Kamis, 20 Desember 2012

Dhammapada XXIII : 324 - Kisah Seorang Brahmana Tua

 on  with No comments 
In ,  
Suatu ketika, hiduplah di Savatthi seorang brahmana tua yang memiliki uang delapan laksa. Ia memiliki empat putra. Waktu setiap putranya menikah, ia memberi satu laksa kepadanya. Jadi, ia telah memberikan empat laksa. Kemudian istri brahmana tua meninggal dunia. Putra-putranya datang kepadanya dan merawatnya dengan baik. Kenyataannya, mereka sangat mencintai dan menyayanginya. Dengan berlalunya waktu, entah bagaimana, mereka membujuknya untuk memberikan empat laksa yang tersisa. Sehingga akhirnya brahmana tua tida mempunyai uang sama sekali. Beberapa waktu kemudian, brahmana tua pergi tinggal bersama putra tertuanya. Setelah beberapa hari, menantu perempuannya berkata kepadanya, “Apakah engkau member tambahan uang beberapa ratus atau ribu pada putramu yang tertua? Tidakkah engkau mengetahui jalan menuju rumah putraputramu yang lain?”

Mendengar hal itu, brahmana tua menjadi sangat marah dan ia meninggalkan rumah putra tertuanya dan menuju rumah putra keduanya. Kata-kata yang sama dibuat oleh istri putra keduanya dan orang tua tersebut pergi menuju ke rumah putra ketiganya dan akhirnya ke rumah putra ke empat atau putera termuda. Hal yang sama terjadi di rumah semua putranya. Sehingga, orang tua tersebut menjadi tak berdaya; kemudian, dengan membawa tongkat dan mangkuk, ia pergi kepada Sang Buddha memohon perlindungan dan nasihat.

Di vihara, brahmana tua tersebut menceritakan pada Sang Buddha bagaimana putra-putranya telah memperlakukannya dan meminta pertolongan dari Beliau. Kemudian Sang Buddha memberinya beberapa syair untuk diingat dan menyuruh untuk mengucapkannya di tempat banyak orang berkumpul. Inti dari syair tersebut adalah “Empat putraku yang bodoh bagaikan raksasa. Mereka memanggilku: “Ayah! Ayah!” Tetapi, kata-kata itu hanya keluar begitu saja dari mulutnya dan bukan dari hatinya. Mereka pembohong dan penuh tipu daya. Mengikuti nasihat istrinya, mereka mengusirku dari rumah mereka. Sehingga, sekarang saya harus mengemis.

Putra-putraku itu bahkan tidak melayaniku dengan lebih baik dibandingkan tongkatku ini.” Ketika brahmana tua itu mengucapkan syair-syair itu, banyak orang di keramaian tersebut mendengarnya, pergi dengan gusar menuju putra-putranya dan bahkan beberapa di antara orang-orang itu mengancam akan membunuh mereka. Putra-putra brahmana tersebut menjadi ketakutan dan berlutut di kaki ayah mereka untuk meminta maaf. Mereka juga berjanji bahwa mulai hari itu mereka akan merawat ayah mereka dengan layak dan akan menghormati, mencintai, dan menghargainya.

Kemudian mereka membawa ayah mereka ke rumah mereka; mereka juga memperingatkan istri-istri mereka untuk merawat sang ayah dengan baik. Bila para istri tidak merawatnya, maka mereka akan dipukul sampai mati. Setiap putra memberi sepotong kain dan mengirim satu nampan makanan setiap hari. Brahmana tersebut menjadi makin sehat daripada sebelumnya dan berat badannya segera kembali ke berat semula. Ia menyadari bahwa ia mendapat siraman manfaat seperti itu atas jasa Sang Buddha. Maka ia pergi menghadap Sang Buddha.

Dengan rendah hati memohon Beliau untuk menerima dua nampan makanan dari empat nampan yang biasa ia terima setiap hari dari putra-putranya. Kemudian ia menyuruh putra-putranya untuk mengirim dua nampan makanan kepada Sang Buddha. Suatu hari, putra tertua brahmana itu mengundang Sang Buddha ke rumahnya untuk menerima dana makanan. Setelah bersantap, Sang Buddha memberi khotbah tentang manfaat yang diperoleh dengan merawat orang tua. Kemudian, Beliau bercerita kepada mereka tentang kisah seekor gajah Dhanapala yang merawat orang tuanya. Dhanapala ketika ditangkap merindukan orang tuanya yang ditinggal di hutan.

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 324 berikut: Pada musim kawin, gajah ganas bernama Dhanapalaka sukar dikendalikan; walaupun diikat kuat ia tetap tidak mau makan karena merindukan gajah-gajah lain di hutan.

Brahmana tua beserta empat putra dan istri-istrinya mencapai tingkat kesucian sotapatti setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Share:

0 Komentar:

Posting Komentar