Jumat, 08 Maret 2013

Pengorbanan Gagah Berani

 on  with No comments 
In ,  
Saat masih seorang guru sekolah, perhatian saya tertarik pada seorang siswa yang mendapat peringkat terbawah pada ujian terakhir dalam kelas saya yang terdiri dari 30 siswa. Saya melihat dia menjadi tertekan karena nilainya yang tidak bagus, lalu saya menghampiri dan mengajaknya berbicara.

Saya berkata kepadanya, ''Harusnya ada orang yang berada di peringkat ke-30 dari 30 siswa di kelas ini. Tahun ini, orang itu adalah kamu, yang melakukan pengorbanan gagah berani supaya tidak seorangpun temanmu menderita malu karena mendapat peringkat terbawah di kelas ini. Kamu sungguh baik begitu penuh belas kasih. Kamu pantas mendapatkan medali''.

Kita berdua tahu bahwa apa yang saya katakan itu konyol, tetapi dia menyeringai lebar. Dia tidak lagi menganggap peringkat terbawahnya sebagai sebuah kiamat.

Dia mendapat peringkat yang jauh lebih baik pada tahun berikutnya, ketika tiba giliran orang lain melakukan pengorbanan gagah berani.

Sumber:
Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya
108 Cerita Pembuka Pintu Hati
Oleh Ajahn Brahm
Share:

Jenis Kebebasan Manakah yang Anda Sukai?

 on  with No comments 
In ,  
Jenis Kebebasan Manakah yang Anda Sukai?
Oleh Ajahn Brahm

Dua bhikkhu Thai yang dihormati ke rumah seorang umat untuk menerima persembahan dana makanan pagi. Di ruang tamu, tempat mereka menunggu, terdapat sebuah akuarium berisi berbagai jenis ikan hias. Bhikkhu yang lebih muda mengadukan bahwa memelihara ikan di akuarium itu bertentangan dengan prinsip Buddhis mengenai belas kasih. Itu bagaikan memenjara mereka.

Apa sih yang telah diperbuat oleh ikan-ikan itu sehingga mereka harus dikurung dalam penjara tembok kaca? Mereka semestinya bebas berenang di sungai atau di danau, bebas pergi ke mana pun mereka suka. Bhikkhu yang kedua tidak setuju. Memang benar, dia mengakui, bahwa ikan-ikan itu tidak bebas menuruti kehendaknya, tetapi hidup dalam akuarium membebaskan mereka dari begitu banyak marabahaya. Lalu dia menguraikan daftar kebebasan mereka.
    1. Pernahkah Anda melihat orang memancing ikan di akuarium di rumah seseorang? Tidak! Jadi, kebebasan pertama bagi ikan-ikan dalam akuarium adalah bebas dari ancaman para pemancing. Bayangkan apa jadinya bagi ikan di alam bebas, ketika melihat seekor cacing lezat atau seekor lalat sedap, mereka tidak pernah yakin apakah itu aman dimakan atau tidak.

      Mereka, tidak diragukan lagi, telah menyaksikan banyak teman dan kerabat mereka mencaplok seekor cacing yang tampak lezat, dan tiba-tiba lenyap dari pandangan mereka untuk selamanya. Bagi ikan di alam bebas, kegiatan makan itu penuh ancaman bahaya dan sering berakhir dalam tragedi. Makan malam bisa menjadi traumatik.

      Ikan di alam bebas bisa-bisa menderita gangguan pencernaan kronis karena hilangnya nafsu makan, dan ikan yang paranoid bisa dipastikan akan mati kelaparan. Ikan di alam bebas mungkin saja menderita tekanan batin, tetapi ikan di akuarium terbebas dari bahaya semacam ini.

    2. Ikan di alam bebas juga harus mencemaskan ancaman ikan lebih besar yang akan memangsa mereka. Dewasa ini, di beberapa sungai yang rusuh, para ikan tidak lagi merasa aman untuk keluyuran pada malam hari! Akan tetapi, tidak ada pemilik akuarium yang akan mengisi akuariumnya dengan jenis ikan yang akan memangsa ikan lainnya. Jadi, ikan dalam akuarium terbebas dari bahaya ikan kanibal.

    3. Dalam daur alaminya, ikan di alam bebas kadang tidak memperoleh makanan. Namun bagi ikan di akuarium hidup itu bagai tinggal di sebuah restoran. Dua kali sehari, makanan bergizi diantarkan ke depan pintu mereka, bahkan lebih nyaman daripada jasa pesan-antar pizza, karena mereka tidak perlu membayar. Jadi, ikan dalam akuarium terbebas dari bahaya kelaparan.

    4. Selama perubahan musim, sungai dan danau mengalami perubahan suhu yang ekstrem. Sungai dan danau menjadi sangat dingin pada musim dingin, sampai permukaannya tertutupi es. Pada musim panas, air bisa menjadi terlalu hangat untuk ikan, kadang bahkan sampai mengering. Namun, ikan dalam akuarium memiliki sistem pengaturan udara dan suhu. Suhu air dalam akuarium terjaga baik dan nyaman, sepanjang hari sepanjang tahun. Jadi ikan dalam akuarium, terbebas dari bahaya kedinginan dan kepanasan.

    5. Di alam bebas, bila seekor ikan jatuh sakit, tidak ada yang akan merawatnya. Namun, ikan dalam akuarium punya asuransi kesehatan gratis. Pemiliknya akan memanggil dokter ikan untuk datang ke rumah kapan pun ada ikan yang sakit; mereka bahkan tidak harus pergi sendiri ke klinik. Jadi ikan dalam akuarium terbebas dari bahaya ketiadaan perlindungan kesehatan.
Bhikkhu kedua yang lebih senior, menyimpulkan sikapnya, Ada banyak keuntungan menjadi seekor ikan dalam akuarium, katanya. Memang benar, mereka tidak bebas menuruti kehendaknya dan berenang ke sana kemari, tetapi mereka terbebas dari begitu banyak bahaya dan ketidaknyamanan.

Bhikkhu yang lebih senior melanjutkan penjelasannya bahwa itu sama seperti orang-orang yang hidup dalam kehidupan yang bajik. Benar, mereka tidak bebas mengikuti nafsunya dan seenaknya ke sana ke mari, namun mereka terbebas dari begitu banyak bahaya dan ketidaknyamanan.

Jenis kebebasan manakah yang Anda sukai?

Sumber:
Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya
108 Cerita Pembuka Pintu Hati
Oleh Ajahn Brahm
Share:

Inipun Akan Berlalu

 on  with No comments 
In ,  
Inipun Akan Berlalu
Oleh Ajahn Bram

Salah satu pengajaran tidak ternilai yang dapat membantu mengatasi depresi, adalah juga salah satu yang paling sederhana. Namun pengajaran yang terlihat sederhana, mudah untuk disalahpahami. Hanya jika kita akhirnya sudah terbebas dari depresi, barulah kita boleh menyatakan diri sudah betul-betul memahami cerita berikut.

Seorang narapidanan baru merasa ketakutan dan tertekan. Tembok-tembok batu di selnya seperti menyerap habis semua kehangatan; jeruji-jeruji besi bagai mencemooh segala belas kasih; suara gelegar baja yang beradu ketika gerbang ditutup, mengunci harapan jauh-jauh. Hatinya terpuruk sedalam hukumannya yang sedemikian lama. Di tembok, di atas kepala tempat tidur lipatnya, dia melihat sebuah kalimat yang tergores di sana; ''Ini Pun Akan Berlalu''.

Kalimat itu melecut semangatnya, mungkin demikian juga dengan narapidana lain sebelum dia. Tidak peduli betapa beratnya, dia akan menatap tulisan itu dan mengingatnya; ''ini pun akan berlalu''. Pada hari ia dibebaskan, dia mengetahui kebenaran dari kata-kata itu. Waktunya telah terpenuhi; penjara pun telah berlalu.

Ketika ia menjalani kembali kehidupan normalnya, dia sering merenungi pesan itu, menulisnya di secarik kertas untuk di taruh di samping tempat tidurnya, di mobil dan di tempat kerja. Bahkan saat dia mengalami hal-hal yang buruk, dia tidak akan menjadi depresi. Dengan mudah dia akan mengingat, ''ini pun akan berlalu'', dan terus berjuang. Saat-saat yang buruk pun tidak memerlukan waktu lama untuk berlalu. Lalu ketika saat-saat yang menyenangkan tiba, dia menikmatinya, tetapi tanpa terlalu sembrono. Sekali lagi dia akan mengingat, ''ini pun akan berlalu'', dan terus lanjut bekerja, tanpa menggampangkan hal yang menyenangkan itu. Saat-saat yang indah biasanya juga tidak akan bertahan lama-lama.

Bahkan ketika dia menderita kanker, ''ini pun akan berlalu'' telah memberinya pengharapan. Pengharapan memberinya kekuatan dan sikap positif yang mengalahkan penyakitnya. Suatu hari, dokter spesialis memastikan bahwa, ''kanker pun telah berlalu''.

Pada hari-hari terakhirnya, di atas ranjang kematian, dia membisikkan kepada orang-orang yang dicintainya, ''ini pun akan berlalu'', dan dengan enteng dia meninggalkan dunia ini. Kata-katanya adalah pemberian cinta terakhir bagi keluarga dan teman-temannya. Mereka belajar darinya bahwa, ''kesedihan pun akan berlalu''.

Depresi adalah sebuah penjara yang sering di alami oleh kita-kita ini. ''Ini pun akan berlalu'' membantu melecut semangat kita; juga menghindarkan salah satu penyebab depresi hebat, yaitu tidak mensyukuri saat-saat bahagia.

Sumber: Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya
108 Cerita Pembuka Pintu Hati
Oleh Ajahn Brahm
Share:

Batu-Batu Berharga

 on  with No comments 
In ,  
Batu-Batu Berharga
Oleh Ajahn Brahm

Beberapa tahun lalu disebuah sekolah bisnis terkemuka di Amerika Serikat, seorang profesor menyampaikan sebuah kuliah yang luar biasa tentang ekonomi sosial didepan kelas S2-nya. Tanpa menjelaskan apa yang sedang dilakukannya, dengan hati-hati sang profesor meletakkan sebuah toples kaca di atas mejanya. Lalu, dengan diikuti tatapan mata para mahasiswanya, dia mengeluarkan sekantong penuh batu dan memasukkannya satu per satu ke dalam toples itu, sampai tidak ada lagi batu yang bisa dimasukkan. Dia bertanya kepada para mahasiswanya, ''Apakah toples ini sudah penuh?''

''Ya'' jawab mereka.

Sang profesor tersenyum. Dari bawah mejanya, dia meraih tas kedua, yang satu ini penuh kerikil. Dia lalu menuangkan sambil menggoyang-goyangkan kerikil-kerikil itu untuk mengisi celah-celah di antara batu-batu yang lebih besar di dalam toples. Untuk kedua kalinya, dia bertanya kepada para mahasiswanya, ''Apakah toples ini sudah penuh?''

''Belum'' jawab mereka. Sekarang mereka sudah mulai dapat menebaknya.

Tentu saja mereka benar, karena sang profesor mengambil lagi sekantong penuh pasir halus. Dia berusaha menuangkan pasir itu ke dalam toples, mengisi celah-celah di antara batu-batu besar dan kerikil-kerikil yang telah dimasukkan sebelumnya. Lagi-lagi dia bertanya, ''Apakah toples ini sudah penuh?''

“Mungkin tidak, Pak, yang tahu cuma Anda'', Jawab mahasiswanya.

Tersenyum mendengarkan jawaban itu, sang profesor mengeluarkan seteko air, lalu dia tuangkan ke dalam toples yang penuh dengan batu, krikil, dan pasir itu. Ketika tidak ada lagi air yang dapat dituangkan ke dalam toples itu, dia meletakkan teko itu dan memandang ke seluruh kelas.

''Lantas, apa pelajaran yang dapat kalian petik?'' tanyanya kepada para mahasiswa.

''Tak peduli seberapa padatnya jadwal Anda,'' sambut salah seorang mahasiswa, ''Anda akan selalu menambahkan sesuatu ke dalamnya!'' Jangan lupa, ini kan sekolah bisnis terkenal.

''Bukan!'' gelegar sang profesor dengan penuh empati. ''Apa yang ditunjukkan adalah jika kalian ingin memasukkan batu-batu yang besar, kalian harus memasukkannya pertama kali''.

Itu adalah pelajaran tentang prioritas.

Jadi apakah ''batu besar'' yang ada di dalam ''toples'' Anda? Apakah hal yang paling penting yang harus dimasukkan ke dalam kehidupan Anda? Pastikanlah untuk pertama-tama menjadwalkan ''batu-batu berharga'' ke dalam hidup Anda, atau Anda tidak akan pernah mendapatkannya, untuk mengisi hidup Anda.

Sumber:
Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya
108 Cerita Pembuka Pintu Hati
Oleh Ajahn Brahm
Share:

Ayam atau Bebek?

 on  with No comments 
In ,  
Ayam atau Bebek?
Oleh Ajahn Brahm

Berikut ini adalah cerita kegemaran guru saya, Ajahn Chah dari Thailand Timur Laut. Sepasang pengantin baru tengah berjalan bergandengan tangan di sebuah hutan pada suatu malam musim panas yang indah, seusai makan malam. Mereka sedang menikmati kebersamaan yang menakjubkan tatkala mereka mendengar suara di kejauhan, ''Kuek! Kuek!''

''Dengar,'' kata si istri, ''Itu pasti suara ayam.''

''Bukan, bukan. Itu pasti suara bebek,'' kata si suami.

''Nggak, aku yakin itu ayam,'' si istri bersikeras.

''Mustahil. Suara ayam itu 'kukuruyuuukkk', bebek itu 'Kuek! Kuek!' Itu bebek, Sayang'', kata si suami dengan disertai gejala-gejala awal kejengkelan.

''Kuek! Kuek!'' terdengar lagi.

''Nah, tuh! Itu suara bebek,'' kata si suami.

''Bukan, Sayang.......itu suara ayam! Aku yakin betul!'' tandas si istri, sembari menghentakkan kaki.

''Dengar ya! Itu a.......da.......lah......be....bek, B-E-B-E-K. Bebek! Tahu ?!'' si suami berkata dengan gusar.

''Tetapi itu ayam!'' masih saja si istri bersikeras.

''Itu jelas-jelas bue...bek! Kamu ini..... kamu ini....!''

Terdengar lagi suara, ''Kuek! Kuek!'' sebelum si suami mengatakan sesuatu yang sebaiknya tidak dikatakannya.

Si istri sudah hampir menangis, ''Tetapi itu ayam........''

Si suami melihat air mata yang mengembang di pelupuk mata istrinya, dan akhirnya, teringat kenapa dia menikahinya. Wajahnya melembut dan katanya dengan mesra, ''Maafkan aku, Sayang kurasa kamu benar. Itu memang suara ayam kok''.

''Terima kasih, Sayang'', kata si istri sambil menggenggam tangan suaminya.

''Kuek! Kuek! Terdengar lagi suara di hutan, mengiringi mereka berjalan bersama dalam cerita.

Maksud dari cerita bahwa si suami akhirnya sadar bahwa: siapa sih yang peduli itu ayam atau bebek? Yang lebih penting adalah keharmonisan mereka, yang membuat mereka dapat menikmati kebersamaan pada malam yang indah itu. Berapa banyak pernikahan yang hancur gara-gara persoalan sepele? Berapa banyak perceraian terjadi karena hal-hal ''ayam atau bebek?''

Lho, siapa tahu? Mungkin saja itu adalah ayam yang direkayasa genetika sehingga bersuara seperti bebek?

Sumber:
Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya
108 Cerita Pembuka Pintu Hati
Oleh Ajahn Brahm
Share:

Rabu, 06 Maret 2013

Dua Bata Jelek

 on  with No comments 
In ,  
Dua Bata Jelek
Oleh Ajahn Brahm

Setelah kami membeli tanah untuk vihara kami pada tahun 1983, kami jatuh bangkrut. Kami terjerat hutang. Tidak ada bangunan di atas tanah itu, bahkan sebuah gubukpun tidak ada. Pada minggu-minggu pertama, kami tidur di atas pintu-pintu tua yang kami beli murah dari pasar loak. Kami mengganjal pintu-pintu itu dengan batu bata di setiap sudut untuk meninggikannya dari tanah (tak ada matras-tentu saja, kamikan pertapa hutan).

Biksu kepala mendapatkan pintu yang paling bagus, pintu yang datar. Pintu saya bergelombang dengan lubang yang cukup besar ditengahnya, yang dulunya tempat gagang pintu. Saya senang karena gagang pintu itu telah dicopot, tetapi malah jadi ada lubang persis di tengah-tengah ranjang pintu saya. Saya melucu dengan mengatakan bahwa sekarang saya tidak perlu bangkit dari ranjang jika ingin ke toilet! Kenyataan nya, ada saja, angin masuk melewati lubang itu. Saya jadi tidak bisa tidur nyenyak sepanjang malam-malam itu.

Kami hanyalah bhikkhu-bhikkhu miskin yang memerlukan sebuah bangunan. Kami tak mampu membayar tukang, bahan-bahan bangunannya sudah cukup mahal. Jadi saya harus belajar cara bertukang: bagaiman mempersiapkan pondasi, menyemen, dan memasang batu bata. Saya adalah seorang fisikawan teori dan guru SMA sebelum menjadi bikkhu, tidak terbiasa bekerja kasar. Setelah beberapa tahun, saya menjadi cukup terampil bertukang, bahkan saya menjuluki tim saya ''BBC'' (Buddhist Building Company). Tetapi, pada saat memulainya, ternyata bertukang itu sangatlah sulit.

Kelihatannya gampang, membuat tembok dengan batu bata: tinggal tuangkan seonggok semen, sedikit ketok sana, sedikit ketok sini. Ketika saya mulai memasang batu bata, saya ketok satu sisi untuk meratakannya, tetapi sisi lain malah menjadi naik. Lalu saya ratakan sisi yang naik itu, batu batanya menjadi melenceng. Setelah saya ratakan kembali, sisi yang pertama jadi terangkat lagi. Coba saja sendiri!

Sebagai seorang bhikkhu, saya memiliki kesabaran dan waktu sebanyak yang saya perlukan. Saya pastikan setiap batu bata terpasang sempurna, tak perduli berapa lama jadinya. Akhirnya saya menyelesaikan tembok batu bata saya yang pertama dan berdiri dibaliknya untuk mengagumi hasil karya saya. Saat itulah saya melihatnya ''oh, tidak!'' Saya telah keliru menyusun dua batu bata. Semua batu bata lain sudah lurus, tetapi dua batu bata tersebut tampak miring. Mereka terlihat jelek sekali. Mereka merusak keseluruhan tembok. Mereka meruntuhkannya.

Saat itu semennya sudah terlanjur terlalu keras untuk mencabut dua batu bata itu, jadi saya bertanya kepada kepala Vihara apakah saya boleh membongkar tembok itu dan membangun kembali tembok yang baru, atau kalau perlu, meledakkannya sekalian. Saya telah membuat kesalahan dan saya menajdi gundah gulana. Kepala Vihara bilang tidak perlu, biarkan saja temboknya seperti itu.

Ketika saya membawa para tamu pertama kali berkunjung keliling Vihara kami yang baru setengah jadi, saya selalu menghindarkan membawa mereka melewati tembok bata yang saya buat. Saya tidak suka jika ada orang yang melihatnya. Lalu suatu hari, kira-kira 3-4 bulan setelah saya membangun tembok itu, saya berjalan dengan seorang pengunjung dan dia melihatnya.

''Itu tembok yang indah'', ia berkomentar dengan santainya.

''Pak'', saya menjawab dengan terekejut, ''Apakah kacamata Anda tertinggal di Mobil? Apakah penglihatan Anda melihat dua batu bata jelek yang merusak keseluruhan tembok itu?''

Apa yang ia ucapkan selanjutnya telah mengubah keseluruhan pandangan saya terhadap tembok itu, berkenan dengan diri saya sendiri dan banyak aspek lainnya dalam kehidupan. Dia berkata, ''Ya, saya bisa melihat dua bata jelek itu, namun saya juga bisa melihat 998 batu bata yang bagus''.

Saya tertegun. Untuk melihat pertama kalinya dalam lebih dari tiga bulan, saya mampu melihat batu bata-batu bata lainnya selain dua batu bata jelek itu. Di atas, di bawah, di kiri, dan di kanan dari dua batu bata jelek itu adalah batu bata-batu bata yang sempurna. Lebih dari itu, jumlah bata yang terpasang sempurna, saya hanya terpusat pada dua bata jelek itu. Selama ini, mata saya hanya terpusat pada dua kesalahan yang telah saya perbuat; saya terbutakan dari hal-hal lainnya. Itulah sebabnya saya tidak tahan melihat tembok itu, atau tidak rela membiarkan orang lain melihatnya juga. Itulah sebabnya saya ingin menghancurkannya. Sekarang, saya dapat melihat batu batu-batu bata yang bagus, tembok itu jadi tampak tidak terlalu buruk lagi. Tembok itu menjadi seperti yang dikatakan pengunjung itu, ''Sebuah tembok yang indah''. Tembok itu masih tetap berdiri sampai sekarng, setelah dua puluh tahun, namun saya sudah lupa persisnya di mana dua bata jelek itu berada. Saya benar-benar tidak dapat melihat kesalahan itu lagi.

Berapa banyak orang yang memutuskan hubungan atau bercerai karena semua yang mereka lihat dari diri pasangannya adalah ''dua bata jelek?'' Berapa banyak di antara kita yang menjadi depresi atau bahkan ingin bunuh diri, karena semua yang kita lihat dalam diri kita hanyalah ''dua bata jelek?'' Pada kenyataannya, ada banyak, jauh lebih banyak batu bata yang bagus di atas, di bawah, di kiri, dan di kanan dari yang jelek, namun pada saat itu kita tidak mampu melihatnya. Malahan, setiap kali kita melihatnya, mata kita hanya terfokus pada kekeliruan yang kita buat. Semua yang kita lihat adalah kesalahan, dan kita mengira yang ada hanyalah kekeliruan semata, karenanya kita ingin menghancurkannya. Dan terkadang, sayangnya kita benar-benar menghancurkan ''sebuah tembok yang indah''.

Kita semua memiliki ''dua bata yang jelek'', namun bata yang baik di dalam diri kita masing-masing, jauh lebih banyak dari pada bata yang jelek. Begitu kita melihatnya, semua akan tampak tidak terlalu buruk lagi. Bukan hanya kita bisa berdamai dengan diri sendiri, termasuk dengan kesalahan-kesalahan kita, namun kita juga bisa menikmati hidup bersama pasangan kita. Ini kabar buruk bagi pengacara urusan perceraian, tetapi ini kabar baik bagi Anda.

Saya telah beberapa kali menceritakan anekdot ini. Pada suatu pertemuan, seorang tukang bangunan mendatangi dan memberi tahu saya tentang rahasia profesinya.

''Kami para tukang bangunan selalu membuat kesalahan,'' katanya, ''tetapi kami bilang kepelanggan kami bahwa itu adalah ''ciri unik'' yang tiada duanya di rumah-rumah tetangga. Lalu kami menagih biaya tambahan ribuan dollar!''

Jadi, ''ciri unik'' di rumah Anda, bisa jadi, awalnya adalah suatu kesalahan. Dengan cara yang sama, apa yang Anda kira sebagai kesalahan pada diri, rekan Anda, atau hidup pada umumnya, dapat menjadi sebuah ''ciri unik'', yang memperkaya hidup Anda di dunia ini, tatkala Anda tidak lagi terfokus padanya.

Sumber:
Si Cacing dan Kotoran Kesayangannya
108 Cerita Pembuka Pintu Hati
Oleh Ajahn Brahm
Share:

Kamis, 28 Februari 2013

Buddha Dordenma Thimphu

 on  with No comments 
In ,  
Proyek Buddha Dordenma adalah pembangunan rupang Buddha Sakyamuni setinggi 42 meter (termasuk teratai) duduk di atas takhta setinggi 20 meter di Kerajaan Bhutan. Sebagai kesempatan yang luar biasa untuk memenuhi misi Buddha, Buddha Dordenma (Vajra-throned Buddha) melambangkan kejantanan taranya untuk melimpahkan berkat, kedamaian, dan kebahagiaan di seluruh dunia.

Rupang ini akan ditutupi lebih dari satu lakh (seratus ribu) rupang Buddha yang lebih kecil, yang masing-masing, seperti Buddha Dordenma itu sendiri, terbuat dari perunggu dan disepuh emas. Dordenma Buddha yang berlokasi di tengah-tengah reruntuhan Kuensel Phodrang , istana Sherab Wangchuck, Druk Desi ketiga belas, menghadap sisi selatan Thimphu, ibukota Bhutan.

Selain untuk memperingati seratus tahun dari monarki Bhutan, rupang itu untuk memenuhi dua ramalan. Pada abad kedua puluh, yogi terkenal Sonam Zangpo meramalkan bahwa patung besar Padmasambhava, Buddha atau dari Phurba akan dibangun di wilayah ini untuk memberikan berkat, kedamaian dan kebahagiaan di seluruh dunia. Selain patung disebutkan dalam terma kuno Guru Padmasambhava sendiri, dikatakan tanggal dari sekitar abad kedelapan, dan kembali sekitar 800 tahun yang lalu oleh Terton Pema Lingpa.

Di bawah mata patung Buddha, taman alam Kuenselphodrang secara resmi dibuka sebagai taman rekreasi pada tahun 2011. Taman melestarikan 943,4 hektar kawasan hutan yang mengelilingi patung Buddha Dordenma.

Struktural Desain
Untuk manfaat semua makhluk hidup, rupang Dordenma Buddha secara sesuai dengan desain struktur sebagai berikut:
  1. Sebanyak 100.000 unit dari rupang Buddha Dordenma setinggi 8 inci akan mengisi tubuh raksasa Buddha dan teratai setinggi 42 meter, sedangkan sebanyak 25.000 unit rupang Buddha Dordenma dengan tinggi 12-inch akan berada di sepanjang dinding ruang meditasi sepanjang 20 meter setinggi tahtaNya.
  2. Tahta dengan tinggi 20 meter akan berfungsi sebagai ruangan tiga lantai meditasi, ruang setiap Buddha dan Bodhisattva tertentu di arah yang baik, dengan mudah mengenali sifat para Buddha seolah-olah mereka memasuki alam murni Buddha.
  3. Rupang dari semua ukuran dan lokasi, termasuk singgasana mereka, yang terbuat dari logam, baja, dan masing-masing disepuh.
  4. Untuk menghindari gangguan oleh roh-roh yang berkuasa, semua rupang diisi dengan lima jenis relik, mantra, dan bahan berharga.
  5. Karena setiap unit rupang mewujudkan niat mulia Dordenma Buddha, semua unit mengadopsi desain cermat yang rumit, yang secara alami diproduksi melalui sinkronisasi murni dari pikiran, ucapan, dan badan pembuat rupang Buddha.
Lantai Dasar
  1. Setinggi 9-kaki rupang Buddha Shakyamuni dengan tahta, Sariputra, Mangalyana
  2. 18 buah arahat duduk dan raja empat arah setinggi 5-kaki
  3. Sepanjang dinding setinggi 12-inci rupang Buddha Dordenma
  4. Pada langit-langit terdapat 34 Mandalas utama dan 33 Mandalas kecil
  5. Ada 72 pilar kecil naga emas.
Lantai Pertama
  1. Setinggi 16-kaki rupang Vairochana Buddha berwajah empat dalam posisi duduk di pusat dikelilingi oleh:
  2. 8 Buah rupang Bodhisattva berdiri setinggi 16-kaki yaitu:
    • Avalokiteshvara
    • Mansjushri
    • Vajrapani
    • Maitreya
    • Ksitigarbha
    • Akashagarbha
    • Sarvanivaranavishkambim
    • Samantabhadra
  3. Sepanjang dinding terdapat rupang Buddha Dordenma setinggi 12 inci
  4. Diatas langit-langit terdapat 28 mandalas utama
  5. Terdapat 8 pilar utama naga emas dan 22 pilar kecil naga emas.
Lantai Kedua
  1. 8 buah rupang Medicine Buddha setinggi 5-kaki dalam posisi duduk mengelilingi pilar tengah, yaitu:
    • Tshenleng Kedokteran
    • Serzang
    • Drimed Nangwatai
    • Nyangenmed
    • Choedrag Gyatso
    • Ngoenkhen Gyalpo
    • Drayang Gyalpo
    • Shakyamuni Buddha
  2. Sepanjang dinding terdapat rupang Buddha Dordenma setinggi 12-inci
  3. Pada langit-langit terdapat 34 Mandalas utama.
  4. Terdapat 22 pilar kecil naga emas.
Lantai Ketiga
Dalam teratai, tepat di bawah daerah antara sebelah kanan Buddha ke lutut kiri terdapat 5 ruang, yang dikelilingi sepenuhnya oleh rupang Buddha Dordenma setinggi 8 inci. Rupang Buddha kecil mengisi interior sampai Buddha raksasa ke atas.
  1. Ruangan Pertama: Tampilan sutra & miniatur Buddha Dornema setinggi 8 inci.
  2. Ruangan Kedua & Keempat: Dua belas unit Buddha Shakyamuni yang menggambarkan dua belas perbuatan mencerahkan dari Buddha
    • Turun dari Tushita ke alam manusia
    • Memasuki rahim ibu
    • Mengalami kelahiran
    • Pelatihan dalam seni, kerajinan, dan ilmu pengetahuan
    • Menikah dengan Putri Yashodhara & menikmati kebahagiaan dalam suasana kerajaan
    • Memungkiri kehidupan keluarga kerajaan untuk menjadi seorang pertapa
    • Menjalani praktik asketis yang sulit
    • Bersumpah untuk tetap duduk di bawah pohon Bodhi untuk mencapai Pencerahan
    • Menundukkan kekuatan jahat
    • Mencapai Pencerahan di bawah pohon Bodhi
    • Memutar roda Dharma
    • Memasuki Parinirvana
  3. Ruangan Ketiga: Tujuh buah rupang Buddha yang sangat baik setinggi 5-kaki-dalam posisi duduk bersama , yang terdiri dari:
    • Buddha Namparzig (Vipasyin / Vipassin)
    • Buddha Tsugtorchen (Sikhin)
    • Thamched Kyob (Visvabhu / Vessabhu)
    • Buddha Khorwadesel (Krakucchanda)
    • Buddha Serbub (Kanakamuni / Konagamana)
    • Buddha Oedsung (Kasyapa / Kassapa)
    • Buddha Shakyamuni
    • Ruangan Kelima: Media ruangan dengan proyektor 3D.
Pada langit-langit terdapat 5 Mandalas utama.

Keluarga Buddha yang murka:
    • Guru Padmasambhava
    • Perang menundukkan Dewa
    • Cakrasambhava
    • Vajrayogini
    • Guru Dakmar
    • Vajrakileya
    • Pelchen Heruka
    • Guru Dakpo
Lantai Keempat
Dikelilingi oleh lukisan dari 12 peristiwa kehidupan utama Sang Buddha Shakyamuni dan keluarga Sang Buddha sebagai berikut:
    • Samanthabadra
    • Vairochana & Ingchuma
    • Vajrasattva & Nyema Karmo
    • Ratnasambhava & Mamaki
    • Amitabha & Gyekarmo
    • Amogasiddhi & Tara
    • Red Lokeshvara Family Galwa Jamtsho
    • Vajradhara & Ingchuma
sumber : http://www.buddhadordenma.org
Share:

Rabu, 27 Februari 2013

Paro Taktsang (The Tiger's Nest Monastery)

 on  with No comments 
In ,  
Paro Taktsang (spa phro stag tshang / spa Gro tshang rusa), adalah nama populer dari Biara Palphug Taktsang (juga dikenal sebagai Nest The Tiger), merupakan situs suci yang menonjol dari Buddhis Himalaya dan kompleks candi, terletak di tebing dari atas lembah Paro, Bhutan. Sebuah kompleks candi pertama kali dibangun pada tahun 1692, di sekitar Taktsang Senge Samdup (stag tshang seng ge bsam grub) gua tempat Guru Padmasambhava. Padmasambhava adalah sosok yang dipuji karena memperkenalkan Buddhisme ke Bhutan dan adalah dewa yg mengawasi negara. Sekarang ini, Paro Taktsang adalah yang paling terkenal dari tiga belas Taktsang atau gua "sarang harimau" di mana ia bermeditasi.

Taktsang merupakan salah satu tempat paling suci di Bhutan, biara bertengger di tebing granit tinggi menghadap ke utara lembah Paro. Tempat ini sangat dihormati karena hubungannya dengan Guru Rinpoche, yang dikatakan telah diterbangkan ke Paro Taktsang dalam bentuk Dorji Drolo, terpasang pada harimau betina-dakini menyala.

Guru mengunjungi Bhutan selama 3 kali. Kunjungan pertamanya ke Bhutan 746 AD dari India ketika beliau diundang oleh Bumthang untuk mengobati Raja Sindhu, penguasa Bumthang, yang sakit parah. Raja telah sembuh dan menjadi pengikut Buddhisme. Beliau berjanji untuk kembali ke Bhutan lagi untuk menyebarkan ajaran Buddha.

Setahun kemudian, Guru diundang ke Tibet oleh Raja Thrisong Deutsen untuk membantu dia dalam pembangunan Biara Samye. Beliau melakukan perjalanan ke Tibet, dengan kekuatan tantra, beliau membersihkan kekuatan jahat yang mengganggu pembangunan biara, sehingga biara berhasil diselesaikan.

Selama kunjungannya pada tahun 747 AD ke Tibet, Guru Rinpoche memutuskan untuk mengunjungi Bhutan lagi dengan permaisuri Tibetnya, Khandro Yeshi Tshogyel dan Mulia Denma Tseman. Ia berkelana di seluruh negeri dan memberkati rakyat.

Sementara di Singye Dzong inKurtoe, Guru diyakini telah terbang ke Paro Taktsang dalam bentuk Guru Dorji Drolo ke-8, dalam aspek terakhir yang diasumsikan, menumpang harimau betina dakini. Sebelum kedatangannya, seluruh negeri itu diyakini telah dihuni oleh roh-roh jahat yang bermusuhan. Pada kedatangannya, beliau menaklukkan delapan kategori roh-roh jahat dan membatasi mereka dengan sumpah untuk menjadi pelindung dari pengajaran untuk semua waktu yang akan datang.

Beliau juga menyembunyikan berbagai bentuk harta Dharma termasuk 3 ajaran Yoga untuk ditemukan kemudian oleh murid-muridnya yang disebut terton (Harta penemu). Menurut biografinya Yidkyi Munsel, beliau bermeditasi di sana selama 4 bulan dan memberkati tempat ini sebagai yang terbaik di antara tempat-tempat suci (Ney).

Beliau mengungkapkan bentuk nyata dari Phurpai Kyilkhor (Vajrakiliya) dan diinstruksikan pada Langchen Pelgyi Singye, salah satu murid disiplinya (Gyalbang Nyernga) dan spiritual condortnya, Khando Yeshi Tshogyel. Gua di mana Guru Rinpoche dan banyak orang suci ternama lainnya bermeditasi disebut â € œDrubkhang "(ruang meditasi) atau â € œpelphug" (gua suci)

Di Tibet di Chimphu, Guru memberikan inisiasi dari teks Kagyed kepada murid-Nya yang setia. Hati-muridnya Langchen Pelgyi Singye yang menjadi terkenal terutama dalam kemampuan menundukkan roh-roh jahat diperintahkan untuk kembali ke Paro Taktsang. Langchen Pelgyi Singye datang ke Taktsang pada tahun 853 AD, dan bermeditasi di Drubkhang untuk waktu yang lama. Tempat itu kemudian dikenal sebagai Taktsang Pelphug. Lalu beliau pergi ke Nepal dan sebelum meninggal, tubuhnya dipercayakan kepada pelindung Damchen Dorji Legpa sebagai asisten spiritualnya. Jenazahnya dibawa kembali ke Taktsang oleh Damchen Dorji Legpa dan disembunyikan sepertii harta (Terma) untuk ditemukan kemudian. Tubuhnya kini diabadikan dalam batu jauh di bawah tempat Kudung Chorten, yang telah dibangun bertahun-tahun yang lalu dan dipulihkan pada 1982-1983.

Menurut Neyig dari Taktsang, disusun oleh Lopen Pemala, terdapat 9 gua suci (Phug) sekitar Taktsang, yaitu
1. Machiphug
2. Singyephug
3. Pelphug
4. Drolophug
5. Yoeselphug
6. Gadigphug
7. Choegyelphug
8. Kapaliphug
9. Phagmoiphug

Machigphug adalah gua di mana Machig Lhabdron, inkarnasi Khandro Yeshi Tshogyel, telah bermeditasi dan terletak di atas jurang, sebelum mendekati Taktsang Goenpa utama. Singyephug dapat dilihat di dekat sungai kecil jatuh dari tebing. Aliran ini disebut Shelkarchu karena diyakini bahwa dawai manik-manik kaca yang tersebar di seluruh daerah itu oleh Khandro Yeshi Tshogyel. Gua di mana Langchen Pelgyi Singye telah bermeditasi disebut Pelphug dilihat di biara utama Taktsang. Sisa gua-gua suci dikatakan terletak di suatu tempat di belakang kuil Singye Samdrup, dewa pelindung Taktsang.

Taktsang berada di bawah muatan lama Kathogpa sejak abad ke-14. Kathogpa lam Yeshi Bum (1245-1311), hidup di abad ke-15 berkunjung ke Taktsang di mana ia bermaksud untuk membangun biara. Keinginannya tetap tak terpenuhi sampai tahun 1508 ketika keponakannya dan muridnya, Sonam Gyaltshen membangun kuil Ugyen Tsemo di atas Taktsang.

Pada 1646, Zhabdrung mengundang Lopon Rigzin Nyingpo, turunan dari Terton Sangye Lingpa (1340-1396) dari Kongpo di Tibet. Zhabdrung mengunjungi Taktsang bersama Lopon Rigzin Nyingpo dan mengambil alih Taktsang termasuk Ugyen Tsemo dari Kathogpa Lama. Beliau menunjuk Jinpa Gyalthsen, saudara Desi Tenzin Rabgye, sebagaimana Lama dari Taktsang. Zhabdrung dan Lopon Rigzin Nyingpo melakukan doa Phurpai Kyikhor, yang telah dilakukan sejak saat itu.

Dikatakan bahwa meskipun Zhabdrung memiliki keinginan untuk membangun sebuah kuil di tempat di mana Taktsang sekarang berdiri, ia tidak brhasil selama pembangunan Paro Dzong Rinpung sedang berlangsung. Jadi ia memerintahkan Tenzin Rabgye, yang masih di bawah umur pada saat itu untuk membangun Biara. Pada 1692, atas perintah Desi Tenzin Rabgye, Paro Penlop Dragpa Gyaltshen membangun dua kuil-disimpan utama di sekitar Drubkhang di Taktsang dan dengan demikian memenuhi keinginana Zhabdrunga. Pada saat ini, Taktsang melakukan sistem doa tahunan yang didedikasikan untuk Guru Rinpoche, yang bahkan sampai hari ini dilakukan oleh Divisi Tshenyid Badan monastik Tengah.

Melalui renovasi banyak kali dan ekspansi selama berabad-abad berikut, Taktsang tumbuh menjadi sebuah kompleks yang rumit, beberapa bangunan individu yang terhubung hanya dengan tangga curam. Antara 1961 dan 1965, 34 Je Khenpo Sherdrup Yoezer direnovasi. Penambahan terbaru yang dibuat antara tahun 1981 dan 1982.

Pada bagian kiri dari tangga pintu masuk gedung yang berisi "stupa" Kudung dari Langchen Pelgyi Singye yang tubuhnya telah ditempatkan jauh di dalam bebatuan di bawah situs dari Kudung Chorten.

Di pojok kiri bagian dalam adalah Lhakhang Dorlo, kuil didedikasikan untuk Guru Dorji Dorlo, yang telah dipasang oleh Lama Sonam Zangpo terakhir. Di bangunan utama, ada tiga candi.

Candi bawah berisi gua di mana Guru Rinpoche dan Pelgyi Singye bermeditasi dan berisi patung Guru Dorji Drolo dan patung Phurpai Kyilkhor, yang dikatakan didirikan oleh Niwari Pentsa, ahli seni masa pemerintahan Desi Tenzin Rabgye dan istana surgawi Guru Rinpoche (Zangtopelri).

Candi tengah Guru Sungjoen Temple, kuil Guru yang berbicara karena diyakini bahwa ketika itu sedang diangkut ke Taktsang, patung Guru bernyanyi dengan sendirinya. Para pengrajin paling terampil dari Nepal, Pentsa Dewa, Dharma dan Dharmashri mendirikan patung Guru Sungjoen. Candi ini berisi antara lukisan yang indah dari manifestasi delapan Guru, siklus Lama Gongdue dan Tshepamed, dewa panjang umur.
Share:

Pagoda Shwedagon

 on  with No comments 
In ,  
Shwedagon (ရွှေတိဂုံစေတီတော်) nama resmi: Shwedagon Zedi Daw, juga dikenal dengan julukan Pagoda Emas, adalah sebuah stupa atau pagoda setinggi 98 meter (321,5 kaki) yang berlapis emas dan terletak di Yangon, Myanmar. Pagoda ini terletak di bagian barat Danau Kandawgyi, di bukit Singuttara, dan mendominasi pemandangan kota Yangon. Stupa buddhis ini adalah yang paling suci bagi bangsa Burma karena menyimpan relik Buddha terdahulu, yaitu tongkat Kakusandha, saringan air Konagamana, sepotong jubah Kassapa, dan delapan helai rambut Siddharta Gautama, dan sejarah Sang Buddha. Uppatasanti Pagoda merupakan replika yang tepat dari Shwedagon Pagoda di Naypyidaw, ibukota baru Burma.

Legenda dari Pagoda Schwedagon dimulai dengan dua pedagang bersaudara Burma yang bertemu Sang Buddha sendiri. Sang Buddha memberi mereka delapan helai dari rambut nya akan diabadikan di Burma. Dengan bantuan beberapa nat (roh) dan raja dari daerah ini, saudara-saudara tersebut menemukan bukit di mana peninggalan Buddha sebelumnya telah diabadikan.

Sebuah ruang untuk rumah peninggalan dibangun di tempat suci dan ketika rambut diambil dari peti emas mereka, hal-hal menakjubkan terjadi:
“ada keributan di antara manusia dan roh ... sinar yang dipancarkan oleh Rambut menembus sampai ke langit di atas dan turun ke neraka ... yang buta dapat melihat objek ...yang tului mendengar suara ... orang bisu berbicara jelas ... terjadi gempa bumi ... Gunung Meru mengguncang ... kilat menyambar ... permata jatuh menghujani sampai selutut mereka ... semua pohon dari Himalaya, meskipun tidak di musimnya, bunga dan buah.”

Setelah relik yang aman ditempatkan di kuil baru, lempengan emas diletakkan pada ruang dan sebuah stupa emas dibangun di atasnya. Selama ini berlapis sebuah stupa perak, kemudian stupa timah, sebuah stupa tembaga, sebuah stupa utama, sebuah stupa marmer dan stupa besi-bata.

Kemudian, legenda berlanjut, stupa Schwedagon jatuh dalam kehancuran sampai Kekaisaran Asoka India, seorang penganut Buddha baru, datang ke Myanmar dan mencarinya. Dan menemukan dengan susah payah, ia kemudian membersihkan hutan dan memperbaiki stupanya.

Sangat mudah untuk melihat mengapa Pagoda Schwedagon adalah tempat suci bagi orang yang percaya. Dibangun di situs peninggalan Buddha sebelumnya, yang berisi relik Sang Buddha terbaru, tempat keajaiban dan didukung oleh kerajaan, ini memang merupakan stupa penting.

Sejarah
Legenda mengatakan bahwa Pagoda Shwedagon berumur 2.500 tahun, tetapi arkeolog memperkirakan pertama kali dibangun oleh Mon sekitar antara abad ke-6 dan ke-10 (yaitu selama periode Bagan). Pagoda muncul dari legenda dalam sejarah di tahun 1485, ditemukan pada prasasti dekat puncak tangga timur yang bercerita tentang Shwedagon dalam tiga bahasa (Pali, Mon, dan Burma)

Saat itu tradisi penyepuhan stupa dimulai. Ratu Shinsawbu menyediakan emas seberat badannya (sekitar 40kg), yang dibuat menjadi daun emas dan digunakan untuk menutupi permukaan stupa.

Menantu Ratu tertua, Dhammazedi, menawarkan emas sebesar empat kali berat badan sendiri ditambah berat istrinya dan menyediakan prasasti tersebut diatas tahun 1485. Telah dibangun kembali berkali-kali sejak saat itu karena gempa bumi (termasuk delapan kali di abad ke-17 saja), struktur tanggal terbaru dari pembangunan kembali di bawah Raja Hsinbyushin pada tahun 1769.

Setelah Perang Anglo I-Burma pada tahun 1824 , tentara Inggris menduduki kompleks Pagoda Schwedagon, yang berdiri tinggi di atas kota seperti sebuah kastil. Pada tahun 1852, selama perang kedua, Inggris menduduki pagoda selama 77 tahun dan menjarah harta mereka. Pada tahun 1871, Raja Mindon Min dari Mandalay memberikan hti baru (dekorasi bagian atas)

Sebagai lambang identitas nasional, Pagoda Schwedagon adalah tempat aktivitas politik selama gerakan kemerdekaan Myanmar pada abad ke-20. Hebatnya, gempa bumi besar dari tahun 1930 (yang menghancurkan Schwemawdaw di Bagan) menyebabkan kerusakan hanya kecil pada stupa Yangon. Namun tahun berikutnya, stupa mengalami bencana api . Setelah gempa kecil pada tahun 1970, stupa utama sepenuhnya diperbaharui.

Apa yang harus Lihat?
Pagoda Besar Schwedagon berdiri pada platform yang mencakup lebih dari 5 hektar pada ketinggian 58m bukit di atas permukaan laut. Pagoda ini dapat dilihat dari hampir di mana saja bagian kota, dan warga Yangon menjalani kehidupan sehari-hari mereka dalam bayangannya.

Ada empat jalan setapak tertutup yang mengarah ke platform pagoda. Kedua pintu masuk selatan dan utara memiliki pilihan lift atau tangga, pintu masuk Barat memiliki eskalator bukan tangga dan pintu masuk hanya tanpa pedagang. Tangga Timur memiliki suasana yang paling otentik, karena melewati biara dan pedagang yang menjual kebutuhan biara.

Pintu masuk selatan, dari Schwedagon Paya Road, adalah yang paling dekat pintu masuk utama dan dijaga oleh dua ekor Chinthe setinggi 18 kaki (hewan mitos singa-naga). Anda harus melepas sepatu Anda dan kaus kaki sebelum Anda naik tangga.

Langkah-langkah dipenuhi dengan toko-toko yang menjual bunga (baik yang nyata dan kertas) untuk persembahan, serta gambar Buddha, dupa, barang antik dan barang-barang lainnya. Meskipun ada pedagang, jalan yang sejuk dan tenang, hanya meningkatkan dampak matahari cerah dan warna yang luar biasa saat Anda melangkah ke platform di atas.

Stupa Utama
Platform ini penuh gemerlap, stupa berwarna-warni, tetapi stupa besar utama adalah pusat perhatian bagi peziarah kebanyakan. Jalur tikar telah diletakkan di sekitarnya untuk melindungi kaki telanjang pengunjung dari pembakaran pada platform marmer panas. Stupa ini benar-benar padat, setiap inci ditutupi dengan emas, dan bagian atas yang bertatahkan berlian dengan total lebih dari 2.000 karat.

Stupa utama didukung "plinth"(alas) persegi yang berdiri 6.4 meter (20 kaki) di atas platform, posisinya membedakannya dari stupa lainnya. Pada platform yang ditinggikan terdapat stupa kecil: yang lebih besar pada empat arah mata angin, yang menengah di empat penjuru, dan 60 stupa yang kecil di sekelilingnya. Dengan izin dari wali pagoda, pria dapat memanjat ke teras plinth, yaitu sekitar lebar 6 meter, untuk bermeditasi.

Lonceng besar stupa ini ditutupi daun emas yang sepuh ulang setiap tahun. Bahu lonceng dihiasi dengan 16 bentuk "bunga". Lonceng ini diatapi oleh sebuah "mangkuk terbalik" dan di atas ini adalah cetakan dan "kelopak lotus" - sebuah bagian dari kelopak bawah-berubah diikuti oleh bagian di atasnya-sampai berpaling pada kelopaknya. Unsur terakhir dari stupa itu sendiri adalah "tunas pisang," yang ditutupi dengan 13.153 piring emas (yang berlawanan arah dengan daun emas dari bagian bawah), masing-masing berukuran 30 cm persegi.

Atas stupa adalah hti spektakuler (dekorasi puncak menara), yang memiliki tujuh tingkatan. Terbuat dari besi dan tertutup piring emas, hti beratnya lebih dari satu ton. Untuk ini ditambahkan lonceng emas, lonceng perak dan aneka perhiasan. Daerah tingkat pertama terdapat bendera yang ditiup angin. Ini berlapis emas dan perak berlapis dan bertabur 1.100 berlian dengan total 278 karat, ditambah 1.383 batu berharga lainnya.

Di bagian paling atas dari puncak menara adalah bola berlian - bola emas berongga bertatahkan berlian 4.351 sebesar 1.800 karat. Pada ujung yang sangat bersandar tunggal, 76-karat berlian.

Struktur lainnya di Platform
Platform besar yang mendukung stupa besar berisi berbagai stupa lain, ruang doa, patung dan kuil-kuil. Jumlahnya berhubungan dengan delapan "hari" (Rabu dibagi menjadi pagi dan sore), berdasarkan pada hari seseorang lahir. Masing-masing memiliki tanda planet, arah dan hewan terkait.

Satu selalu harus berjalan di sekitar (mengitari) stupa searah jarum jam, sehingga pengunjung mengambil kiri dari pintu masuk ke platform yang telah mereka pilih. Mulai dari pintu masuk selatan, lurus ke depan adalah sebuah kuil besar untuk Konagamana, Buddha kedua, di sisi selatan dari plinth stupa utama itu. Mengapit kuil adalah tulisan planet Merkurius.

Selanjutnya ke arah barat di sekitar plinth tumpuan kolom, , peziarah melewati patung singa kembar yang berwajah manusia, seorang ahli nujum tertawa dengan tangan di atas kepalanya, dan dewi bumi. Di sudut barat daya “plinth” adalah tulisan planet Saturnus. Jauh dari plinth menuju sudut barat daya adalah sebuah paviliun dengan 28 gambar yang mewakili 28 Buddha sebelumnya, dan dekat pojok barat daya adalah monumen dengan tulisan dalam empat bahasa yang menceritakan pemberontakan mahasiswa 1920 melawan pemerintahan Inggris.

Bergerak naik ke sisi platform barat, sebuah kaca memiliki dua angka dari nat (roh), salah satunya adalah nat penjaga Shwedagon. Selanjutnya adalah ruang doa yang dikenal sebagai Tazaung Rakhaing, yang telanjang di dalam tetapi memiliki ukiran kayu baik di atapnya yang bertingkat. Ruang doa berikutnya memiliki rupang Buddha setinggi 8m (24-kaki) dalam posisi berbaring, dan di utara ini adalah Tazaung, Pedagang China, yang menampilkan berbagai tokoh Buddha. Di sisi barat dari plinth adalah tokoh Mai Lamu dan Raja Nat, orang tua Raja Ukkalapa yang dikatakan telah mengabadikan rambut Buddha di Schwedagon. Bangunan besar secara langsung berhadapan dengan stupa utama di Barat, dibangun pada tahun 1841, tetapi hancur dalam kebakaran yang melanda platform pada tahun 1931. Mengapit aula adalah tulisan planet Jupiter.
Perdana Mentri Thailand menghormat Rupang Buddha Di Pagoda Shwedagon
Kembali ke sisi barat dari platform, di seberang aula adorasi dan di bagian atas tangga Barat adalah Dua Tazaung Pice. Bagian Utara ini adalah paviliun rendah dibangun oleh produsen pasokan biara. Selanjutnya adalah merupakan paviliun dengan kolom tinggi dan multi-paviliun beratap (pyatthat) naik dari atap bagian atas. Dari berlawanan ini, di sudut barat laut plinth, adalah tulisan planet untuk Yahu, planet Hindu, mitos yang menyebabkan gerhana. Bagian terdekat adalah Stupa Hari Delapan, sebuah stupa kecil dengan puncak menara emas dan delapan relung sekitar basisnya, masing-masing dengan gambar Buddha. Antara relung adalah sosok hewan dan burung, yang mewakili delapan arah, tanda-tanda, planet dan hari dalam seminggu. Barat Laut dari stupa adalah lonceng paviliun dengan berat 23-ton, Maha Ganda Bell. Antara tahun 1775 dan 1779, lonceng emas besar ini dijarah oleh Inggris pada tahun 1825, tetapi jatuh ke Sungai Yangon ketika mencoba untuk dikirim ke pelabuhan. Setelah berulang kali mencoba untuk menjarah lonceng itu, Inggris menyerah dan mengatakan orang Burma yang akan memilikinya jika mereka bisa mengeluarkan dari sungai. Orang Burma menempatkan kayu dan bambu di bawah lonceng sampai akhirnya mengapung ke permukaan.
Menlu AS Hillary Clinton melakukan ritual penyiraman Rupang Buddha kecil di Shwedagon
Utara dari paviliun lonceng adalah rumah paviliun besar untuk rupang Buddha setinggi 9 meter dan sering digunakan untuk pertemuan-pertemuan publik. Di balik ini ada sebuah kuil kecil dengan gambar Buddha yang indah yang sangat dihormati tercakup dalam daun emas. Di daerah terbuka dari platform ke timur adalah bentuk bintang, sebagai tempat pengharapan, di mana ada peziarah sering berlutut dan berdoa terhadap stupa besar bahwa keinginan mereka akan terwujud. Di sudut barat laut terdapat dua pohon Bodhi, salah satu yang tumbuh dari pemotongan dari pohon Bodhi di India di mana Sang Buddha mencapai pencerahan.
Presiden AS Barack Obama menuangkan air di atas bahu kiri Rupang Buddha
Di sisi utara dari platform adalah tempat berdoa orang Cina, dengan ukiran kayu dan tokoh naga Cina pada sisi stupa di depannya. Paviliun yang berdekatan dijaga oleh seukuran tokoh India yang berikutnya oleh singa Inggris. Arti penting dari angka-angka ini tidak jelas. Pegangan tangga seperti buaya di tangga utara bertahun sekitar 1460. Antara tangga dan stupa utama terdapat sebuah paviliun di situs mana hti besar dari stupa utama ditempatkan sebelum diangkat ke atas, dan kemudian Peninggalan rambut, yang konon dicuci di Sungai Ayeyarwady. Rambut Buddha dicuci dengan baik sebelum ditempatkan di stupa utama.

Di sisi utara tumpuan kolom berdiri adorasi aula utara, menampilkan gambar dari sejarah Buddha . Mengapit aula adalah tulisan planet Venus. Tulisan untuk Matahari berada pada sudut timur laut , dengan tanda hewan dari garuda, makhluk mirip burung Hindu dan mitologi Buddha. Hanya sebelah timur laut dari utara adorasi terdapat salah satu struktur yang paling khas pada platform, sebuah kuil dengan gaya Kuil Mahabodhi di India. Di samping ini adalah sebuah stupa kecil berlapis emas dan dau tazaung pice, yang mengabadikan gambar 200-tahun Buddha.

Sudut timur laut dari platform ditempati oleh Stupa Penatua emas (Naungdawgyi Stupa), yang dibangun di tempat di mana relik rambut ditempatkan sebelum diabadikan dalam stupa pusat. Wanita tidak diijinkan untuk naik ke platform Stupa diatasnya.

Selatan dari stupa adalah sebuah paviliun didedikasikan untuk Izza-Gawna, seorang biarawan legendaris yang mampu menggantikan matanya yang hilang dengan salah satu mata kambing dan satu dari seekor lembu jantan. Tokoh di sebelah kiri gambar Buddha utama memiliki mata ukuran yang tidak sama. Di sudut timur laut yang jauh dari platform adalah prasasti Dhammazedi dari 1485, yang semula di tangga timur. Menuju selatan ke arah tangga itu, memenuhi rumah paviliun elegan Titthadaganda Maha Bell, yang dilemparkan pada tahun 1841 dan berat 42 ton. Langit-langit paviliun lonceng terbuat dari pernis berhiaskan kaca.

Menghadapi tangga timur adalah ruang suci Timur, secara luas dianggap paling indah di platform. Dibangun kembali setelah kebakaran tahun 1931, merupakan rumah gambar Kakusandha, Buddha pertama. Di kedua sisi adalah tulisan planet untuk bulan; berdekatan dengan arahke utara adalah payung emas Shan. Di belakang aula kuil, sampai pada alas stupa utama, adalah gambar Buddha dikenal sebagai Tawa-gu. Sebelah pintu masuk Timur adalah U Nyo paviliun, dengan serangkaian panel dari kayu yang menggambarkan adegan dari kehidupan Buddha Gautama.

Sebuah struktur dari selatan dari sini adalah tulisan doa atasnya oleh burung mitologi Hintha dan lonceng yang tergantung. Berlawanan dari sudut tenggara adalah tulisan planet Mars. Sudut tenggara platform memiliki pohon lain pohon bodhi suci dan menawarkan pandangan yang baik atas Yangon dan di seberang Sungai Yangon. Daerah platform ini adalah rumah ke kantor para wali pagoda, sebuah museum kecil, sebuah paviliun dengan ukiran kayu halus, hti bergulir, dan teleskop untuk melihat tinggi hti nyata atas stupa.
Share:

Selasa, 26 Februari 2013

Jadikan Nibbana Sebagai Tujuanmu

 on  with No comments 
In ,  
Jadikan Nibbana Sebagai Tujuanmu[1]
Judul Asli: Let Your Aim be Nibbana
Oleh: Y.M. Ajahn Chah
Penerjemah: Bhagavant.com

Pada saat ini arahkan pikiran Anda untuk mendengarkan Dhamma. Secara tradisi hari ini adalah hari dhammasavana (mendengarkan dhamma). Ini adalah waktu yang tepat bagi kita, para umat Buddha untuk mempelajari dhamma guna meningkatkan kesadaran dan kebijaksanaan kita. Memberi dan menerima ajaran adalah sesuatu yang telah kita lakukan untuk waktu yang lama. Kegiatan yang biasanya kita lakukan pada hari ini, seperti melantunkan pujian kepada Sang Buddha, mengambil sila, bermeditasi, dan mendengarkan ajaran, seharusnya dipahami sebagai cara dan prinsip bagi pengembangan spiritual. Hal itu tidak lebih dari ini.

Sebagai contoh, ketika tiba saatnya untuk mengambil sila, seorang bhikkhu akan membacakan sila-sila dan para umat awam akan berjanji untuk menerimanya. Janganlah salah paham terhadap apa yang terjadi. Sebenarnya adalah, kemoralan merupakan sesuatu yang tidak bisa diberikan. Kemoralan sebenarnya tidak dapat diminta atau diterima dari seseorang. Kita tidak bisa memberikannya pada orang lain. Dalam keseharian kita, kita mendengar orang-orang berkata, “Bhante telah memberikan sila dan kami telah menerima sila”. Kita berbicara seperti ini, disini, dipinggir kota dan menjadi kebiasaan kita dalam cara memahami.

Jika kita berpikir seperti itu, maka kita datang untuk menerima sila dari para bhikkhu pada hari penanggalan bulan (uposatha) dan jika para bhikkhu tidak ingin memberikan sila maka kita tidak memiliki kemoralan, hal itu hanyalah rekaan tradisi yang kita warisi dari nenek moyang kita. Berpikir dengan cara ini berarti kita menyerahkan tanggung jawab kita, kita tidak memiliki kepercayaan yang kuat dan keyakinan pada diri sendiri. Kemudian hal ini dibiarkan diturunkan kepada generasi berikutnya, dan mereka akhirnya juga datang untuk 'menerima' sila dari para bhikkhu. Dan para bhikkhu mulai mempercayai bahwa mereka adalah satu-satunya orang yang 'memberikan' sila kepada umat awam. Kenyataannya, kemoralan dan sila tidak seperti itu. Kemoralan dan sila bukanlah sesuatu yang 'diberikan' atau 'diterima', tetapi saat seremonial pelimpahan jasa dan sejenisnya, kita menggunakan hal ini sebagai ritual berdasarkan tradisi dan menggunakan terminologi (istilah).

Sebenarnya, moralitas terletak pada niat seseorang. Jika Anda memiliki kesadaran yang kuat untuk menahan diri dari tindakan yang membahayakan dan dari perbuatan yang salah yang dilakukan oleh jasmani dan ucapan, maka moralitas akan datang pada diri Anda. Anda perlu mengetahuinya dalam diri Anda sendiri. Tidak apa-apa untuk berjanji pada orang lain. Anda bisa mengingat sila oleh diri Anda sendiri. Jika Anda tidak tahu sperti apa sila itu, maka Anda bisa meminta penjelasan dari orang lain. Hal ini bukanlah sesuatu yang sangat rumit dan jauh. Jadi sebenarnya, kapanpun kita mengharapkan untuk 'menerima' moralitas dan Dhamma, kita segera mendapatkannya.

Hal ini seperti udara yang mengelilingi kita dimana saja. Kapanpun kita menarik nafas, kita akan memperolehnya. Begitu juga dalam hal kebaikan dan kejahatan. Jika kita berharap untuk melakukan kebaikan, kita dapat melakukannya dimana saja, kapan saja. Kita dapat melakukannya sendiri, atau bersama-sama dengan orang lain. Begitu juga dengan kejahatan. Kita dapat melakukannya dengan kelompok besar maupun kecil, ditempat tersembunyi ataupun di tempat terbuka. Sama seperti itu.
Share:

Senin, 25 Februari 2013

The Two Faces of Reality

 on  with No comments 
In ,  
The Two Faces Of Reality [1]
Oleh Ajahn Chah
Diterjemahkan dari ajahnchah.org

Dalam hidup kita, kita memiliki dua kemungkinan: menuruti duniawi atau melampaui duniawi. Sang Buddha adalah seseorang yang mampu membebaskan diri dari dunia dan dengan demikian menyadari pembebasan spiritual.

Dengan cara yang sama, ada dua jenis pengetahuan yaitu pengetahuan tentang alam duniawi dan pengetahuan tentang kebijaksanaan spiritual, atau kebijaksanaan mutlak. Jika kita belum berlatih dan melatih diri kita sendiri, tidak peduli berapa banyak pengetahuan duniawi yang kita miliki, dan dengan demikian tidak dapat membebaskan kita.

Berpikirlah dan benar-benar melihat dengan dekat! Sang Buddha mengatakan bahwa hal-hal dari duniawi berputar di sekitar dunia. Mengikuti duniawi, pikiran terjerat di dunia, mencemari dirinya sendiri apakah datang atau pergi, tidak pernah tersisa. Orang duniawi adalah mereka yang selalu mencari sesuatu – dan tidak pernah dapat menemukan dengan cukup. Pengetahuan duniawi benar-benar kebodohan, itu bukan pengetahuan dengan pemahaman yang jelas, sehingga tidak pernah ada akhirnya. Hal ini berkisar pada tujuan duniawi mengumpulkan benda-benda, mendapatkan status, mencari pujian dan kesenangan, sekumpulan khayalan yang telah menempel dengan cepat.

Setelah kita mendapatkan sesuatu, ada iri hati, khawatir dan egoisme. Dan ketika kita merasa terancam dan tidak dapat mencegahnya, kita menggunakan pikiran kita untuk menciptakan segala macam perangkat, sampai ke senjata dan bahkan bom nuklir, hanya untuk saling meledakkan. Mengapa semua ini menjadi masalah dan menyulitkan?

Ini adalah cara duniawi. Sang Buddha mengatakan bahwa jika seseorang mengikutinya di sekitar sana adalah tidak ada akhir.

Ayo berlatih untuk pembebasan! Tidaklah mudah untuk hidup sesuai dengan kebijaksanaan sejati, tapi siapa pun yang sungguh-sungguh mencari jalan dan buah dan bercita-cita untuk Nibbāna akan mampu bertahan dan bertahan. Bertahan menjadi puas dan puas dengan sedikit, makan sedikit, tidur sedikit, berbicara sedikit dan hidup secukupnya. Dengan melakukan ini kita bisa mengakhiri keduniawian.

Jika benih keduniawian belum tumbang, maka kita terus bermasalah dan bingung dalam siklus yang tidak pernah berakhir. Bahkan ketika Anda datang untuk ditahbiskan, terus menarik Anda untuk pergi. Hal ini menciptakan pandangan Anda, pendapat Anda, warna dan menghiasi semua pikiran Anda - itulah cara duniawi.

Orang-orang tidak menyadari! Mereka mengatakan bahwa mereka akan mendapatkan hal-hal yang dilakukan di dunia. Ini selalu menjadi harapan mereka untuk menyelesaikan segalanya. Sama seperti seorang menteri pemerintah baru yang ingin memulai dengan administrasi barunya. Dia berpikir bahwa ia memiliki semua jawaban, jadi dia merubah segala sesuatu dari pemerintahan lama dan mengatakan, ''Lihat! Saya akan melakukan semuanya sendiri''. Itu semua mereka lakukan, banyak hal keluar masuk, tidak pernah mendapatkan apa-apa yang dilakukan. Mereka mencoba, tetapi tidak pernah mencapai setiap penyelesaian yang nyata.

Anda tidak pernah bisa melakukan sesuatu yang akan menyenangkan semua orang - satu orang menyukai sedikit, yang lain suka banyak, seperti salah satu pendek dan satu suka panjang, beberapa suka pedas, asin dan beberapa suka renyah. Untuk membuat semua orang bersama-sama dalam satu pemikiran tidak dapat dilakukan.

Semua dari kita ingin mencapai sesuatu dalam hidup kita, tapi dunia, dengan semua kompleksitas, membuat hampir tidak mungkin untuk membawa segala penyelesaian yang nyata. Bahkan Sang Buddha, lahir dengan semua peluang dari seorang pangeran yang mulia, tidak menemukan penyelesaian ada di kehidupan duniawi.

Perangkap Dari Indera
Sang Buddha mengatakan tentang keinginan dan enam hal di mana hasrat memuaskan: pemandangan, suara, bau, rasa, sentuhan dan pikiran-benda. Keinginan dan nafsu untuk kebahagiaan, penderitaan, untuk kebaikan, untuk kejahatan dan sebagainya, meliputi semuanya.

Pemandangan ... tidak ada pemandangan yang sama seperti yang dilakukan oleh seorang wanita. Bukankah begitu? Bukankah seorang wanita benar-benar menarik membuat Anda ingin melihatnya? Seseorang dengan sosok yang benar-benar menarik datang menyusuri jalan, ''sak, sek, sak, sek, sak,'' Anda tidak bisa membantu tetapi menatapnya! Bagaimana dengan suara? Tidak ada suara yang lebih dari seorang wanita itu. Hal ini menembus jantung Anda! Bau adalah sama, aroma wanita adalah yang paling memikat dari semua. Tidak ada bau lain yang persis sama. Rasanya - bahkan rasa makanan paling lezat tidak dapat dibandingkan dengan seorang wanita. Sentuhan adalah sama, ketika Anda memeluk wanita, Anda tertegun dan mabuk.

Pernah ada seorang guru mantar magis terkenal dari Taxila di India kuno. Dia mengajarkan muridnya semua pengetahuan tentang pesona dan mantra. Ketika murid-muridnya telah berpengalaman dan siap untuk berjalan sendiri, ia meninggalkannya dengan instruksi terakhir dari gurunya, ''Saya telah mengajarimu semua mantera yang saya tahu, mantera dan ayat-ayat pelindung. Makhluk dengan tanduk dan gigi tajam, dan gading bahkan yang besar, Anda tidak perlu takut. Anda akan dijaga dari semua mantera ini, saya bisa menjaminnya. Namun, hanya ada satu hal yang saya tidak bisa menjamin perlindungan terhadap Anda, dan itu adalah daya tarik dari seorang wanita[2]. Saya tidak bisa membantu Anda. Tidak ada mantra untuk perlindungan terhadap yang satu ini, Anda harus menjaga diri sendiri''.

Objek mental muncul dalam pikiran. Mereka lahir dari keinginan: keinginan untuk harta berharga, keinginan untuk menjadi kaya, dan hanya sebuah kegelisahan yang diinginkan dengan hal-hal secara umum. Jenis keserakahan tidak semua mendalam atau kuat, itu tidak cukup untuk membuat Anda pingsan atau kehilangan kendali. Namun, ketika hasrat seksual muncul, Anda kehilangan keseimbangan dan kehilangan kendali Anda. Anda bahkan akan melupakan mereka yang membesarkan Anda yaitu orang tua Anda sendiri!

Sang Buddha mengajarkan bahwa obyek indera kita adalah perangkap - perangkap dari Māra[3]. Mara harus dipahami sebagai sesuatu yang merugikan kita. Perangkap adalah sesuatu yang mengikat kita, sama seperti suatu jerat. Ini adalah perangkap sang Mara, jerat pemburu, dan pemburu adalah Mara.

Jika hewan yang terjebak dalam perangkap pemburu, itu adalah keadaan sedih. Mereka tertangkap dengan cepat menunggu pemilik perangkap. Pernahkah Anda menjerat burung? Mata jerat dan ’’Boop’’ - tertangkap di leher! Sebuah senar yang kuat dan baik menjerat dengan baik. Kemana pun burung terbang, tidak dapat melarikan diri. Ia terbang kesana dan terbang kemari, tetapi jerat bekerja dengan erat menunggu pemilik jerat datang. Ketika pemburu datang, itu saja - burung tersebut dihinggapi dengan rasa takut, tidak ada jalan keluar!

Perangkap dari penglihatan, suara, bau, rasa, sentuhan dan pikiran-benda adalah sama. Mereka menangkap kita dan mengikat kita dengan cepat. Jika Anda memasang indra, anda sama seperti ikan tertangkap kail. Ketika nelayan datang, anda berjuang dengan semua yang diinginkan, tetapi tidak bisa lepas. Sebenarnya, Anda tidak tertangkap seperti ikan, itu lebih seperti katak - katak menelan bulat-bulat mata kail ke dalam ususnya, ikan hanya tertangkap dalam mulutnya.

Siapapun yang melekat pada indera adalah sama. Seperti orang mabuk yang hatinya belum hancur - ia tidak tahu kapan dia akan cukup. Dia terus memanjakan dan minum sembarangan. Dia tertangkap dan kemudian menderita sakit dan nyeri.

Seorang pria datang berjalan di sepanjang jalan. Dia sangat haus dari perjalanannya dan memiliki keinginan untuk minum air. Pemilik air mengatakan, ''Anda bisa minum air ini jika Anda suka, warnanya bagus, bau yang baik, rasa baik, tetapi jika Anda minum itu, Anda akan menjadi sakit. Saya harus mengatakan ini sebelumnya, itu akan membuat Anda sakit cukup untuk mematikan atau hampir mati''. Orang haus tidak mendengarkan. Dia haus seperti seorang yang setelah operasi dilarang minum air selama tujuh hari - dia menangis untuk air!

Ini sama dengan orang yang haus dengan indera. Sang Buddha mengajarkan bahwa mereka beracun - pemandangan, suara, bau, rasa, sentuhan dan pikiran-benda adalah racun, mereka adalah perangkap berbahaya. Tapi orang ini haus dan tidak mendengarkan, karena rasa haus dia menangis, menangis, ''Berikan aku air, tidak peduli betapa menyakitkan konsekuensi, biarkan aku minum'' Jadi dia mencelupkan keluar sedikit lalu menelannya dan menemukan itu rasa yang sangat lezat. Dia minum mengisi nafsunya dan lalu mendapat rasa sakit sehingga ia hampir mati. Dia tidak mendengarkan karena nafsu keinginannya tak tertahankan.

Ini adalah bagaimana orang tersebut terjebak dalam kesenangan indra. Dia minum dalam pemandangan, suara, bau, rasa, sentuhan dan pikiran benda, mereka semua sangat lezat! Jadi dia minuman tanpa berhenti dan di sana ia masih tetap terjebak dengan cepat sampai pada hari ia meninggal.

Share:

Sabtu, 23 Februari 2013

Upacara Dalam Agama Buddha

 on  with No comments 
In  
  1. Pengertian upacara
    • Suatu cetusan hati nurani manusia terhadap suatu keadaan.
    • Sebagai salah satu bentuk kebudayaan dapat kita selenggarakan sesuai dengan tradisi dan perkembangan jaman asalkan selalu didasarkan pada pandangan benar.
    • Buddha Dhamma sebagai ajaran universal, tidak mengalami perubahan (pengurangan maupun tambahan). Oleh sebab itu, manifestasi pemujaan kita pada Tiratana yang dijelmakan dalam bentuk upacara & cara kebaktian hendaknya tetap didasari dengan pandangan benar sehingga tidak menyimpang dari Buddha Dhamma itu sendiri.

  2. Sejarah terjadinya upacara dalam agama Buddha
    • Sang Buddha tidak pernah mengajar cara upacara. Sang Buddha hanya mengajarkan Dhamma agar semua makhluk terbebas dari penderitaan.
    • Upacara yang ada pada saat itu hanyalah upacara penahbisan bhikkhu & samanera.
    • Upacara yang sekarang ini kita lihat merupakan perkembangan dari kebiasaan yang ada, yang terjadi sewaktu Sang Buddha masih hidup, yaitu yang disebut `Vattha’, yang artinya kewajiban yang harus dipenuhi oleh para bhikkhu seperti merawat Sang Buddha, membersihkan ruangan, mengisi air, dsb; dan kemudian mereka semua bersama dengan umat lalu duduk mendengarkan khotbah Sang Buddha.
    • Setelah Sang Buddha parinibbana, para bhikkhu dan umat tetap berkumpul untuk mengenang Sang Buddha dan menghormat Sang Tiratana, yang sekaligus merupakan kelanjutan kebiasaan Vattha.

  3. Dua cara pemujaan
  4. Dalam agama Buddha juga terdapat ajaran tentang `pemujaan’. Namun, pemujaan dalam agama Buddha ditujukan pada obyek yang benar (patut) dan didasarkan pada pandangan benar. Menurut naskah Pali – Dukanipata, Anguttara Nikaya, Sutta Pitaka, ada dua cara pemujaan, yaitu:
    1. Amisa Puja
      1. Makna Amisa Puja
        • Secara harafiah berarti pemujaan dengan persembahan. Kitab Mangalattha-dipani menguraikan empat hal yang perlu diperhatikan dalam menerapkan Amisa Puja ini, yaitu:
          1. Sakkara: memberikan persembahan materi
          2. Garukara: menaruh kasih serta bakti terhadap nilai-nilai luhur
          3. Manana: memperlihatkan rasa percaya/yakin
          4. Vandana: menguncarkan ungkapan atau kata persanjungan.
        • Selain itu, ada tiga hal lagi yang juga harus diperhatikan agar Amisa Puja dapat diterapkan dengan sebaik-baiknya. Ketiga hal tersebut yaitu :
          1. Vatthu sampada: kesempurnaan materi
          2. Cetana sampada: kesempurnaan dalam kehendak
          3. Dakkhineyya sampada : kesempurnaan dalam obyek pemujaan
      2. Sejarah Amisa Puja
      3. Asal mulanya dari kebiasaan Bhikkhu Ananda yg selalu merawat Sang Buddha.
    2. Patipatti Puja
      1. Makna Patipatti Puja
      2. Secara harafiah berarti pemujaan dengan pelaksanaan. Sering juga disebut sebagai Dhammapuja. Menurut Kitab Paramatthajotika, yang dimaksud “pelaksanaan” dalam hal ini adalah :
        1. Berlindung pada Tisarana (Tiga Perlindungan), yakni Buddha, Dhamma, dan Ariya Sangha
        2. Bertekad untuk melaksanakan Panca Sila Buddhis (Lima Kemoralan) yakni pantangan untuk membunuh, mencuri, berbuat asusila, berkata yang tidak benar, mengkonsumsi makanan/minuman yang melemahkan kewaspadaan
        3. Bertekad melaksanakan Atthanga Sila (Delapan Sila) pada hari-hari Uposatha.
        4. Berusaha menjalankan Parisuddhi Sila (Kemurnian Sila), yaitu:
          • Pengendalian diri dalam tata tertib (Patimokha-samvara)
          • Pengendalian enam indera (Indriya-samvara)
          • Mencari nafkah hidup secara benar (Ajiva-parisuddhi)
        5. Pahala Patipatti Puja
          • Dalam Sutta Pitaka bagian Anguttara Nikaya, Dukanipata, dengan sangat jelas Sang Buddha Gotama menandaskan demikian: “Duhai para bhikkhu, ada dua cara pemujaan, yaitu Amisa Puja dan Dhamma Puja. Di antara dua cara pemujaan ini, Dhamma Puja (Patipatti Puja) adalah yang paling unggul”.
          • Dengan demikian sudah selayaknya jika umat Buddha lebih menekankan pada pelaksanaan Patipatti Puja alih-alih Amisa Puja.

        6. Sejarah Patipatti Puja
          • Cerita tentang Bhikkhu Tissa yang bertekad berpraktek Dhamma hingga berhasil menjelang empat bulan lagi Sang Buddha parinibbana. Dalam hal tersebut Sang Buddha bersabda: “Duhai para bhikkhu, barang siapa mencintai-Ku, ia hendaknya bertindak seperti Tissa. Karena, mereka yang memuja-Ku dengan mempersembahkan berbagai bunga, wewangian, dan lain-lain, sesungguhnya belumlah bisa dikatakan memuja-Ku dengan cara yang tertinggi/terluhur. Sementara itu, seseorang yang melaksanakan Dhamma secara benar itulah yang patut dikatakan telah memuja-Ku dengan cara tertinggi / terluhur”.

          • Peristiwa yang mirip juga terjadi atas diri Bhikkhu Attadattha, sebagaimana yang dikisahkan dalam Kitab Dhammapada Atthakatha.

          • Menyadari betapa penting hal tersebut untuk dipahami dengan jelas, Sang Buddha Gotama secara resmi juga menandaskan kembali kepada Ananda Thera demikian: “Duhai Ananda, penghormatan, pengagungan, dan pemujaan dengan cara tertinggi/terluhur bukanlah dilakukan dengan memberikan persembahan bunga, wewangian, nyanyian, dan sebagainya. Akan tetapi Ananda, apabila seseorang bhikkhu, bhikkhuni, upasaka, atau upasika, berpegang teguh pada Dhamma, hidup sesuai dengan Dhamma, bertingkah laku selaras dengan Dhamma, maka orang seperti itulah yang sesungguhnya telah me-lakukan penghormatan, pengagungan, dan pemujaan dengan cara tertinggi/terluhur. Karena itu Ananda, berpegang teguhlah pada Dhamma, hiduplah sesuai dengan Dhamma, dan bertingkah lakulah selaras dengan Dhamma. Dengan cara demikianlah engkau seharusnya melatih diri”.

          • Penerapan Patipatti Puja secara telak dapat menepiskan anggapan salah masyarakat umum bahwa agama Buddha tidak lebih hanyalah suatu agama ritualistis (peribadatan/persembahyangan) belaka.
    3. Makna upacara
    4. Semua bentuk upacara agama Buddha, sebenarnya terkandung prinsip-prinsip sebagai berikut :
      1. Menghormati dan merenungkan sifat-sifat luhur Sang Tiratana
      2. Memperkuat keyakinan (Saddha) dengan tekad (Adhitthana)
      3. Membina empat kediaman luhur (Brahma Vihara)
      4. Mengulang dan merenungkan kembali khotbah-khotbah Sang Buddha
      5. Melakukan Anumodana, yaitu `melimpahkan’ jasa perbuatan baik kita kepada makhluk lain
    5. Manfaat upacara
    6. Secara terperinci manfaat yang langsung didapat dari upacara adalah sebagai berikut:
      1. Saddha : keyakinan dan bakti akan tumbuh berkembang
      2. Brahmavihara : empat kediaman / keadaan batin yang luhur akan berkembang
      3. Samvara : indera akan terkendali
      4. Santutthi : puas
      5. Santi : damai
      6. Sukha : bahagia
    7. Sikap dalam upacara
    8. Upacara merupakan suatu manifestasi dari keyakinan dan kebaktian, oleh sebab itu sikap yang patut diperhatikan oleh umat dalam melakukan upacara adalah sebagai berikut ini:
      1. Sikap menghormat, ada beberapa cara antara lain:
        1. Anjali
        2. Namakara
        3. Padakkhina
      2. Sikap membaca Paritta
        1. Dilakukan dengan khidmat dan penuh perhatian
        2. Dibaca secara benar sesuai dengan petunjuk-petunjuk tanda-tanda bacaannya dan harus sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan dalam Kitab Suci Tipitaka (Pali Text), seperti pada Vinaya Pitaka, II.108, di mana Sang Buddha bersabda kepada para bhikkhu tentang masalah melagukan pembacaan Dhamma, yaitu sebagai berikut: “Para bhikkhu, ada lima bahaya (keburukan) jika Dhamma diucapkan dengan suara yang dinyanyikan :
          • Ia akan senang (bangga) pada dirinya sendiri sehubungan dengan suaranya yang telah didengarnya
          • Orang lain akan senang mendengar suaranya tersebut (mereka akan tertarik pada lagunya tersebut, bukan pada Dhammanya)
          • Umat awam akan mencemoohkan (karena musik hanya pantas untuk mereka yang masih menyukai kesenangan indera)
          • Karena sibuk mengatur suaranya tersebut, maka konsentrasinya menjadi pecah (ia melupakan makna dari apa yang sedang dibacanya)
          • Orang-orang yang mendengarnya bisa terjebak dalam pandangan-pandangan yang mengandung persaingan (dengan berkata: “Guru-guru dan pembimbing kami melagukannya seperti itu”, hal ini akan menyebabkan timbulnya pertentangan dan saling membanggakan diri pada umat Buddha generasi yang akan datang)
      3. Sikap bersamadhi
        1. Rileks, duduk bersila (bersilang kaki) dan tumpuan kedua tangan di atas pangkuan
        2. Memusatkan pikiran kita kepada obyek meditasi yang biasanya cocok untuk kita gunakan, misalnya pernafasan, sifat-sifat luhur Sang Tiratana, Empat Keadaan Batin yang Luhur (Brahma Vihara), dan sebagainya.
    9. Cara melakukan upacara yang benar
      1. Mengerti akan makna upacara seperti yang telah diuraikan di atas
      2. Setiap melakukan upacara harus benar-benar memahami apa yang dilakukan, bukan semata-mata tradisi yang mengikat yang tidak membawa kita pada pembebasan (Silabbataparamasa-samyojjana)
    Sumber : www.samaggi-phala.or.id
    Share:

    Māgha Puja

     on  with No comments 
    In  
    Māgha merupakan salah satu nama bulan dalam penanggalan di India kuno. Biasanya bulan Māgha ini jatuh antara bulan Februari dan Maret. Māgha Pūjā berarti puja/peringatan yang berhubungan dengan bulan Māgha. Māgha Pūjā yang kita peringati ini terjadi sembilan bulan setelah Pangeran Siddhartha mencapai penerangan sempurna di bulan Waisak. Hari suci Māgha Puja memperingati empat peristiwa penting, yaitu :
    1. Seribu dua ratus lima puluh orang bhikkhu datang berkumpul tanpa pemberitahuan terlebih dahulu.
    2. Mereka semuanya telah mencapai tingkat kesucian arahat.
    3. Mereka semuanya memiliki enam abhinna.
    4. Mereka semua ditabiskan oleh Sang Buddha dengan ucapan “Ehi Bhikkhu”.
    Peristiwa penting ini dinamakan Caturangga-sannipata, yang berarti pertemuan besar para arahat yang diberkahi dengan empat faktor, yaitu seperti tersebut di atas. Peristiwa penting ini terjadi hanya satu kali dalam kehidupan Sang Buddha Gotama, yaitu pada saat purnama penuh di bulan Magha (Februari), tahun 587 Sebelum Masehi ( sembilan bulan setelah Sang Buddha mencapai Bodhi). Pada waktu itu, seribu dua ratus lima puluh orang bhikkhu datang secara serempak pada waktu yang bersamaan, tanpa adanya undangan dan perjanjian sebelumnya ke tempat kediaman Sang Buddha di vihara Veluvana (Veluvanarama, yang berarti hutan pohon bambu) di kota Rajagaha. Mereka datang dengan tujuan untuk memberi hormat kepada Sang Buddha sekembalinya mereka dari tugas menyebarkan Dhamma dan melaporkan hasil penyebaran Dhamma yang telah mereka lakukan tersebut.

    Para bhikkhu yang berkumpul pada peristiwa Magha Puja itu telah mencapai tingkat kesucian yang tertinggi, yaitu arahat. Mereka telah berhasil membasmi semua kilesa atau kekotoran batinnya sampai keakar-akarnya, sehingga mereka dikatakan telah khinasava atau bersih dari kekotoran batin. Mereka tidak mungkin lagi berbuat salah. Mereka telah sempurna.

    Mereka memiliki abhinna atau kemampuan batin yang lengkap yang berjumlah enam jenis, yaitu :
    1. Pubbenivasanussatinana, yang berarti kemampuan untuk mengingat tumimbal lahir yang dahulu.
    2. Dibbacakkhunana, yang berarti kemampuan untuk melihat alam-alam halus dan kesanggupan melihat muncul lenyapnya makhluk-makhluk yang bertumimbal lahir sesuai dengan karmanya masing-masing (mata dewa).
    3. Asavakkhayanana, yang berarti kemampuan untuk memusnahkan asava atau kekotoran batin.
    4. Cetoporiyanana, yang berarti kemampuan untuk membaca pikiran makhluk-makhluk lain.
    5. Dibbasotanana, yang berarti kemampuan untuk mendengar suara-suara dari alam apaya, alam manusia, alam dewa, dan alam brahma yang dekat maupun yang jauh.
    6. Iddhividhanana, yang berarti kekuatan magis, yang terdiri dari :
    1. Adhittana-iddhi, yang berarti kemampuan mengubah tubuh sendiri dari satu menjadi banyak dan dari banyak menjadi satu.
    2. Vikubbana-iddhi, yang berarti kemampuan untuk “menyalin rupa “, umpamanya menyalin rupa menjadi anak kecil, raksasa membuat diri menjadi tidak tertampak.
    3. Manomaya-iddhi, yang berarti kemampuan mencipta dengan menggunakan pikiran, umpamanya menciptakan harimau, pohon, dewi.
    4. Nanavipphara-iddhi, yang berarti pengetahuan menembus ajaran.
    5. Samadhivipphara-iddhi, yang berati kemampuan konsentrasi, seperti:
    • Kemampuan menembus dinding, tanah, dan gunung.
    • Kemampuan menyelam ke dalam bumi bagaikan menyelam kedalam air.
    • Kemampuan berjalan diatas air.
    • Kemampuan melawan air.
    • Kemampuan terbang di angkasa.

    Para bhikkhu yang berkumpul pada peristiwa Magha Puja itu semuanya ditabiskan oleh Sang Buddha dengan cara “Ehi Bhikkhu Upasampada”. Pada saat pentahbiskan itu, Sang Buddha mengucapkan kata-kata sebagai berikut :
    “ Mari (Ehi) Bhikkhu, Dhamma telah dibabarkan dengan jelas. Laksanakan penghidupan suci dan singkirkan penderitaan.”

    Pada kesempatan agung itu, Sang Buddha menerangkan prinsip-prinsip ajaran yang disebut Ovada Patimokkha. Isi dari Ovada Patimokkha itu sama dengan syair yang tercantum dalam kitab suci Dhammapada bab XIV ayat 183, 184, dan 185 yaitu sebagai berikut :

    Khantῑ paramaṁ tapo tῑtikkhā
    Nibbānaṁ paramaṁ vadanti buddhā
    Na hi pabbajito parūpaghātῑ
    Samaṇo hoti paraṁ viheṭhayanto

    Sabbapāpassa akaraṇaṁ
    Kusalassūpasampadā
    Sacittapariyodapanaṁ
    Etam buddhāna sāsanaṁ

    Anūpavādo anūpaghāto
    Pāṭimokkhe ca saṁvaro
    Mattaññutā ca bhattasmiṁ
    Pantañca sayanāsanaṁ
    Adhicitte ca āyogo
    Etaṁ buddhāna sāsananti

    Kesabaran adalah praktik bertapa yang paling tinggi.
    “ Nibbana adalah yang tertinggi,” begitulah sabda para Buddha.
    Dia yang masih menyakiti orang lain,
    Sesungguhnya bukanlah seorang pertapa (samana).

    Janganlah berbuat kejahatan,
    Perbanyaklah perbuatan baik,
    Sucikan hati dan pikiran,
    Inilah ajaran para Buddha.

    Tidak menghina, tidak menyakiti,
    Mengendalikan diri sesuai dengan peraturan,
    Makanlah secukupnya,
    Hidup di tempat yang sunyi,
    Dan giat mengembangkan batin nan luhur,
    Inilah ajaran para Buddha.

    Ovādapāṭimokkha yang dibabarkan Sang Buddha merupakan nasehat tentang cara hidup luhur bagi para samana/para bhikkhu. Hidup luhur adalah hidup yang bebas dari segala noda batin yakni; kāmāsava (noda batin berupa nafsu indria), bhavāsava (noda batin berupa kesenangan kemenjadian), avijjāsava (noda batin berupa ketidaktahuan). Untuk membebaskan diri dari segala noda batin adalah dengan pengembangan sῑla, samādhi, dan paññā.

    Sῑla, samādhi, dan paññā akan berkembang dengan maju jika dilandasi dengan praktik kesabaran. Tanpa adanya kesabaran, sīla, samādhi, dan paññā sulit untuk dikembangkan. Oleh karena itu, Guru Agung kita meletakkan kesabaran, dalam syair paling awal. Mengingat bahwa kunci dasar untuk melatih diri, menahan diri serta mengembangkan diri adalah dengan praktik kesabaran.

    Bagi kita umat Buddha, setiap kali kita memperingati Māgha Pūjā, kita seolah-olah diingatkan kembali tentang kesabaran, karena mengingat betapa pentingnya manfaat memiliki kesabaran.

    Pada saat sulit, saat ada masalah, jalan untuk menghadapinya adalah dengan mempraktikkan sikap hidup yang sabar. Orang yang sabar adalah orang yang tahan terhadap penderitaan yang dialami.

    Kesabaran sulit dimiliki, jika di dalam diri seseorang masih ada nafsu keinginan. Kesabaran muncul dengan mengembangkan kesadaran dan kebijaksanaan. Sabar berarti juga berhati-hati, tidak gegabah, dan juga bisa mengendalikan diri.

    Semoga kita semua dapat mempraktikkan kesabaran dalam kehidupan sehari-hari sehingga kita selalu hidup bahagia.

    Pesan terakhir Sang Buddha:
    Handadāni bhikkhave amantayāmi vo,
    Vaya dhammā saṅkhārā,
    Appamādena sampādethāti.

    ”Kini, oh para bhikkhu, Kuberitahukan kepadamu bahwa; segala sesuatu yang muncul dari perpaduan faktor pembentuk sewajarnya mengalami kehancuran. Sempurnakanlah tugas kalian tanpa lengah.”

    Pada peristiwa Suci Magha Puja itu, Sang Buddha juga memberitahukan pengangkatan Arahat Sariputta dan Arahat Moggallana sebagai siswa Utama Beliau (Aggasavaka) dalam Sangha Bhikkhu.
    Share: