Atas permintaan seorang brahmana dari Veranja, Sang Buddha pada suatu saat tinggal di Veranja bersama lima ratus orang bhikkhu. Ketika berada di Veranja sang brahmana lalai untuk memperhatikan kebutuhan hidup mereka. Penduduk Veranja yang kemudian menghadapi kelaparan, hanya dapat mempersembahkan sangat sedikit dana pada saat para bhikkhu berpindapatta. Kendatipun mengalami penderitaan, para bhikkhu tidak berputus asa. Mereka hanya cukup mendapatkan makanan berupa padi-padian yang dipersembahkan oleh para penjual kuda setiap hari. Saat akhir masa vassa tiba, setelah memberitahu sang brahmana, Sang Buddha pulang ke Vihara Jetavana beserta lima ratus bhikkhu.
Masyarakat Savatthi menyambut kedatangan mereka dengan bermacam-macam pilihan makanan. Sekelompok orang yang hidup bersama para bhikkhu, memakan makanan yang tak dimakan oleh para bhikkhu. Mereka makan dengan rakus seperti orang yang benar-benar lapar, dan pergi tidur setelah mereka makan. Setelah bangun tidur mereka bersiul, bernyanyi dan menari, mereka membuat suatu keributan. Ketika Sang Buddha datang sore hari di tengah-tengah para bhikkhu, para bhikkhu melaporkan hal itu kepada Beliau, perilaku orang-orang yang tidak dapat dikendalikan, dan berkata “Orang-orang ini hidup dengan sisa makanan, bersikap sopan dan berperilaku baik ketika kita semua menghadapi penderitaan dan kelaparan di Veranja.
Sekarang mereka cukup mendapat makanan yang baik, mereka bersiul, menyanyi, dan menari, serta membuat keributan di antara mereka sendiri. Berbeda dengan para bhikkhu. Para bhikkhu bagaimanapun juga keadaannya memiliki perilaku yang sama, baik di sini maupun di Veranja”. Kepada mereka Sang Buddha menjawab “Itu merupakan sifat alamiah dari orang bodoh, penuh dengan duka cita dan merasa tertekan ketika mereka gembira ketika sesuatu berjalan lancar. Orang bijaksana bagaimanapun keadaannya dapat bertahan dalam gelombang kehidupan baik naik maupun turun”.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 83 berikut: Orang bajik membuang kemelekatan terhadap segala sesuatu; orang suci tidak membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan nafsu keinginan. Dalam menghadapi kebahagiaan atau kemalangan, orang bijaksana tidak menjadi gembira maupun kecewa.
Masyarakat Savatthi menyambut kedatangan mereka dengan bermacam-macam pilihan makanan. Sekelompok orang yang hidup bersama para bhikkhu, memakan makanan yang tak dimakan oleh para bhikkhu. Mereka makan dengan rakus seperti orang yang benar-benar lapar, dan pergi tidur setelah mereka makan. Setelah bangun tidur mereka bersiul, bernyanyi dan menari, mereka membuat suatu keributan. Ketika Sang Buddha datang sore hari di tengah-tengah para bhikkhu, para bhikkhu melaporkan hal itu kepada Beliau, perilaku orang-orang yang tidak dapat dikendalikan, dan berkata “Orang-orang ini hidup dengan sisa makanan, bersikap sopan dan berperilaku baik ketika kita semua menghadapi penderitaan dan kelaparan di Veranja.
Sekarang mereka cukup mendapat makanan yang baik, mereka bersiul, menyanyi, dan menari, serta membuat keributan di antara mereka sendiri. Berbeda dengan para bhikkhu. Para bhikkhu bagaimanapun juga keadaannya memiliki perilaku yang sama, baik di sini maupun di Veranja”. Kepada mereka Sang Buddha menjawab “Itu merupakan sifat alamiah dari orang bodoh, penuh dengan duka cita dan merasa tertekan ketika mereka gembira ketika sesuatu berjalan lancar. Orang bijaksana bagaimanapun keadaannya dapat bertahan dalam gelombang kehidupan baik naik maupun turun”.
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 83 berikut: Orang bajik membuang kemelekatan terhadap segala sesuatu; orang suci tidak membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan nafsu keinginan. Dalam menghadapi kebahagiaan atau kemalangan, orang bijaksana tidak menjadi gembira maupun kecewa.
0 Komentar:
Posting Komentar