Suatu ketika beberapa bhikkhu datang berkunjung dan memberi hormat kepada Sang Buddha di Vihara Jetavana. Ketika mereka bersama Sang Buddha, Lakundaka Bhaddiya kebetulan lewat tidak jauh dari mereka. Sang Buddha meminta mereka untuk memperhatikan Thera yang pendek itu dan berkata kepada mereka, “Para bhikkhu, lihatlah kepada Thera itu. Ia telah membunuh kedua ayah dan ibunya, dan setelah membunuh orang tuanya ia pergi tanpa penderitaan lagi.”
Para bhikkhu tidak dapat mengerti pernyataan yang telah diucapkan oleh Sang Buddha. Karena itu mereka memohon kepada Sang Buddha untuk menjelaskannya dan Beliau berkenan menjelaskan artinya. Pernyataan di atas dibuat oleh Sang Buddha berkaitan dengan kehidupan arahat, yang telah melenyapkan nafsu keinginan, kesombongan, pandangan salah, dan kemelekatan pada indria dan objek indria. Sang Buddha telah membuat pernyataan metaforis. Istilah ‘ibu’ dan ‘ayah’ digunakan untuk menunjukan nafsu keinginan dan kesombongan. Kepercayaan / pandangan tentang keabadian (sassataditthi) dan kepercayaan / pandangan tentang pemusnahan (ucchedaditthi) seperti halnya dua raja, kemelekatan seperti para menterinya, dan indria sert objek indria seperti halnya sebuah kerajaan.
Setelah menjelaskan arti pernyataan itu kepada mereka, Sang Buddha membabarkan syair 294 dan 295 berikut ini: Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah (kesombongan), serta dua orang ksatria (dua pandangan ekstrim berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan); dan setelah menghancurkan negara (pintu-pintu indria) bersama dengan para menterinya (kemelekatan), maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa kesedihan.
Para bhikkhu yang datang berkunjung mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
Para bhikkhu tidak dapat mengerti pernyataan yang telah diucapkan oleh Sang Buddha. Karena itu mereka memohon kepada Sang Buddha untuk menjelaskannya dan Beliau berkenan menjelaskan artinya. Pernyataan di atas dibuat oleh Sang Buddha berkaitan dengan kehidupan arahat, yang telah melenyapkan nafsu keinginan, kesombongan, pandangan salah, dan kemelekatan pada indria dan objek indria. Sang Buddha telah membuat pernyataan metaforis. Istilah ‘ibu’ dan ‘ayah’ digunakan untuk menunjukan nafsu keinginan dan kesombongan. Kepercayaan / pandangan tentang keabadian (sassataditthi) dan kepercayaan / pandangan tentang pemusnahan (ucchedaditthi) seperti halnya dua raja, kemelekatan seperti para menterinya, dan indria sert objek indria seperti halnya sebuah kerajaan.
Setelah menjelaskan arti pernyataan itu kepada mereka, Sang Buddha membabarkan syair 294 dan 295 berikut ini: Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah (kesombongan), serta dua orang ksatria (dua pandangan ekstrim berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan); dan setelah menghancurkan negara (pintu-pintu indria) bersama dengan para menterinya (kemelekatan), maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa kesedihan.
Setelah membantai ibu (nafsu keinginan) dan ayah (kesombongan), serta dua raja yang arif (dua pandangan ekstrim berkenaan dengan kekekalan dan kemusnahan); dan setelah menghancurkan lima jalan yang penuh bahaya (lima rintangan batin), maka seorang brahmana akan berjalan pergi tanpa kesedihan.
Para bhikkhu yang datang berkunjung mencapai tingkat kesucian arahat, setelah khotbah Dhamma itu berakhir.
0 Komentar:
Posting Komentar