Suatu hari, beberapa bhikkhu sedang berjalan pulang dari menerima dana makanan. Ketika hujan turun, mereka berteduh di suatu gedung pengadilan. Saat berada di sana, mereka melihat bahwa beberapa orang hakim, setelah menerima uang suap, membebaskan suatu perkara.
Mereka melaporkan masalah ini kepada Sang Buddha dan Beliau berkata, “Para bhikkhu! Dalam memutuskan suatu perkara, jika seseorang terpengaruh oleh rasa kasihan atau pertimbangan keuangan, dia tidak dapat disebut sebagai ‘si adil’ atau ‘hakim yang patuh pada hukum’. Jika seseorang menimbang bukti-bukti dengan teliti dan memutuskan suatu kasus secara tidak memihak maka ia disebut ‘si adil’ atau ‘hakim yang patuh pada hukum’.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 256 dan 257: Orang yang memutuskan segala sesuatu dengan tergesagesa tidak dapat dikatakan sebagai orang adil Orang bijaksana hendaknya memeriksa dengan teliti mana yang benar dan mana yang salah.
Mereka melaporkan masalah ini kepada Sang Buddha dan Beliau berkata, “Para bhikkhu! Dalam memutuskan suatu perkara, jika seseorang terpengaruh oleh rasa kasihan atau pertimbangan keuangan, dia tidak dapat disebut sebagai ‘si adil’ atau ‘hakim yang patuh pada hukum’. Jika seseorang menimbang bukti-bukti dengan teliti dan memutuskan suatu kasus secara tidak memihak maka ia disebut ‘si adil’ atau ‘hakim yang patuh pada hukum’.”
Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 256 dan 257: Orang yang memutuskan segala sesuatu dengan tergesagesa tidak dapat dikatakan sebagai orang adil Orang bijaksana hendaknya memeriksa dengan teliti mana yang benar dan mana yang salah.
Orang yang mengadili orang lain dengan tidak tergesagesa, bersikap adil dan tidak berat sebelah, yang senantiasa menjaga kebenaran, pantas disebut orang adil.
0 Komentar:
Posting Komentar