Pada suatu kesempatan, ketika Sang Buddha sedang memberikan khotbah di Vihara Veluvana, Devadatta datang kepadanya dan menyarankan bahwa Sang Buddha kini telah menjadi tua, seharusnya tugas-tugas kepemimpinan Sangha diserahkan kepada Devadatta. Tetapi Sang Buddha menolak permintaannya, menegurnya, dan menyebutnya “penjilat lidah” (khelasika).
Sejak saat itu, Devadatta sangat membenci Sang Buddha. Ia bahkan berusaha membunuh Sang Buddha sebanyak tiga kali, tetapi selalu gagal. Kemudian Devadatta mencoba taktik lain.
Kali ini ia datang kehadapan Sang Buddha dan mengajukan lima peraturan untuk para bhikkhu untuk dilakukan sepanjang hidupnya.
Ia mengajukan:
1) Para bhikkhu harus tinggal di hutan.
2) Para bhikkhu harus hidup dengan makanan yang hanya diterima pada saat pindapata.
3) Mereka harus mengenakan jubah yang hanya terbuat dari potongan kain yang diperoleh dari tumpukan sampah.
4) Mereka harus berdiam di bawah pohon dan
5) Mereka tidak boleh memakan ikan atau daging.
Sang Buddha tidak menolak terhadap peraturan tersebut dan tidak keberatan terhadap siapa pun yang sanggup melakukannya, tetapi dengan berbagai pertimbangan yang benar, Beliau tidak menetapkan peraturan itu untuk para bhikkhu secara keseluruhan. Devadatta menuntut bahwa peraturan yang diajukannya lebih baik daripada peraturan yang telah ada, dan beberapa bhikkhu baru sepakat dengannya. Suatu hari, Sang Buddha bertanya kepada Devadatta apakah benar bahwa ia berusaha membuat perpecahan dalam Sangha, dan ia mengakui bahwa hal itu benar.
Sang Buddha memperingatkannya bahwa perbuatan itu adalah suatu perbuatan buruk yang serius, tetapi Devadatta tidak memperdulikan peringatan itu. Setelah itu Devadatta bertemu dengan Ananda Thera pada saat berpindapatta di Rajagaha, Devadatta berkata kepada Ananda Thera, “Ananda, mulai hari ini, saya akan melakukan kegiatan uposatha, dan menjalankan tugas-tugas Sangha secara terpisah, tidak tergantung kepada Sang Buddha dan pasamuan bhikkhu-bhikkhu.” Sekembalinya dari pindapatta, Ananda Thera memberitahu Sang Buddha apa yang telah dikatakan oleh Devadatta.
Mendengar hal itu, Sang Buddha menjelaskan, “Devadatta melakukan kesalahan yang sangat serius, perbuatan itu akan menyebabkan ia terlahir ke alam neraka Avici. Bagi orang yang bersifat baik, sangatlah mudah melakukan perbuatan baik dan sulit berbuat jahat, tetapi orang jahat, sangatlah mudah berbuat jahat dan sulit melakukan perbuatan baik. Memang, dalam hidup ini adalah mudah untuk melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat, tetapi sulit untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 163 berikut: Sungguh mudah untuk melakukan hal-hal yang buruk dan tak bermanfaat, tetapi sungguh sulit untuk melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri.
Kemudian pada hari Uposatha, Devadatta diikuti oleh lima ratus bhikkhu-bhikkhu suku Vajji, memisahkan diri dari pasamuan Sangha, dan pergi ke Gayasisa. Akan tetapi ketika dua murid utama, Sariputta dan Maha Moggallana pergi menemui para bhikkhu pengikut Devadatta, dan berbicara kepada mereka. Mereka menyadari kesalahannya, sehingga banyak diantara mereka yang kembali bersama dua murid utama kepada Sang Buddha.
Sejak saat itu, Devadatta sangat membenci Sang Buddha. Ia bahkan berusaha membunuh Sang Buddha sebanyak tiga kali, tetapi selalu gagal. Kemudian Devadatta mencoba taktik lain.
Kali ini ia datang kehadapan Sang Buddha dan mengajukan lima peraturan untuk para bhikkhu untuk dilakukan sepanjang hidupnya.
Ia mengajukan:
1) Para bhikkhu harus tinggal di hutan.
2) Para bhikkhu harus hidup dengan makanan yang hanya diterima pada saat pindapata.
3) Mereka harus mengenakan jubah yang hanya terbuat dari potongan kain yang diperoleh dari tumpukan sampah.
4) Mereka harus berdiam di bawah pohon dan
5) Mereka tidak boleh memakan ikan atau daging.
Sang Buddha tidak menolak terhadap peraturan tersebut dan tidak keberatan terhadap siapa pun yang sanggup melakukannya, tetapi dengan berbagai pertimbangan yang benar, Beliau tidak menetapkan peraturan itu untuk para bhikkhu secara keseluruhan. Devadatta menuntut bahwa peraturan yang diajukannya lebih baik daripada peraturan yang telah ada, dan beberapa bhikkhu baru sepakat dengannya. Suatu hari, Sang Buddha bertanya kepada Devadatta apakah benar bahwa ia berusaha membuat perpecahan dalam Sangha, dan ia mengakui bahwa hal itu benar.
Sang Buddha memperingatkannya bahwa perbuatan itu adalah suatu perbuatan buruk yang serius, tetapi Devadatta tidak memperdulikan peringatan itu. Setelah itu Devadatta bertemu dengan Ananda Thera pada saat berpindapatta di Rajagaha, Devadatta berkata kepada Ananda Thera, “Ananda, mulai hari ini, saya akan melakukan kegiatan uposatha, dan menjalankan tugas-tugas Sangha secara terpisah, tidak tergantung kepada Sang Buddha dan pasamuan bhikkhu-bhikkhu.” Sekembalinya dari pindapatta, Ananda Thera memberitahu Sang Buddha apa yang telah dikatakan oleh Devadatta.
Mendengar hal itu, Sang Buddha menjelaskan, “Devadatta melakukan kesalahan yang sangat serius, perbuatan itu akan menyebabkan ia terlahir ke alam neraka Avici. Bagi orang yang bersifat baik, sangatlah mudah melakukan perbuatan baik dan sulit berbuat jahat, tetapi orang jahat, sangatlah mudah berbuat jahat dan sulit melakukan perbuatan baik. Memang, dalam hidup ini adalah mudah untuk melakukan sesuatu yang tidak bermanfaat, tetapi sulit untuk melakukan sesuatu yang baik dan bermanfaat.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 163 berikut: Sungguh mudah untuk melakukan hal-hal yang buruk dan tak bermanfaat, tetapi sungguh sulit untuk melakukan hal-hal yang baik dan bermanfaat bagi diri sendiri.
Kemudian pada hari Uposatha, Devadatta diikuti oleh lima ratus bhikkhu-bhikkhu suku Vajji, memisahkan diri dari pasamuan Sangha, dan pergi ke Gayasisa. Akan tetapi ketika dua murid utama, Sariputta dan Maha Moggallana pergi menemui para bhikkhu pengikut Devadatta, dan berbicara kepada mereka. Mereka menyadari kesalahannya, sehingga banyak diantara mereka yang kembali bersama dua murid utama kepada Sang Buddha.
0 Komentar:
Posting Komentar