Mohottiwatte Gunananda Thera atau Migettuwatte Gunananda Thera dilahirkan pada 9 Februari tahun 1823 di desa
Mohottiwatta di keluarga Buddhis yang makmur. Para bhikkhu di Sri Lanka,
setelah pentahbisan, biasanya menambahkan nama dari desa mereka ke nama mereka
sendiri. Gunananda telah memiliki hubungan dekat dengan pendeta Katolik di masa
mudanya dan menerima pendidikan di sekolah-sekolah Kristen. Beliau
pernah, pada suatu waktu, bahkan mempertimbangkan untuk menjadi seorang pendeta
Kristen.
Akan tetapi, beliau berubah pikiran setelah berhubungan dengan
beberapa bhikkhu dari desanya dan ditahbiskan sebagai Bhikkhu di usia ke 20, di Vihara Dodanduwa Gala Uda oleh Y.M. Thelikada Sonutthara Thera, menjadi anggota
dari kelompok persaudaraan Amarapura. Kecakapan pidatonya dengan segera menjadi
nyata dan beliau juga mulai memperoleh kecakapan besar dalam ajaran-ajaran
Buddha.
Pada suatu hari beliau membaca majalah Buddha Sahodaraya (Sinhala Buddha Brotherhood), beliau melihat bahwa umat Buddha di Colombo tunduk pada diskriminasi agama oleh umat Kristen. Setelah mempelajari bahwa umat Buddhis di Colombo merupakan subjek tekanan
dari misionaris dan diskriminasi oleh pemerintah, beliau pindah kesana dan mulai
mempertahankan ajaran Buddha dengan publikasi dan pidatonya.
Di tahun 1862, beliau membentuk ‘Society for the Propagation of Buddhism’
(Perhimpunan untuk Penyebaran
Ajaran Buddha) untuk menyusun perlawanan terhadap serangan-serangan misionaris,
dan untuk mempublikasikan brosur dan selebaran untuk melawan material
anti-Buddhis yang dibagikan oleh umat Kristen. Gunananda kemudian memimpin umat
Buddhis dalam rangkaian dari debat-debat yang sangat penting dengan umat Kristen,
yang memuncak dalam Debat Panadura yang terkenal di tahun 1873.
Para misionaris Kristen menyebarkan agama memlalui pamflet dan buku-buku. Rev.D.J. Gogerly misionaris dari Weselyn menerbitkan "Christian Pragnapthi" pada tahun 1849. Gunananda menjawabnya dengan menerbitkan Durlabdi Vinodini pada tahun 1862. Hikkaduwe Sumanggala Thera menulis "Christiani Vada Mardanaya dan Samyak Darshanaya" pada tahun 1862-1863. Setelah itu publikasi di gantikan dengan debat publik.
Perdebatan Baddegama berasal dari argumen yang timbul antara seorang biarawan muda bernama Sumangala dan seorang pendeta Kristen di kuil Baddegama. Gunananda Thera dan biarawan lainnya, termasuk Bulatgama Dhammalankara, Sri Sumanatissa, Kahawe Nanananda, Hikkaduwe Sumangala, Weligama Sri Sumangala, Pothuwila Gunaratana berpartisipasi dalam perdebatan. Perdebatan tidak diadakan tatap muka. Hal ini karena cara perilaku para pendebat Kristen telah menyebabkan konflik, Buddha, sebagai mayoritas, secara alami akan disalahkan. Mengingat situasi kedua pihak sepakat untuk melaksanakan debat secara tertulis. Awalnya teks disusun dalam Baddegama, meskipun tulisan-tulisan selanjutnya dilakukan di Galle. Perdebatan Waragoda juga diadakan pada tahun 1865.
Para misionaris Kristen menyebarkan agama memlalui pamflet dan buku-buku. Rev.D.J. Gogerly misionaris dari Weselyn menerbitkan "Christian Pragnapthi" pada tahun 1849. Gunananda menjawabnya dengan menerbitkan Durlabdi Vinodini pada tahun 1862. Hikkaduwe Sumanggala Thera menulis "Christiani Vada Mardanaya dan Samyak Darshanaya" pada tahun 1862-1863. Setelah itu publikasi di gantikan dengan debat publik.
Perdebatan Baddegama berasal dari argumen yang timbul antara seorang biarawan muda bernama Sumangala dan seorang pendeta Kristen di kuil Baddegama. Gunananda Thera dan biarawan lainnya, termasuk Bulatgama Dhammalankara, Sri Sumanatissa, Kahawe Nanananda, Hikkaduwe Sumangala, Weligama Sri Sumangala, Pothuwila Gunaratana berpartisipasi dalam perdebatan. Perdebatan tidak diadakan tatap muka. Hal ini karena cara perilaku para pendebat Kristen telah menyebabkan konflik, Buddha, sebagai mayoritas, secara alami akan disalahkan. Mengingat situasi kedua pihak sepakat untuk melaksanakan debat secara tertulis. Awalnya teks disusun dalam Baddegama, meskipun tulisan-tulisan selanjutnya dilakukan di Galle. Perdebatan Waragoda juga diadakan pada tahun 1865.
Debat selanjutnya dilakukan di Udanwita di Distrik Hathara, sekarang Distrik Kegalle. Sang Pencipta, Penebus dan Surga Abadi adalah topik debat. Perdebatan dilakukan pada 1 Februari 1866. John Edwards Hunupola mewakili pihak Kristen, Dia adalah seorang mantan Bhikkhu Buddhis yang beralih ke Kristiani. Seperti disepakati sebelum debat, Gunananda Thera menerbitkan ringkasan perdebatan sebagai tanggapan atas Hunupola yang juga menerbitkan sendiri versi ringkasan. Gunananda Thera mengeluarkan publikasi yang lebih untuk melawan ringkasan Hunupola itu. Tidak ada catatan dari perdebatan Liyanagemulla, faktanya hanya dikenal bahwa debat itu diadakan pada tahun 1866.
Sebagai intensitas dari perdebatan yang semakin naik di sisi Buddha
dan pihak Kristen, kedua belah pihak sepakat untuk berdebat di Gampola pada 9 dan 10 Juni tahun 1871.
Gunananda Thera menampilkan keterampilan pidato
dalam debat ini dan di apresiasi penonton sampai menangis dalam sukacita dan kemudian Gunananda Thera diarak sekitar kota Gampola. Setelah Gunananda Thera menyampaikan khotbah di beberapa tempat
di Gampola, orang-orang
mulai mengatur
prosesi, membawa Thera
ke stasiun kereta api Peradeniya dan mengirim dia kembali ke Kolombo. Kemudia orang-orang mengumpulkan uang sebesar £ 75,00
untuk mencetak khotbah yang telah disampaikan Gunananda
Thera.
Semua perdebatan yang
paling memuncak dan paling menonjol dari semua perdebatan, adalah
perdebatan Panadura, dua
tahun setelah perdebatan Gampola
pada tahun 1873. Penyebab debat ini
terjadi ketika Pendeta David De Silva menyampaikan
khotbah tentang “Soul” di Chapel Wesleyan, Panadura pada 12 Juni
1873. Gunananda
Thera menyampaikan khotbah seminggu kemudian mengkritik poin yang
diangkat oleh Pendeta David De Silva. Kedua
belah pihak menandatangani perjanjian
pada tanggal 24 Juli 1873 untuk menggelar Perdebatan di Panadura, meskipun ini bukan satu-satunya penyebab perdebatan karena perdebatan tentang isu-isu agama telah dimulai lebih dari 10 tahun
sebelumnya.
Penampilannya yang mengagumkan dan kemenangannya yang meyakinkan mencetuskan kebangkitan dari ajaran Buddha di seluruh pulau, dan beliau disambut sebagai pahlawan nasional. Sebelum kematiannya di usia ke 67 pada 21 September tahun 1890, Gunananda meneruskan usahanya dalam membantu untuk menghidupkan kembali Sasana. Beliau mempublikasikan banyak majalah Buddhis seperti Riviresa, Lakmini Kirana, dan Sathya Margaya dan juga ikut terlibat dalam panitia yang merancang bendera Buddhis.
Penampilannya yang mengagumkan dan kemenangannya yang meyakinkan mencetuskan kebangkitan dari ajaran Buddha di seluruh pulau, dan beliau disambut sebagai pahlawan nasional. Sebelum kematiannya di usia ke 67 pada 21 September tahun 1890, Gunananda meneruskan usahanya dalam membantu untuk menghidupkan kembali Sasana. Beliau mempublikasikan banyak majalah Buddhis seperti Riviresa, Lakmini Kirana, dan Sathya Margaya dan juga ikut terlibat dalam panitia yang merancang bendera Buddhis.
0 Komentar:
Posting Komentar