diharuskan untuk memberi tanda darah pada pintu rumah mereka sehingga Tuhan tau siapa mereka dan tidak akan membunuh keturunan pertama mereka.
Dalam keluaran 4 juga disebutkan, Tuhan meminta Musa untuk melakukan berbagai keajaiban guna memperingatkan bangsa mesir, dan jika hal tersebut gagal untuk membuat mereka sadar, Musa akan terus melakukan keajaiban sampai keajaiban ini membuat bangsa mesir sadar/takjub.
Gunananda Thera menunjuk bahwa ini adalah contoh bahwa Tuhan itu tidak maha mengetahui. Di bab selanjutnya juga disebutkan: Zippora memaksa Musa untuk mempersembahkan kulit khitan kepada Tuhan yang hendak membunuh Musa. Dan Tuhan tampak puas dengan persembahan darah itu.
(Keluaran 4:24-26) - dimana Tuhan hendak mencari dan membunuh Musa. Alasannya adalah bahwa ia tidak menyunat anaknya laki-laki seperti yang diperintahkan Abraham. Demikianlah Zipora mengambil pisau batu dan memotong kulit khatan anaknya. (Keluaran 4:24-26). Demikianlah Musa diampuni oleh darah.
Gunananda Thera mempertanyakan Tuhan seperti apakah yang ada dalam alkitab itu, ini seperti setan yang senang menerima persembahan darah.
Pada Hakim 1:19 juga, beliau mempertanyakan bagaimana mungkin seorang yang maha bisa / kuasa tidak dapat mengalahkan kereta besi. (Hakim-hakim 1:19) - Dan Tuhan menyertai suku Yehuda, sehingga mereka menduduki pegunungan itu; tetapi mereka tidak dapat menghalau penduduk yang di lembah, sebab orang-orang ini mempunyai kereta-kereta besi.
Pendeta de Silva Beliau berkilah, dan mengatakan bahwa mudah baginya untuk mengulang kembali jawaban (atas pertanyaan Gunananda Thera) yang sudah dijawab sebelum-sebelumnya, kemudian kesalahan penulisan adalah bukan kesalahannya, Dan beliau juga menolak bahwa penerjemah alkitab bermaksud menipu/memperdaya. Beliau juga menjelaskan bahwa terjemahan nama Tuhan Kristen ke dalam nama Tuhan lokal tidak bertujuan untuk menipu calon pengikutnya, namun untuk memberikan pemahaman yang mudah dipahami.
Mengenai Kejadian 6:6, beliau menyatakan bahwa dalam bahasa aslinya (ibrani) kata tersebut (NoKAM) tidak memiliki arti menyesali. Dan penggunaan darah itu hanya sebagai simbol akan kematian Yesus. Beliau berusaha menunjukan bahwa doktrin buddhisme memiliki kontradiksi, dimana bentuk X adalah berasal dari bentuk Y dan Y berasal dari X.
Gunananda Thera:
Beliau memulai perkataannya dengan menunjukan bahwa pendeta tersebut menyebutnya sebagai viruddhakaraya (musuh), walaupun pada dasarnya mereka tidak memiliki permusuhan pribadi. Dan beliau tidak memiliki jalan lain selain melakukan hal yg sama. Beliau lanjut bertanya, mengapa Pendeta De Silva tidak memberikan komentar mengenai kesalahan dalam menterjemahkan "jealous" dalam alkitab yang berbahasa sinhalese, dan mengapa Tuhan dalam alkitab bisa merasa “jealous”.
Beliau melanjutkan, bahwa tampaknya pendeta De Silva hanya mengulang kesalahan orang lain dalam memahami bahasa pali tanpa pernah bermaksud mengetahui kebenarannya didalamnya. Dan walaupun pendeta De Silva memuji kejujuran penterjemah alkitab, penyusunan kitab tersebut menunjukkan sesuatu yang mencurigakan. Beliau pun mempertanyakan, Iswara dalam kepercayaan hindu memiliki istri yang bernama Umayaganawa, apakah Tuhan Kristen juga memiliki istri ?
Melanjutkan argumentasinya, beliau juga mengkritik pendeta De Silva karena tidak menjawab pertanyaan mengenai ke Maha Tahu-annya Tuhan dan kesenangannya akan persembahan darah. Beliau lalu melanjutkan pembahasan mendetail mengenai reinkarnasi, membahas beberapa pandangan tentang jiwa, dan menyatakan bahwa beberapa pandangan Kristen sejalan dengan pandangan Buddhisme dalam melihat adanya kehidupan sebelum kelahiran dan setelah kematian.
Kemudian, beliau juga membahas mengenai Yefta yang diminta mengorbankan anaknya untuk dijadikan korban bakaran bagi Tuhan, menurut beliau protestan melakukan perubahan pada kitab mereka untuk menunjukkan bahwa pengorbanan ini tidak bermakna sebenarnya (harafiah). Berbeda dengan Katolik yang secara jujur menjelaskan tentang pengorbanan ini. Beliau lalu mempertanyakan tulisan mengenai lamanya Yesus berdiam di dalam kuburannya (sebelum bangkit), tertulis 3 hari dan 3 malam, namun hal tersebut tidak menunjukan kesesuaian apabila dikatakan jumat siang sampai minggu pagi.
Kemudian beliau juga berargumen bahwa kelahiran Yesus ditandai dengan hal buruk yang menyertainya, dimana Raja Herodes melakukan pembunuhan masal pada bayi lelaki. Dibandingkan dengan kelahiran seorang Buddha yang ditandai dengan hal-hal baik. Walau begitu cerita mengenai Buddha merupakan sesuatu yg pararel, dimana ayah sang Buddha mencoba membesarkan beliau untuk melanjutkan tahta kerajaannya, tidak sebagai guru spiritual.
Gunananda Thera menutup pembicaraanya dengan menyatakan bahwa beliau tentu akan meninggalkan Buddhisme, bila banyak kematian yang timbul akibat kelahiran sang Buddha.
Pendeta Sirimanne:
Beliau memulai percakapannya dengan menggambarkan bahwa penolakan Gunananda Thera sama seperti pasien yang sakit namun menolak makanan yang baik bagi tubuhnya, tak perduli betapa baiknya manfaatnya makanan tersebut Beliau berpendapat bahwa Gunananda Thera tidak menjawab argumentasinya mengenai ajaran Buddhisme tentang tidak adanya jiwa dan buddhisme juga (tampaknya) mengajarkan mengenai makhluk yang berciri-ciri seperti jiwa (makhluk yang tidak berwujud, tidak terlihat, dan sebagainya) Beliau melanjutkan bahwa Tuhan dalam alkitab menjadi "cemburu" namun tidak berarti "iri", Dia (Tuhan) hanya tidak ingin kemenangan (penghormatan akan diri Nya) dibagi dengan yang lain. Mengenai 10 kutukan di tanah mesir, beliau menyatakan bahwa Tuhan sesungguhnya tau apa yang akan terjadi, namun hal itu tetap dilakukan Nya karena raja Mesir terlalu angkuh.
Beliau melanjutkan mengenai ketidakmampuan Tuhan menghadapi kereta besi pada Hakim 1:19, itu sebenarnya karena Yehuda yang tidak memiliki cukup iman kepada-Nya. Beliau juga menyatakan bahwa Alkitab tidak hanya benar dan terbukti secara sejarah, namun juga penuh dengan pelajaran spiritual yang berharga untuk generasi mendatang. Beliau juga tertawa akan pemahaman Gunananda Thera mengenai penciptaan Adam oleh Tuhan yang dikatakan Tuhan meniup Adam.
Gunananda Thera mengartikan hal tersebut sebagai Adam menerima beberapa jiwa Tuhan. Lalu pembahasan mengenai pengorbanan yang dilakukan Yefta, menurut beliau anak tersebut tidak benar-benar bermaksud untuk dikorbankan, kemudian mengenai perbedaan waktu keberadaan Yesus di dalam kubur terjadi karena kaum Yahudi memiliki cara penghitungan tanggal/waktu yang berbeda. Beliau juga meluruskan bahwa pembantaian yang dilakukan oleh Herodes mungkin tidak pantas disebut tanda buruk, karena menurutnya mereka (korban pembantaian) akan masuk surga, dan mereka akan lebih bahagia disana.
Mengenai kelahiran Sang Buddha, Pendeta Sirimmane mengemukakan kalau ibu Sang Buddha meninggal 7 hari setelah kelahirannya dan Buddha tidak hanya dapat berjalan namun berbicara ketika dia dilahirkan, kemudian dia (Buddha) mengaum layaknya singa. Beliau menunjukkan bahwa auman singa dipercaya merupakan sesuatu yg mematikan (pertanda buruk) Beliau melanjutkan dengan membahas mengenai kitab-kitab Buddha yang ditulis 450 tahun setelah kematian sang Buddha, ini jelas menunjukkan bahwa terjemahan kitab tersebut diragukan kebenarannya. Beliau melanjutkan, menurutnya Buddha mengejar pencerahan di kehidupan terdahulunya dengan mempersebahkan mata, kepala, tulang, darah, istri dan anaknya. Hal ini tentu sangat kejam dan menimbulkan penderitaan buat anak dan istrinya.
Beliau pun meragukan kalau Buddha adalah seorang yang Maha mengetahui seperti yang dikatakan banyak orang (merujuk cerita dimana sang Buddha mengetahui kematian seseorang), karena pada awalnya sang Buddha sempat ragu kalau orang-orang akan mengerti akan ajaran yang dibawanya. Beliau pun menginterpretasikan nibanna sebagai suatu kondisi diluar eksistensi, dan Buddha adalah seseorang yang mencapai hal tersebut (tidak eksis lagi), ini berarti berlindung kepada Buddha adalah berlindung kepada sesuatu yang tidak eksis. Beliau menyimpulkan bahwa banyak Bhikkhu Buddhis adalah seorang yang jahat, sehingga membuat mereka tidak pantas dijadikan sebagai panutan moral.
Gunananda Thera:
Beliau menunjukkan kekecewaan pada kualitas argumen dari lawan debatnya, kemudian mengutip ayat. Penghotbah 3:19 NIV: "Karena nasib manusia adalah sama dengan nasib binatang, nasib yang sama menimpa mereka; sebagaimana yang satu mati, demikian juga yang lain. Kedua-duanya mempunyai nafas yang sama, dan manusia tak mempunyai kelebihan atas binatang, karena segala sesuatu adalah sia-sia".
Dimana ayat tersebut menunjuk persis seperti tuduhan De Silva atas ajaran Buddha (Yang mengatakan bahwa jika dalam ajaran Buddha, tidak ada jiwa, maka manusia dan hewan adalah tidak ada bedanya). Kemudian beliau Gunanda Thera menantang pendeta De Silva untuk menunjukkan pernyataan serupa (bila ada) dalam kitab Buddha.
Setelah menjelaskan beberapa doktrin Buddhisme, dan pembahasan mengenai "apa" yang mengalami reinkarnasi kalau tidak adanya jiwa, beliau menunjukkan beberapa kontradiksi dalam ajaran Kristiani 1 Korintus 15:22-28 Dalam Adam semua akan mati, namun Kristus membuatnya menjadi hidup .. - menunjukkan bahwa siapapun yang percaya kepada Yesus akan masuk surga 2.Matius 25:41-46 Kemudian dia mengatakan pada orang ada disebelah kirinya: pergilah daripadaku, kau yang terkutuk ke dalam api kekal yang diperuntukkan kepada iblis dan malaikatnya ...(mereka yg melakukan hal jahat" ... Kemudian mereka akan pergi menuju hukuman kekal, namun yang benar menuju kehidupan kekal - ini menunjukkan bahwa seseorang yang percaya pada Yesus pun, dapat saja masuk neraka.
Beliau lalu menanyakan, mengapa Alkitab melalukan kontradiksi serius semacam itu. Mana yang benar ? Tidak mungkin keduanya benar (karena di ayat pertama di katakan, Yesus memberikan kehidupan kekal - pada mereka yg percaya, namun di ayat kedua.. dikatakan kalau mereka melakukan hal yang tidak benar, walaupun percaya Yesus tetap saja masuk neraka / mengalami kematian kekal)
Membahas mengenai ucapan Pendeta Sirimanne, Gunananda Thera berkomentar bahwa beliau tidak berniat mendengar ucapan yang tidak jelas dan tidak ada tujuannya, maka beliau akan mengabaikan ucapan Pendeta Sirimanne (yang menganalogikan Gunananda Thera sebagai pasien yang menolak makanan sehat). Kemudian beliau juga membahas mengenai seberapa angkuhnya Firaun (sampai harus menggunakan tulah). Dan dalam kasus Yehuda dan Kereta besi, beliau menyangsikan apabila Yehuda tidak memiliki iman yang cukup kepada Tuhan, lalu mengapa Tuhan bersama nya saat itu ?
(Untuk menjawab pembantaian bayi yang dilakukan pada saat kelahiran Yesus, pendeta Sirimanne membalas dengan mengatakan Ibunda sang Buddha meninggal 7 hari setelah melahirkan sang Buddha). Gunananda Thera menjawab, bahwa ibunda Sang Buddha memang sudah ditakdirkan untuk meninggal pada saat itu, dan tidak ada hubungannya dengan melahirkan sang Buddha. Gunanada Thera menegaskan bahwa terjadinya pembunuhan masal (pada saat kelahiran Yesus) merupakan suatu pertanda buruk, dan tanda itu menunjukkan kalo dia (Yesus) merupakan pembawa bencana. Kemudian beliau menanyakan, apakah ada yg terluka ketika sang Buddha "mengaum" pada saat itu ?
Menanggapi mengenai (keaslian) ajaran Buddha yang dituliskan dalam kitab-kitab saat ini, beliau menyatakan bahwa ajaran Buddha telah ditulis di daun emas. Walau demikian, yang menulis (ulang) kitab-kitab Buddha adalah seseorang yang telah mencapai pencerahan (arahat), dan ini tidak dapat disamakan dengan para penyusun alkitab. Beliau juga menunjukkan bahwa musa sempat melakukan berbagai pembunuhan, bahkan beliau menyatakan kalau alkitab pernah dibakar seluruhnya dan kemudian ditulis kembali.
Kemudian pada saat Musa melakukan keajaiban di Mesir, penyihir Mesir pun pada saat itu dapat melakukan suatu keajaiban (mengubah tongkat menjadi ular), menurut Gunanada Thera keajaiban ini menunjukkan kalau (mungkin saja) Musa juga seorang penyihir atau memang Tuhan turut menolong penyihir tersebut (untuk melakukan keajaiban) Beliau pun menjelaskan mengapa Sang Buddha meninggalkan anak dan istrinya demi mencapai ke-Buddha-an, karena hal itu memang perlu dilakukan untuk melepaskan kemelekatan.
Mengenai pernyataan Pendeta Sirimanne atas lamanya Kristus di dalam kuburan, Gunananda Thera merasa kecewa dan menegaskan pandangannya, kalau 3 hari dan 3 malam itu jelas salah perhitungan. Beliau menyatakan, kalau beliau akan menunjukkan kesalahan doktrin Kristenn di akhir pernyataannya.
Pendeta De Silva:
Setelah mengatakan bahwa lawannya Gunananda Thera tidak objektif, beliau lalu mengambil contoh dalam kitab pengkhotbah 3:19 dan menyatakan bahwa dalam kitab penghotbah 3:21 ditunjukan bahwa manusia memiliki jiwa sedangkan hewan tidak. Setelah berkomentar bahwa jiwa manusia yang ada di surga sebagai jiwa yang kekal.
Beliau membahas mengenai kontradiksi yang Gunananda Thera bahas antara Korintus dan Matius, dengan menyatakan bahwa "membuat hidup" berbeda dengan "menyelamatkan". Mengenai kitab Buddha, Pendeta De Silva tetap berpendapat (walau dikatakan Gunananda Thera ditulis di daun emas) bahwa kitab tersebut dibuat 450 tahun setelah kematian Sang Buddha (yang akan mengalami ketidak akuratan) Membahas mengenai tuduhan Gunananda Thera tentang Musa yang melakukan pembunuhan, menurutnya Musa hanya membunuh orang Mesir yang berniat membunuh orang Isreal. Beliau melanjutkan, walau dikatakan penyusun kitab Buddha adalah orang-orang yang telah tercerahkan (Arahat), namun salah seorang Arahat ada yang pernah menjadi pencuri dan pembunuh (Angulimala) Setelah membahas mengenai beberapa skandal, seperti seseorang (murid sang buddha) yang melakukan pertaruhan dengan raja, merayu, dan membawa kabur istrinya, Pendeta De Silva juga membahas mengenai legenda Gunung Meru (Mahameru) yang disebutkan (dalam kitab Buddhis) sebagai pusat dunia dan dikatakan memiliki tinggi 84000 yojanas (1 yojanna = 16 mi / 26 km).
Beliau juga mengutip beberapa kitab Buddha, yang berisi peristiwa-peristiwa yang diramalkan sang Buddha sebelum terjadinya kehancuran dunia seperti:
*Bumi akan mengalami kekeringan (tanpa hujan) dan tanaman akan mati
*Matahari kedua akan muncul, dan sungai-sungai kecil serta danau akan mengering
*Matahari ketiga akan muncul dan sungai-sungai besar akan mengering
*Matahari keempat akan muncul dan danau besar akan mengering
*Matahari kelima akan muncul dan lautan akan mengering
*Matahari keenam akan muncul, Gunung Meru dan Bumi akan hancur.
Pendeta De Silva menujukkan globe dan bertanya dimanakah Gunung Meru? Gunung itu terus disebutkan dalam kitab Buddhis (sebagai gunung yg tertinggi), tentunya keberadaan gunung tersebut tidak akan luput dari mata para penjelajah (bila memang ada), namun dimanakah letak gunung tersebut ? Dikatakan diatas gunung Meru itu, terdapat kerajaan surga dan diatasnya lagi terdapat alam Brahma, diatas alam Brahma terdapat pula alam Arupa.
Jadi tanpa adanya gunung Meru, alam-alam ini jelas tidak dapat berdiri apalagi eksis. Lalu untuk apa berbuat baik dan benar kalau tidak ada kesempatan lahir di alam-alam ini (karena alam ini saja tidak eksis) Pendeta De Silva juga mengutip bahwa sebagian Bhikku Buddhis telah salah menafsirkan hidup selibat seperti yang telah diamanatkan, beberapa dari mereka melakukan hubungan sex dengan ibunya, beberapa dengan saudara perempuannya, dan beberapa dengan monyet betina, bahkan beberapa lagi melakukan "kesalahan besar dan tidak dapat dimaafkan", namun Buddha melihat itu hanya sebagai pelanggaran kecil. Lalu beliau membahas mengenai kematian Sang Buddha yang dianggap meninggal dengan cara yang sangat biasa, Sang Buddha meninggal karena keracunan makanan, namun tampaknya tak ada keajaiban yang membantu beliau (Sang Buddha) seperti yang (dikatakan) telah terjadi sepanjang karirnya (sebagai Buddha).
Beliau mengakhiri argumennya dengan mengatakan, hanya di dalam Yesus saja ada jalan menuju surga, Kemudian menyatakan bahwa segala pertanyaan mengenai Kekristenan (yang diajukan Gunananda Thera) telah dapat dijawab, namun segala pertanyaan mengenai Buddhisme belum semua terjawab.
Gunananda Thera:
Beliau mengulang kembali ayat Pengkhotbah 3:19 dimana tertulis manusia pun memiliki kesamaan dengan binatang, dan membantah pernyataan para pendeta yang mengatakan kalau doktrin Buddhisme menyampaikan hubungan sebab akibat yang dibuat-buat dan tidak masuk akal, karena menurut Gunananda Thera sebab akibat yang tidak masuk akal itu dtunjukkan oleh Kekristenan sendiri.
Yang ditunjukkan dalam trinitas Kekristenan dan perawan maria. Apakah Tuhan itu ayahnya? suami nya? atau anaknya sendiri? Beliau lanjut menegaskan kalau alkitab sendiri pernah dibakar dan ditulis kembali (sehingga tidak menjamin keasliannya), kitab Buddhis ditulis (kembali) oleh para Arahat yang telah mencapai pencerahan sempurna, yang walaupun seorang dari arahat itu (Angulimala) adalah seorang kriminal, namun beliau (Angulimala) telah menyesal dan mendapatkan hukuman atas perbuatan kriminalnya itu sebelum mencapai pencerahan, dibandingkan dengan Musa yang walau telah melakukan pembunuhan namun tidak merasa bersalah.
Gunananda Thera lanjut menyatakan kalau dalam kitab Buddhisme tidak ada satupun yang menuliskan kalau Buddha telah mentelantarkan istrinya, dan juga tidak pernah tertulis kalau seorang Buddha tidak mendapatkan karma atas perbuatannya di masa lalu. Mengenai gunung Meru, Gunananda Thera berpendapat bahwa Pendeta De Silva sedang membicarakan teori dari Isaac Newton yang mengatakan terjadinya malam diakibatkan matahari terhalang oleh bumi daripada gunung Meru. Beliau berpendapat kalau teori Newton belum dapat sepenuhnya diterima (pada masa itu) sambil mengutip teori R.J. Morrison dan Alkitab, kemudian beliau mengatakan kalau teori Kekristenan memiliki teori yang sama seperti Buddhisme, yang memahami kalau bumi ini bergerak secara stationer, seperti ditunjukan dalam ayat, Pengkhotbah 1:5, NIV: Matahari terbit dan matahari terbenam, dan bergegas kembali ke tempat ia terbit.
Gunananda Thera juga menunjukkan kalau jarum kompas selalu menunjuk arah utara dan tidak pada arah lainnya, ini (mungkin) berarti gunung Meru ada di kutub utara dan itu pasti menghasilkan daya magnetis. Beliau juga menegaskan kalau ukuran pasti untuk Yojanna itu masih kontroversial, mungkin saja ukuran gunung tersebut lebih kecil daripada yang Pendeta De Silva bayangkan.
Gunananda Thera juga berargumen kalau tingkah laku sebagian Bhikku Buddhis tidak dapat dijadikan alasan untuk mendiskreditkan ajaran Buddha, beliau memberikan contoh bahwa sebagian umat Kristenn pun telah melakukan hal yang tidak pantas, Bahkan dalam Alkitab sendiri terjadi hal-hal yang tidak bermoral seperti pernikahan Lot dan anak perempuannya, hubungan sesama darah (incest) ini pun dilakukan oleh Adam Hawa dan anak-anak mereka. Beliau menjelaskan kalau daging babi dan nasi yang dimakan sang Buddha bukanlah penyebab utama kematian sang Buddha, sang buddha meninggal karena waktunya telah tiba.
Pada kesempatan selanjutnya Gunananda Thera juga mengatakan kalau daging babi tersebut tidak berbeda dengan belalang yang dimakan Yohanes Pembaptis mengenai kebiasaan Yohanes pembaptis memakan belalang itu bisa dilihat di: Matius 3:4 Yohanes memakai jubah bulu unta dan ikat pinggang kulit, dan makanannya belalang dan madu hutan. ayat alkitab yang menyatakan belalang lazim dimakan : Imamat 11:22 Inilah yang boleh kamu makan dari antaranya: belalang-belalang menurut jenisnya, yaitu belalang-belalang gambar menurut jenisnya, belalang-belalang kunyit menurut jenisnya, dan belalang-belalang padi menurut jenisnya. Beliau melanjutkan, walaupun Sang Buddha telah meninggal.
Namun ada bagian lain dari Buddha yang masih hidup yaitu relik nya, yang telah ada sejak 2500 tahun yang lalu. Mereka akan berkumpul di pohon Boddhi tempat sang Buddha mencapai pencerahan, dan disana mereka akan membentuk perwujudan Buddha, memberikan ceramah sejenak lalu menghilang. Kemudian Buddha telah mencapai nibanna ketika hal tersebut terjadi. Membahas mengenai Buddha yang dikatakan maha mengetahui, beliau menjelaskan bahwa maha mengetahui-nya seorang Buddha berbeda dengan maha mengetahui-nya Tuhan Kristen, yang mengetahui apapun baik dia (Tuhan) inginkan atau tidak, tapi beliau (Buddha) hanya mengetahui apa yang ingin beliau ketahui. Yang membuat Buddha mengetahui segala penderitaan, kesedihan, dan kotornya dunia ini.
Beliau juga menanyakan, mengapa orang Kristen begitu menekankan (mendramatisir) kematian Yesus (yang dikatakan telah menebus dosa manusia), Yesus adalah seorang yang menyarankan para pengikutnya untuk mengangkat senjata (memberontak) dan mengganggap dirinya sebagai raja Yahudi. Mengenai kebangkitan Yesus, orang yang pertama melihatnya adalah Maria Magdalena, Maria sendiri sempat mengalami kesurupan, ada 7 iblis yang dikatakan bersemayam dalam tubuhnya sebelum akhirnya dilepaskan, melihat hal ini mungkin saja Maria mengalami gangguan kejiwaan sehingga apa yang dia lihat (mengenai kebangkitan Yesus) tidak dapat dipercaya.
Walau begitu, Gunananda Thera mempercayai kalau ada sesuatu yang tercipta secara spontan (tercipta tanpa penyebab) seperti udara, panas, dan air yang menciptakan makhluk hidup - seperti Brahma, Vishnu, dan Ishiwara atau Tuhan, anak, dan roh kudus. Membahas mengenai cerita Adam dan Hawa, dikatakan bahwa Hawa dihukum Tuhan karena telah memakan buah terlarang, Tuhan menghukumnya sehingga akan mengalami kesakitan ketika melahirkan. Namun, pada kenyataannya, binatang-binatang lain pun mengalami kesakitan yang sama pada saat melahirkan, apa binatang-binatang ini juga ikut makan buah terlarang?
Dalam pernyataan akhirnya, Gunananda Thera mengatakan ajaran Buddha telah diakui kebenarannya oleh para pakar baik oleh dokter, ahli astronomi, dan ahli-ahli lainnya. Beliau juga mengatakan kalau Buddhisme menanamkan moralitas murni dan mengutamakan penyangkalan diri, pengorbanan diri serta perbuatan baik. Ajaran ini mengajarkan kedamaian serta toleransi antar umat beragama. Ajaran ini membimbing tiap umatnya mengikuti jalan sang Buddha, yang telah menemukan jalan menuju kebahagiaan sejati (nibanna). Demikianlah Gunananda Thera telah membuktikan kebenaran ajaran Buddha dan mematahkan argumen pihak Nasrani, ia mendesak pendengarnya untuk berlindung kepada Buddha.
Para penonton meneriakan: Sadhu! Sadhu! Sadhu! ….. teriakan itu berhenti setelah diperintah oleh Gunananda Thera.
sumber: panapuram.blogspot.com
dhammacitta.org
catatan:
Orang-orang Kristen mungkin berpikir bahwa umat Buddha tidak berpendidikan dan karenanya dapat dengan mudah dikalahkan dalam perdebatan. Tapi hal ini bisa digambarkan sebagai salah perhitungan dari orang-orang Kristen. Para Bhikkhu Buddhis akrab dengan teks Pali dan Sansekerta seperti Nyaya Bindu yang ditulis dalam Sastra Dignāga dan Tarka oleh Dharmakirti, tentang seni berdebat, dan tidak ragu-ragu dalam menerima tantangan berdebat di depan umum.
Pendeta De Silva seorang pembicara yang ahli dalam Bahasa Pali dan Sansekerta, perdebatan dihadiri oleh sekitar 6000-7000 orang tetapi sedikit yang bisa mengerti apa yang disampaikan oleh pendeta De Silva, sebaliknya Gunananda Thera dengan menggunakan bahasa yang sederhana untuk menyanggah argumen-argumen pendeta De Silva lebih dapat di mengerti oleh audience.
Dr. Vijaya Samaraweera dalam artikelnya, "Pemerintah dan Agama: Masalah dan Kebijakan" mengatakan: "Mohottivatte Gunananda Thera membuktikan dirinya sebagai seorang pendebat dari tatanan yang tinggi, tabah, cerdas, fasih dan khususnya ilmiah. Emosi yang dihasilkan dalam perdebatan dan dampak dari kepribadian Gunananda Thera ini memiliki effek yang berlangsung pada generasi berikutnya dari kegiatan Buddhis. Kemenangan Mohottivatte Gunananda Thera di Panadura membuka kembali masa pemulihan kepercayaan diri umat Buddhis. Dalam restropeksi pendirian "Society For Propagation Of Buddishm" di Kotahena dan Lankaprakara Galle tampaknya menjadi fase awal yang positif dalam pemulihan kepercayaan umat Buddhis.
Dampak dari hasil debat ini sungguh luar biasa, berpengaruh secara lokal maupun internasional. Dalam kehidupan lokal hasil debat ini menghidupkan kembali indentitas dari komunitas kebanggan umat Buddha Sinhala. Pada kehidupan Internasional, berperan aktif terhadap kesadaran Buddhis di kehidupan barat. Editor dari "Ceylon Times Newspaper", John Cooper mengatur Edward Perera untuk menulis ringkasan hasil perdebatan, dan diterbitkan dalam jumlah ribuan kopi. Terjemahan ini juga diterbitkan dalam bentuk buku yang berjudul "Buddhism and Christianity Face to Face" oleh J.M. Peebles di Amerika pada tahun 1878. Setelah membaca salinan buku tersebut, Kolonel Henry Steel Olcott, pendiri "Theosopical Society" datang ke Sri Lanka pada 17 Mei 1880.
Dengan kedatangan Kolonel Henry Steel Olcott ke Sri Lanka, maka kegiatan pergerakan kebangkitan Buddhis di Sri Lanka menjadi lebih cepat. Olcott digambarkan oleh Gunananda Thera sebagai:".......seorang polemik orator yang cemerlang dari pulau, terror bagi para misionaris, dengan kepala yang sangat intelektual, paling cemerlang dan juara yang kuat dari Buddhis Sinhala.
salam kenal,
BalasHapusketika membaca artikel ini, apakah manusia saat ini dapat mendengar suara langsung dari Tuhan dimanakah sorga/nirwana itu ?