Brahmana Magandiya dan istrinya tinggal di kerajaan Kuru bersama dengan Magandiya, putri mereka yang amat cantik. Begitu cantiknya putrinya itu sehingga ayahnya dengan keras menolak semua pelamarnya. Suatu hari, pagi-pagi sekali ketika Sang Buddha meninjau sekeliling dunia, Beliau mengetahui bahwa sudah saatnya bagi brahmana Magandiya dan istrinya untuk mencapai tingkat kesucian anagami.
Sambil membawa mangkuk dan jubah-Nya, Sang Buddha berangkat ke tempat di mana sang brahmana biasanya melakukan pengorbanan dengan api. Begitu melihat Sang Buddha, sang brahmana dengan seketika memutuskan bahwa Sang Buddha adalah orang yang layak menjadi suami putrinya.
Ia meminta Sang Buddha untuk menunggu di sana dan dengan terburu-buru ia pergi menjemput istri dan putrinya. Sang Buddha meninggalkan jejak kaki-Nya dan pergi ke tempat lain, yang berada di dekatnya. Ketika Sang brahmana dan keluarganya tiba, mereka hanya menemukan jejak kaki Sang Buddha, istri brahmana berkata bahwa itu adalah jejak kaki dari seorang yang telah terbebas dari keinginan-keinginan hawa nafsu. Kemudian, sang brahmana melihat Sang Buddha dan menawarkan putrinya untuk dinikahi oleh Sang Buddha.
Sang Buddha tidak menerima ataupun tidak menolak penawaran itu, tetapi pertama kali Beliau menceritakan kepada sang brahmana bagaimana putri-putri Mara menggoda-Nya pada saat Beliau baru saja mencapai Ke-buddha-an. Kepada putri-putri Mara yang cantik, Tanha, Arati dan Raga, Sang Buddha berkata, “Tidak ada gunanya menggoda seseorang yang telah terbebas dari keinginan, kemelekatan dan nafsu, karena ia tidak lagi dapat terpikat oleh godaan apapun juga.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 179 dan 180 berikut ini: Beliau yang kemenangannya tak dapat dikalahkan lagi, yang nafsunya telah diatasi dan tidak mengikutinya lagi, Sang Buddha yang tiada bandingnya, yang tanpa jejak nafsu, dengan cara apa akan kau goda Beliau?
Kemudian, Sang Buddha melanjutkan, “Brahmana Magandiya, walaupun saya melihat putri-putri Mara yang tiada bandingnya, saya tidak merasakan hawa nafsu dalam diri saya. Lagipula, apakah tubuh putrimu ini? Hanya penuh dengan air kencing dan kotoran; Saya tidak ingin menyentuhnya walaupun dengan kaki saya!”
Begitu mendengar kata-kata Sang Buddha tersebut, mereka berdua, sang brahmana dan istrinya, mencapai tingkat kesucian anagami. Kemudian, mereka bergabung dengan bhikkhu yang lainnya dan akhirnya mereka berdua mencapai tingkat kesucian arahat.
Sambil membawa mangkuk dan jubah-Nya, Sang Buddha berangkat ke tempat di mana sang brahmana biasanya melakukan pengorbanan dengan api. Begitu melihat Sang Buddha, sang brahmana dengan seketika memutuskan bahwa Sang Buddha adalah orang yang layak menjadi suami putrinya.
Ia meminta Sang Buddha untuk menunggu di sana dan dengan terburu-buru ia pergi menjemput istri dan putrinya. Sang Buddha meninggalkan jejak kaki-Nya dan pergi ke tempat lain, yang berada di dekatnya. Ketika Sang brahmana dan keluarganya tiba, mereka hanya menemukan jejak kaki Sang Buddha, istri brahmana berkata bahwa itu adalah jejak kaki dari seorang yang telah terbebas dari keinginan-keinginan hawa nafsu. Kemudian, sang brahmana melihat Sang Buddha dan menawarkan putrinya untuk dinikahi oleh Sang Buddha.
Sang Buddha tidak menerima ataupun tidak menolak penawaran itu, tetapi pertama kali Beliau menceritakan kepada sang brahmana bagaimana putri-putri Mara menggoda-Nya pada saat Beliau baru saja mencapai Ke-buddha-an. Kepada putri-putri Mara yang cantik, Tanha, Arati dan Raga, Sang Buddha berkata, “Tidak ada gunanya menggoda seseorang yang telah terbebas dari keinginan, kemelekatan dan nafsu, karena ia tidak lagi dapat terpikat oleh godaan apapun juga.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 179 dan 180 berikut ini: Beliau yang kemenangannya tak dapat dikalahkan lagi, yang nafsunya telah diatasi dan tidak mengikutinya lagi, Sang Buddha yang tiada bandingnya, yang tanpa jejak nafsu, dengan cara apa akan kau goda Beliau?
Beliau yang tak terjerat dan terlibat nafsu keinginan yang menyebabkan kelahiran, Sang Buddha yang tiada bandingnya, yang tanpa jejak nafsu, dengan cara apa akan kau goda Beliau?
Kemudian, Sang Buddha melanjutkan, “Brahmana Magandiya, walaupun saya melihat putri-putri Mara yang tiada bandingnya, saya tidak merasakan hawa nafsu dalam diri saya. Lagipula, apakah tubuh putrimu ini? Hanya penuh dengan air kencing dan kotoran; Saya tidak ingin menyentuhnya walaupun dengan kaki saya!”
Begitu mendengar kata-kata Sang Buddha tersebut, mereka berdua, sang brahmana dan istrinya, mencapai tingkat kesucian anagami. Kemudian, mereka bergabung dengan bhikkhu yang lainnya dan akhirnya mereka berdua mencapai tingkat kesucian arahat.
0 Komentar:
Posting Komentar