Jumat, 28 Desember 2012

Dhammapada IX : 116 - Kisah Culekasataka

 on  with No comments 
In ,  
Di Savatthi berdiam sepasang suami istri brahmana. Mereka hanya mempunyai sebuah pakaian luar yang digunakan oleh mereka berdua. Karena itu mereka dikenal dengan nama Ekasataka. Karena mereka hanya mempunyai sebuah pakaian luar, mereka tidak dapat keluar berdua pada saat bersamaan. Jadi, bila si istri pergi mendengarkan khotbah Sang Buddha pada siang hari, maka si suami pergi pada malam hari.

Pada suatu malam, ketika brahmana mendengarkan khotbah Sang Buddha, seluruh badannya diliputi keriangan yang sangat menyenangkan dan timbul keinginan yang kuat untuk memberikan pakaian luar yang dikenakannya kepada Sang Buddha. Tetapi dia menyadari jika dia memberikan pakaian luar yang satu-satunya dia miliki berarti tidak ada lagi pakaian luar yang tertinggal buat dia dan istrinya. Dia ragu-ragu dan bimbang.

Malam jaga pertama dan malam jaga kedua pun berlalu, pada malam jaga ketiga, brahmana berkata pada dirinya sendiri “Jika saya bimbang dan ragu-ragu, saya tidak akan dapat menghindar terlahir ke empat alam rendah (Apaya), saya akan memberikan pakaian luar saya kepada Sang Buddha.”

Setelah berkata begitu, dia meletakkan pakaian luarnya ke kaki Sang Buddha dan dia berteriak, “Saya menang! Saya menang! Saya menang!”

Waktu itu Raja Pasenadi dari Kosala juga berada diantara para pendengar khotbah. mendengar teriakan tersebut ia menyuruh pengawalnya untuk menyelidiki. Mengetahui perihal pemberian brahmana kepada Sang Buddha, raja berkomentar bahwa brahmana tersebut telah berbuat sesuatu yang tidak mudah untuk dilakukan oleh orang lain sehingga harus diberi penghargaan. Raja memerintahkan pengawalnya untuk memberikan sepotong pakaian kepada brahmana sebagai hadiah atas keyakinan dan kedermawanannya. Brahmana menerimanya lalu memberikan lagi pakaian tersebut kepada Sang Buddha.

Dia mendapat hadiah lagi dari Raja berupa dua potong pakaian. Brahmana memberikan lagi kedua potong pakaian kepada Sang Buddha, dan dia memperoleh hadiah empat potong lagi. Jadi dia memberikan kepada sang Buddha apa saja yang diberikan raja kepadanya, dan tiap kali raja melipat-duakan hadiahnya. Akhirnya hadiah meningkat menjadi tiga puluh dua potong pakaian, brahmana mengambil satu potong untuknya dan satu potong untuk istrinya, dan selebihnya diberikan kepada Sang Buddha.

Kemudian raja berkomentar lagi bahwa brahmana benar-benar melakukan suatu perbuatan yang sulit dan juga harus diberi hadiah yang pantas. Raja mengirim seorang utusan untuk membawa dua potong pakaian beludru yang berharga mahal, dan memberikannya kepada brahmana. Brahmana membuat kedua pakaian tersebut menjadi dua penutup tempat tidur dan meletakkan satu di kamar harum tempat Sang Buddha tidur, dan satunya lagi diletakkan di tempat para bhikkhu yang menerima dana makanan di rumah brahmana.

Ketika raja pergi berkunjung ke Vihara Jetavana untuk memberi penghormatan kepada Sang Buddha, raja melihat tutup tempat tidur beludru dan mengenalinya bahwa barang itu adalah pemberiannya kepada brahmana, dia merasa sangat senang. Kali ini, raja memberikan hadiah tujuh macam yang masing-masing berjumlah empat buah (sabbacatukka) yaitu empat ekor gajah, empat ekor kuda, empat orang pelayan wanita, empat orang pelayan laki-laki, empat orang pesuruh laki-laki, empat desa, dan empat ribu uang tunai.

Ketika para bhikkhu mendengar hal tersebut, mereka bertanya kepada sang Buddha, “Bagaimana hal ini bisa terjadi, dalam kasus brahmana ini, perbuatan baik yang dilakukan saat ini menghasilkan pahala yang sangat cepat?”

Sang Buddha menjawab, “Jika Brahmana memberikan baju luarnya pada malam jaga pertama dia akan diberi hadiah enam belas buah untuk tiap macam barang, jika dia memberi pada malam jaga kedua dia akan diberi delapan buah untuk tiap macam barang. Ketika dia memberikan pada malam jaga terakhir dia diberi hadiah empat buah untuk tiap macam barang. Jadi, jika seseorang ingin berdana, lakukanlah secepatnya, jika seseorang menunda-nunda pahalanya datang perlahan dan hanya sebagian. Juga, jika seseorang terlalu lambat dalam melakukan perbuatan baik, mungkin dia tidak akan sanggup untuk melakukannya secara keseluruhan, karena pikiran orang cenderung senang dengan melakukan perbuatan yang tidak baik.”

Kemudian Sang Buddha membabarkan syair 116 berikut: Bergegaslah berbuat kebajikan, dan kendalikan pikiranmu dari kejahatan; barang siapa lamban berbuat bajik, maka pikirannya akan senang dalam kejahatan.
Share:

0 Komentar:

Posting Komentar